oleh

Gus Baha : “Logika Jual Beli versus Riba”

UNTUK betul-betul bisa membuktikan Gus Baha sampai membeli buku-buku ekonomi Islam tak terhitung jumlahnya, saking banyaknya. Yang dibeli rata-rata dari kitab berbahasa Arab, tapi beberapa diantaranya buku ekonomi Islam berbahasa Indonesia. Tujuan utama pembelian hanya ingin mencari bukti bahwa jual beli dari kaca mata ekonomi itu lebih prospektif daripada riba.

Kalau Allah melarang itu tidak sembarangan. Allah pasti bertanggung jawab atas larangannya dengan memberi solusi yang sangat bagus. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275).

Kalau ayat tersebut menjelaskan jual beli sebagai transaksi halal dan riba diharamkan, pasti bisa dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi ilmiah, sehingga konstruksi firman Allah itu kokoh secara argumentatif.

Gus Baha kemudian mendapat jawaban atas teka-teki kehalalan jual beli dan keharaman riba justru tidak bersumber dari kitab ekonomi Islam, melainkan dari kitab Hilyatul Auliya’ pada bab “Fadhâili Abdurrahman ibn Auf” (keutamaan Abdurrahman bin Auf). Ternyata, diantara fadhilah beliau (Abdurrahman bin Auf) menjadi orang yang kaya raya adalah karena tiap jual-beli selalu cash (kontan).

Menemukan jawaban itu Gus Baha langsung menangis, sujud syukur, karena merasa senang bukan main. Orang sekarang baru sadar, Abdurrahman bin Auf termasuk orang paling kaya di Madinah. Apabila dia membawa kafilah dagangnya ke China, Madinah bisa “goncang”, saking banyaknya unta Abdurahman bin Auf.

Satu ketika Abdurrahman bin Auf ditanya, “Kenapa anda bisa sekaya ini?” Jawab Abdurrahman, “Aku tidak pernah dagang kecuali dengan cara cash (kontan)”.

Pernah suatu kali, Abdurrahman bin Auf berdagang unta. Labanya, jika diuangkan rupiah Indonesia mungkin hanya untung Rp. 50 ribu dari harga dasar untanya Rp. 30 juta. Sebuah keuntungan yang tidak sebanding. Namun karena ia memegang prinsip cash, walaupun labanya hanya Rp. 50 ribu, saat ada sahabat lain bertanya, “Lho kok Anda tetap kaya?”

Abdurrahman bin Auf menjawab, “Kamu tahu yang saya jual? 500 unta!” Berarti Rp. 50 ribu kali 500 ekor berarti aku untung Rp. 25 juta. Kuncinya adalah berdagang dengan cash. Abdurrahman tidak mau ada risiko uang dibawa orang lain, sehingga uangnya selalu aman.

Logika argumentasi bahwa jual beli itu halal dan riba haram adalah sebagai berikut: (Misalnya) ada orang mempunyai uang Rp. 100 juta. Uang ini diutangkan kepada Musthafa untuk dikembalikan selama setahun kemudian dengan kewajiban membayar bunga setiap bulan Rp. 1 juta. Kalau dihitung total, uang bunga Rp. 1 juta dikalikan 12 bulan menjadi Rp 12 juta. Maka, uang Rp. 100 juta dalam setahun naik menjadi Rp. 112 juta. Hasil ini berlaku jika Musthafa tidak melarikan diri, pailit, meninggal dunia atau kemungkinan lain.

Sebagai perbandingan, sama-sama uang Rp. 100 juta dikembangkan dengan sistem jual beli yang secara nyata dihalalkan oleh Allah. Misalnya, dibelikan kambing dengan harga kulakan Rp. 2 juta. Kalau modal Rp. 2 juta dengan margin untung 10 persen, penjual akan meraup keuntungan Rp. 200 ribu pada setiap Rp. 2 juta-nya. Berarti kalau uang Rp. 100 juta, potensi yang bisa diperoleh adalah Rp. 10 juta. Dari Rp. 10 juta tersebut diambil margin of error karena tertipu dan lain sebagainya karena dalam tahap latihan dipotong 50%, maka uang Rp. 100 juta laba bersihnya Rp. 5 juta setiap pekan di pasar kambing yang bisa jadi dalam sebulan sebanyak empat pekan.

Dengan demikian, Rp. 5 juta dikalikan 4 pekan, keuntungan sebulan sudah dipotong risiko 50%, potensi keuntungannya bisa Rp. 20 juta. Estimasi ini baru untuk satu bulan, belum setahun. Apabila kalkulasi keuntungan uang Rp. 100 juta dengan riba selama setahun untungnya 12 juta, maka dengan jual beli dalam sebulan bisa mendapatkan potensi keuntungan bersih Rp. 20 juta. Belum Rp. 20 juta tersebut dikalikan setahun, pasti akan berbeda jauh.

Ini bukti nyata bahwa jual beli yang dihalalkan oleh Allah sangat berpotensi lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada riba yang diharamkan Allah. Sangat tepat jika Al-Quran mengharamkan riba dengan jual beli sebagai solusinya.

Secara matematis, jual beli sangat tampak potensi keuntungannya. Adapun jika bicara risiko, jual beli ada kemungkinan bangkrut, orang hutang juga ada potensi melarikan diri, tidak membayar hutang dan lain sebagainya. Artinya, jika menyinggung risiko, semua ada risikonya. Tapi jika bicara potensi, jual beli lebih prospektif dengan catatan semua penjualan-pembelian harus cash, safety system. Dengan demikian, Allah berani “menantang” konsep riba pasti akan kalah jika dibandingkan jual beli dengan ayat di atas. Artinya Allah bertanggung jawab.

Argumentasi di atas namanya hujjatullah. Umat Islam harus membela agama Allah, tapi jangan hanya dengan mengancam bahwa riba mendatangkan dosa besar, tapi harus solutif. Orang Islam tidak boleh bodoh. Riba itu memang dosanya besar, tapi kebodohan dosanya lebih besar. Kalau umat Islam bodoh-bodoh, negara bisa tutup, Islam juga bisa tutup.

Dalam kitab an-Nashaih ad-Diniyyah karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Hadad dijelaskan:

ومن شر انواع المعاصي الجهل

Artinya: “Diantara maksiyat yang paling buruk adalah bodoh.” Habib Abdullah bin Alwi Al-Hadad pernah marah saat orang saleh ditanya tidak bisa menjawab. “Mengapa riba bisa diharamkan? Bukankah riba dan jual beli adalah mirip: sama-sama mencari keuntungan dengan mencari selisih? “Innama al-bai’u mitslur-riba” (QS. al-Baqarah: 275).

Kebodohan umat Islam bisa menyebabkan keruntuhan peradaban Islam. Oleh karena itu, maksiat yang paling buruk adalah kebodohan. Orang bodoh sulit terbuka hatinya (futuh) karena masih selalu melaksanakan kemaksiatan berupa bodohnya itu sendiri. Padahal syarat futuh adalah taat. Orang bodoh maksiat terus, sulit mendapatkan futuh karena membawa maksiat terus. (Disarikan dari NU Online)

Komentar