oleh

Jelang Pilkada Serentak Se-Indonesia, Muncul Kata Golput

Oleh:  KRH Aryo Gus Ripno Waluyo, S.E, S.Pd, S.H, C.NSP, C.CL, C.MP, C.MTh, C.TM, C.PS (Budayawan, Penulis, Spiritualis, Advokat, Ketua DPD Jatim PERADI Perjuangan)

ISTILAH golput naik daun ketika menjelang Pemilu 1971. Pada sebuah siang, Kamis (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya “Golongan Putih” sebagai gerakan moral.

Kelompok golput atau golongan putih yang menolak menggunakan hak pilihnya dalam ajang pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang.

Mereka lahir sebagai sebuah bentuk protes dari kelompok pemuda dan mahasiswa atas pelaksanaan Pemilu perdana di era Orde Baru, yang digelar pada 5 Juli 1971. Sebab saat itu mereka menilai tidak ada satu pun tokoh politik yang bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka.

Dalam Pemilu 1971, jumlah partai politik yang menjadi peserta hanya 10. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibanding Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.

Golput Politis adalah orang-orang yang percaya pada negara dan Pemilu. Hanya saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka.

Mendekati hari pemilu dan pilpres hari Rabu (17/4/2019) jumlah golput di Indonesia dikhawatirkan makin meningkat. Di lini masa media sosial, golput dituding acuh terhadap masa depan bangsa. Benarkah warga absen memilih hanya karena alasan politis.

“Saya melihat bahwa negara hari ini tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat.” siapapun kandidat yang terpilih akan memperjuangkan kepentingan partai atau basis pendukung.

Golput dengan alasan politik atau ideologis, belum bisa memberikan solusi konkret dalam konteks demokrasi yang memiliki mekanisme Pemilu untuk menentukan Presiden dan legistaltif. “Jadi apa yang membedakan mereka dengan golput yang tidak peduli atau tidak ideologis dalam konteks Pemilu? Suara mereka sama sama tidak ikut terhitung,”

Kita kadang-kadang menggunakan istilah golput campur dengan kecenderungan orang untuk tidak memilih dengan alasan apapun. Kalau kita pilah, ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan politik atau ideologis, ada alasan sebagai protes seperti tahun 71 itu.

Ada pula pemilih yang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara) atau tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan lain, yang bukan protes. orang tidak sempat mengurus pindah TPS tapi karena dia alasan tugas dan sebagainya dia harus pindah TPS akhirnya tidak bisa nyoblos.

Pemilih lainnya yang lebih mengkhawatirkan, yaitu mereka yang tidak datang ke TPS bukan karena alasan teknik atau politik. Tapi malas saja. jumlah golput karena mereka benar-benar tidak ingin memilih sangatlah kecil atau juga besar nantinya tergantung situasi kondisi di masyarakat.

Golput itu dianggap sebagai orang yang tidak menunaikan kewajibannya bukan tidak menggunakan haknya. Jadi masih menempatkan itu sebagai kewajiban dibanding hak. hadir di TPS pada saat hari pemungutan suara nyatanya tak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.(****

Komentar