oleh

Biaya Politik Tinggi: Mengupas Usulan Prabowo tentang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Oleh: Acep Sutrisna, (Pemerhati Politik Tasik Utara)

Ketika Demokrasi Menghadapi Harga Tinggi

Bayangkan sebuah calon pemimpin daerah yang memiliki visi besar dan integritas tinggi, tetapi gagal melangkah lebih jauh karena terbentur mahalnya biaya politik. Inilah ironi demokrasi langsung yang kita hadapi hari ini. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengusulkan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) dikembalikan ke DPRD untuk mengurangi tingginya biaya politik.

Namun, apakah ini solusi tepat? Ataukah hanya langkah mundur

bagi demokrasi kita?

Perjalanan Pilkada Langsung

Sejak pertama kali diterapkan, Pilkada langsung dimaksudkan untuk memperkuat partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin. Namun, biaya politik yang terus meningkat menimbulkan tantangan besar bagi para kandidat. Menurut data, harga satu suara dalam Pilkada langsung bisa mencapai IDR 300 ribu, dan dengan jumlah pemilih mencapai jutaan, angka yang harus dikeluarkan menjadi sangat fantastis. Bukan hanya soal biaya, Pilkada langsung juga sering menjadi ajang konflik horizontal antarpendukung yang dapat mengganggu stabilitas daerah. Fenomena ini mendorong diskusi untuk mencari alternatif mekanisme pemilihan yang lebih efisien dan stabil.

Pilkada Langsung atau DPRD?

Presiden Prabowo berargumen bahwa pemilihan melalui DPRD menawarkan efisiensi biaya dan mengurangi risiko konflik. Sistem ini memungkinkan perwakilan rakyat di DPRD untukmemilih kepala daerah berdasarkan musyawarah, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.Namun, apakah solusi ini benar-benar bebas dari masalah?

1. Keunggulan Pilkada Melalui DPRD:

o Efisiensi Biaya: Proses pemilihan berlangsung lebih cepat dengan pengeluaran yang

minimal.

o Minim Konflik: Tidak ada benturan antarpendukung karena pemilih hanya berasal dari

anggota DPRD.

2. Kritik Terhadap Pilkada DPRD:

o Dominasi Partai Besar: Partai politik besar berpotensi mendominasi proses pemilihan.

o Korupsi Politik: Sistem ini rentan terhadap lobi-lobi dan transaksi politik di balik layar.

Puncak Konflik: Apa Solusi Nyatanya?

Ketika wacana ini bergulir, pertanyaan besar muncul: apakah biaya politik tinggi dapat diatasi tanpa mengorbankan partisipasi rakyat? Berikut adalah strategi yang dapat menjadi jalan tengah:

1. Pembatasan Pengeluaran Kampanye:

o Regulasi ketat untuk membatasi dana kampanye.

o Transparansi laporan keuangan dari semua kandidat.

o Sanksi tegas untuk pelanggaran aturan.

2. Pendanaan Kampanye oleh Negara:

o Pemerintah menyediakan dana yang setara bagi semua kandidat.

o Fokus penggunaan dana pada edukasi politik masyarakat.

3. Digitalisasi Kampanye:

o Menggunakan media sosial dan platform digital untuk menyampaikan program kerja.

o Mengurangi kebutuhan alat peraga fisik yang mahal.

4. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum:

o Keterlibatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memantau pengeluaran kampanye.

o Melibatkan masyarakat dalam pelaporan pelanggaran melalui aplikasi digital.

Demokrasi Berbiaya Rendah, Berpartisipasi Tinggi

Perdebatan antara Pilkada langsung dan Pilkada DPRD mencerminkan dilema demokrasi kitahari ini. Tingginya biaya politik adalah masalah yang nyata, tetapi solusi yang kita pilih harus tetap menjaga partisipasi rakyat sebagai fondasi utama demokrasi.

Dengan kombinasi strategi pembatasan biaya, pendanaan negara, dan digitalisasi, Indonesiadapat membangun sistem pemilu yang lebih bersih, adil, dan inklusif. Usulan Prabowo mungkin menjadi awal diskusi, tetapi langkah selanjutnya harus memastikan demokrasi kita tetap kuat dan tidak kehilangan jati diri.

“Demokrasi yang hemat biaya adalah demokrasi yang berkelanjutan, tetapi partisipasi rakyat adalah nyawa dari sistem ini. Mari kita terus menjaga keduanya.”(***

Komentar