Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
Ya jelas saja pembangunan daerah jalan di tempat. Dana pembangunannya – relatively – sudah “dihabiskan” oleh ASN dan kroni di berbagai proyek mark-up-nya.
Dari kerja keliling daerah, Mendagri Tito Karnavian melaporkan, bahwa sebagian besar anggaran di daerah adalah “hanya” untuk belanja pegawai. Besarannya sekitar 70% bahkan ada yang sampai 80% bahkan lebih!
Pos belanja operasional pun tak lepas dari “akal-akalan” sedemikian rupa yang ujung-ujungnya dipakai untuk pegawai juga. Jadi “cuma” tersisa sekitar 30% atau 20% (bahkan kurang, ada yang cuma 12%) yang bisa dipakai untuk dana pembangunan. Tragis? Ya jelas dong!
Gambaran suram yang disampaikan Mendagri Tito Karnavian ini tentu mesti disikapi dengan kritis oleh semua pembayar pajak di negeri ini.
Bayangkan saja, kalau yang tersisa hanya sekitar 20% APBD yang bisa dipakai untuk dana pembangunan, lalu itu pun dimakan praktek korupsi seperti ‘mark-up’ proyek-proyek maka tak heran jika pembangunan di daerah itu seperti “jalan di tempat”. Stagnan.
Praktek pengelolaan anggaran yang amburadul seperti ini bukannya barang baru. Ini sudah berjalan sejak dulu, dilestarikan oleh para birokrat, dan direstui para politisi (parpol), lalu disahkan oleh banggar legislatif (DPRD).
Lembaga yudikatifnya pun cuma bisa manggut-manggut. Lha wong semua mata anggaran dan proyek-proyek itu sudah disetujui dan dilegalisasi oleh legislatif kok. Sah secara hukum!
Begitulah pos belanja modal pun dikadali habis-habisan. Kata Mendagri Tito, “Termasuk beli barang untuk kepentingan pegawai juga. macam-macam programnya, penguatan ini, penguatan ini. Saya sampai mengatakan kapan kuatnya? Penguatan terus dengan rakor, rakor, rakor isinya honor nantinya.” Hadoohh…
Semakin banyak program “pemahaman” ini, “penguatan” itu, lalu “sosialisasi” anu, maka honor pun mengalir terus ke… ya ke kantong ASN lagi, dan lagi.
Sudah begitu, ASN pun masih “protes” dengan bikin acara petisi protes tentang betapa kecilnya THR tahun ini. Hmm… dan kita semua diminta untuk memahaminya. Duh, pemahaman nenek lu! (kata Ahok dulu).
Pola seperti ini memang ditengarai pola permainan lama antara Sekda-Bappeda, juga cawe-cawenya DPRD lewat beragam program “titipan”. Ada juga yang dikenal dengan nama pokir (pokok-pikiran) padahal maksudnya protip (proyek-titipan).
Kabar burung yang ditiupkan angin mamiri berbisik bahwa sekitar 10% APBD itu adalah “jatah” proyek pokir alias protip anggota dewan. Ini khan jenis wakil rakyat yang sialan betul.
Masih ingatkan program aneh-aneh macam lem-aibon, UPS-komputer, dan lain sebagainya yang jumlah duitnya tak masuk di akal. Untung saja ada anak-anak muda PSI yang nekad berani melawan arus untuk membongkar skandal begituan. Masak sih ada program lem-aibon di sekolah-sekolah sampai milyaran rupiah?
Ya, inilah pola “bancakan berjamaah yang legal”, lantaran dilegalisasi oleh legislator. Mau apa lagi? Ini terjadi di semua daerah!
“Kami sudah keliling ke beberapa daerah. Saya nggak ingin sebutkan, tidak enak. Hampir semua daerah itu proporsi belanja modalnya kecil. Belanja modal itu belanja yang langsung ke masyarakat baik untuk pendidikan kesehatan dan lain-lain,” begitu pengakuan Tito Karnavian yang disampaikannya dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2021, awal bulan Mei yang baru lalu.
Parahnya, setelah Pak Tito mengecek ke kepala daerah ternyata mereka mengaku tidak tahu menahu mengenai modus tersebut… Lho kok jadi kayak dagelan? Djian#%kkk!
“Teman-teman kepala daerah nggak tahu, main tanda tangan aja. Kenapa? Karena diajukan oleh bappeda, diajukan oleh sekda. Kemudian yang penting apa yang dititipkan oleh kepala daerah itu terakomodir, ya tanda tangan,” begitu papar Tito.
Maka logis saja kalau yang terjadi kemudian adalah jalan-jalan yang rusak, sampah bertebaran dimana-mana. Kota pun jorok, banjir, dan jadi sumber penyakit.
“Karena apa, karena belanja modalnya kecil. Ada yang saya cek belanja modalnya cuma 12%,” jelas Mendagri Tito Karnavian. Parah!
Menurutnya praktik itulah yang telah membuat pengelolaan anggaran di daerah jadi sangat berantakan, bahkan untuk memperbaiki jalan saja sudah tidak mampu!
Ini jelas menyedihkan. Pathetic! Kalau membandingkan dengan yang pernah diupayakan oleh Joko Widodo semasa jadi walikota Solo dulu, belanja modalnya pernah mencapai 45%. Ini sudah lumayan sekali.
Akhirnya kita pun mengerti bahwa setelah mendengar “laporan” kunker Mendagri Tito Karnavian ini banyak kalangan yang jadi emosi, kesal, dan mungkin juga marah.
Bagaimana mungkin trik belanja anggaran yang sampai 70-80% untuk pegawai itu selama ini kok bisa-bisanya “diatur dalam koridor hukum” (alias tidak melanggar aturan), walau pada galibnya de-facto duit itu mengalir juga ke kantong-kantong para ASN serta kroninya di berbagai program dan proyek-proyek titipan.
Jadi bagaimana?
Begini. Seperti telah berkali-kali kita sampaikan, obat kuratif praktek mark-up dan korupsi itu adalah transparansi. Sekali lagi, transparansi! Buka-bukaan, tak ada yang ditutup-tutupi.
Buka semua isi jeroan APBD itu ke publik! Mulai sejak proses perancangannya sampai rincian harga satuan ketiga, yaitu harga satuan barang.
Maksudnya dibuka ke publik itu bagaimana?
Artinya diunggah saja ke laman (website) resmi pemda masing-masing. Libatkan masyarakat luas dan mereka yang peduli dengan pengelolaan anggaran yang bersih dan professional untuk ikut memberi masukan serta kritik dan saran semenjak dari proses perancangannya.
Lha wong itu duit rakyat juga kok. Maka rakyat berhak dong untuk tahu dengan persis uang mereka bakal dipakai untuk apa, dan telah dibelanjakan untuk apa saja?
Dulu, Pak Jokowi dan Ahok pernah melakukan ini di administrasi Pemda DKI Jakarta yang lalu. Itu bisa jadi preseden yang baik. Sayangnya sekarang tidak dilanjutkan lagi.
Apalagi, UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) telah mengamanatkan keterbukaan itu bagi semua instansi pemerintah.
Penting untuk kita ketahui dan sadari bersama bahwa Undang-Undang ini memang bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, programkebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
UU No.14/2008 KIP ini memang dibuat demi mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Sehingga ujungnya adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Masyarakat luas mesti semakin cerdas dan kritis dengan cara mengetahui dan ikut peduli atas alasan dari setiap kebijakan publik yang akan diambil yang bakal mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Jadi Pak Tito, kapan nih semua kepala daerah bisa diperintahkan untuk segera mengunggah rincian pengelolaan APBD-nya (sampai satuan ketiga) ke laman resmi pemda masing-masing?
Hentikan dagelan tidak lucu para kepala daerah yang tidak transparan dalam pengelolaan anggarannya!
Banjarmasin, 23/05/2021
Komentar