Oleh: Moch. Arya Irgo Pratama (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Ekonomi Pembangunan)
TAHUN 2020 dibuka dengan mewabahnya virus Covid-19, Wabah ini disebabkan oleh virus jenis baru. Indonesia secara resmi mengumumkan dua kasus virus Covid-19 pada 2 maret 2020. Pandemi ini menyebabkan kelumpuhan pada beberapa sektor di suatu negara khususnya pada bidang ekonomi. Setahun berlalu dari awal masuknya virus Covid-19 ke Indonesia, pemerintah gencar melakukan pemulihan ekonomi untuk menjaga mutu hidup dan kesejateraan masyarakat.
Pemulihan ekonomi (Economic Recorvery) sendiri merupakan awal dari sebuah keadaan dalam pola konjugtur, yaitu keadaan dimana perekonomian memiliki bentuk yang cenderung ditandai dengan peningkatan kembali beberapa faktor produksi dan koonsumsi. Selain itu, pertambahan kesempatan kerja bagi masyarakat yang terdampak, jumlah uang beredar, dan permintaan kredit juga termasuk kedalam tahap dari pemulihan ekonomi.
Jika melihat dari rencana pemerintah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), program ini juga merupakan rangkaian kegiatan guna mengurangi dampak dari adanya pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. Program ini bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan ekonomi bagi para pelaku usaha, khususnya pada sektor UMKM dalam menjalankan usahanya di tengah pandemi Covid-19 ini. Selain melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), upaya lain dalam melakukan pemulihan ekonomi nasional adalah dengan mengedepankan Ekonomi Hijau (Green Economy). Program ini juga telah disampaikan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, tanggal 22 Januari 2021. Konsep ekonomi hijau ini diharapkan mampu menjadi kekuatan dalam jangka panjang di Indonesia dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan.
Ekonomi Hijau memiliki ciri – ciri yang akan sangat mendominasi, Indonesia memiliki kekuatan dalam menciptakan produk ramah lingkungan yang potensial dalam memngangkat daya saing produk yang dihasilkan dari dalam negeri ke pasar globlal. Selain itu pembuatan produk rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan mempu dalam mengurangi masalah risiko kerusakan lingkungan merupakan salah satu bentuk ciri ekonomi hijau.
Penerapan ekonomi hijau dinilai mampu menekan emisi karbon dioksida, penelitian ini mengungkapkan bahwa dengan penerapan konsep ini mampu mengurangi karbon dioksida komulatif yang dihasilkan selama kurun waktu 15 tahun dimulai tahun 2015 hingga 2030 dengan jumlah mencapai 689 juta ton karbon (CO2). Sementara itu, penerapan konsep ini hanya menghasilkan 2.484 juta ton (CO2) dalam waktu yang sama. Jika Indonesia menerapkan ekonomi hijau dengan baik, maka akan berdampak positif dalam meningkatkan tenaga kerja khususnya dalam bidang kehutanan, total lapangan pekerjaan yang mampu dihasilkan pada tahun 2030 bisa mencapai 247.945 orang.
Program ekonomi hijau memiliki tiga paket kerja dalam pelaksanaannya, pertama, meningkatkan kesiagaan dari urgensi untuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil dalam sistem energi di Indonesia. Mempersiapkan rencana transisi dari pengguanaan bahan bakar fosil di Indonesia guna meminimalkan risiko, Inspirasi ini muncul dikarenakan terdapat banyak penggunaan bahan bakar fosil yang besar dalam sistem perekonomian dan sistem energi Indonesia, sehingga penerapan prinsip ekonomi hijau mengenai transisi bahan bakar fosil dinilai sangat perlu untuk dilakukan. Studi mengenai transisi ini juga telah melaksanakan diskusi publik dan bilateral dengan pemerintahan. Hal penting yang harus dipertahankan ketika membahas transisi bahan bakar fosil adalah menurut prespektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Persiapan transisi bahan bakar fosil ini dilakukan guna mensukseskan perencanaan meminimalkan risiko dari penggunaan bahan bakar fosil.
Kedua, mengoptimalkan penerapan efisiensi energi yang mengarah pada sistem dekarbonasi energi di Indonesia. Efisiensi energi ini difokuskan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, tetapi tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pengoptimalan efisiensi energi ini dapat dilakukan kepada seluruh sektor yang ada dalam lingkup permintaan energi, seperti industri, rumah tangga, publik, maupun gedung komersial.
Ketiga, memperkuat kebijakan mitigasi mengenai perubahan iklim dalam negeri. Penguatan kebijakan ini harus berfokus pada riset dan advokasi kebijakan publik yang merujuk pada pemenuhan dan penyediaan energi yang merata, adil, dan mendorong kegiatan produktif menggunakan energi terbarukan di Indonesia. (***
Komentar