PADA dasarnya, semua perkara agama yang berkaitan dengan keseharian manusia telah diatur secara jelas dan terperinci oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam hadist-hadistnya. Terkait dengan fenomena batu Akik di atas, menurut hemat kami persoalan tersebut berada dalam ranah kebolehan semata.
Hal itu berdasarkan sebuah kaedah umum dalam disiplin Ilmu Qawaid Fiqh yang menyebutkan bahwa hukum asal muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Kalau diperhatikan secara seksama maka tidak ditemukan dalil khusus yang mengharamkan atau pun yang menganjurkan seseorang untuk menggunakan batu cincin yang terbuat dari Akik tersebut.
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Umar ibn Ahmad al-Sufayri dalam karyanya Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah Saw selama hidupnya mempunyai lebih kurang lima koleksian cincin. Pertama, cincin dari emas yang sempat beliau gunakan sebelum turunnya larangan memakai emas bagi kaum laki-laki.
Ketika mengetahui beberapa orang sahabat mengikutinya, Rasulullah pun segera membuang serta mengharamkan cincin tersebut untuk umatnya yang laki-laki. Kedua, cincin dari perak yang matanya juga terbuat dari perak. Ketiga, cincin dari perak yang matanya terbuat dari merjan (sejenis Akik).
Keempat, cincin dari besi yang dilapisi perak. Kelima, cincin dari perak yang matanya terbuat dari batu Akik. Hal ini sebagaimana yang pernah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya :
كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا
“Cincin Rasulullah Saw terbuat dari perak, sedangkan mata cincinnya terbuat dari batu Habasyi (Akik)”
Para ulama seperti Imam al-Nawawi, Ibn Hajar dan al-Sufayri mengatakan bahwa memakai cincin yang bermatakan Akik hukumnya adalah boleh. Begitu pula dengan batu Yaqut (sejenis batu mulia) juga dibolehkan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Karena beliau kadangkala juga memakai aqiq sebagaimana dalam Syarah Muslim lil Imaam an Nawawi juz XIV halaman 71, cetakan ke III tahun 1398 H, Daar al Fikr :
وفي حديث آخر فصه من عقيق
WA FII HADIITSIN AAKHARA FASHSHUHUU MIN ‘AQIIQ. ( di dalam hadits yang lain adalah batu mata cincinnya (permatane, Jawa) dari aqiq). Wolloohu A’lam.
حديث ـ تختموا بالعقيق فإنه ينفي الفقر ـ الديلمي من حديث أنس وعمر وعلي وعائشة بأسانيد متعددة, وفي اليواقيت للمطرزي أن إبراهيم الحربي سئل عنه فقال صحيح وقال يروى أيضا بالياء التحتية أي اسكنوا بالعقيق وأقيموابه, قلت عند ابن عدي بسند ضعيف من حديث عائشة مرفوعا: تختموا بالعقيق فإنه مبارك. اه الدرر المنتثرة ـ للإمام السيوطي
Ada hadits : Bercincinlah dengan batu akik, sesungguhnya itu menafikan kefakiran. Diriwayatkan oleh Imam Dailamy dari hadits Anas Umar Ali dan A’isyah rodhiyallahu’anhum dgn banyak sanad. Dalam kitab Yawaqit-nya Imam Muthrizi disebutkan: Ibrohim alharoby ditanya tentang hadits tsb maka ia berkata: itu hadits shohih. Dan ia berkata hadist tsb diriwayatkan juga dgn ya’ yakni : Tinggal-lah di rumah dengan memakai akik. Aku berkata (Imam Suyuthy) diriwayatkan Ibnu Ady dgn sanad dho’if hadits dari hadits Aisyah RA marfu’ (sampai pada Rosulullah) : Bercincinlah dengan batu akik, maka sesungguhnya itu diberkahi. [ Hamisy al-fatawilhaditsiyah 122 ].
Rasulullah SAW menggunakan cincin batu akik di jari kelingkingnya. Bahkan, Rasulullah menggunakan cincin batu akik sebagai stempel ketika mengirim surat penting ke sahabat-sahabat beliau, untuk menyakinkan para sahabat bahwa surat itu dari Rasulullah.
Dengan demikian, bahwa menggunakan batu akik dari sisi agama sunah, tidak salah, boleh dan wajar, asalkan digunakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik .Agama tidak melarang masyarakat menggunakan batu akik. Tapi harus dimaknai sebatas perhiasan tangan, tidak berharap kekuatan tertentu saat menggunakan batu tersebut.
Batu akik harus dipahami sebagai potensi alam, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia yang bisa dikembangkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.(***
Komentar