oleh

Ingat….!!! Belajar Thoriqoh Harus Dibimbing Mursyid

Oleh: Alfaqier G.E.Diponegoro.Jatman .(Pengurus Idarah Wustho Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah Prov.Lampung)

BAHAYA belajar ilmu agama tanpa guru dapat menyebabkan pemahaman yg keliru.

Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah sejak dari ayunan hingga liang lahat. Demikian pesan Nabi saw yg diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik.

Dalam hadis lain diterangkan: “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” Keutamaan penuntut ilmu (tholabul ‘ilm) ini juga mendapat ganjaran mulia dari Allah. “Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi pencari ilmu karena senang dengan apa yang dilakukannya.”

Pertanyaannya, bagaimana jika menuntut ilmu tanpa guru? Di zaman daring (dalam jaringan) saat ini banyak kita temui orang-orang berlajar sendiri tanpa guru. Bahkan, baru sedikit membaca buku dan belajar lewat Youtube, sudah berani berbicara di depan publik menjelaskan tentang hukum yang sesuai pemahamannya. Bukan dari pemahaman ilmu yang dipelajarinya dari guru-gurunya (sanad).

Habib Quraisy Baharun dalam satu tausiyahnya mengingatkan agar ilmu agama dipelajari dengan berguru, agar tidak salah paham atau pemahamannya salah.

“Sering kita dengar ungkapan, barangsiapa yang belajar tanpa guru, maka setan adalah gurunya. Kalimat ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf dan tarekat. Ini disebabkan karena Ilmu Syari’at seperti ilmu Fiqih, Tauhid, ilmu tasawuf dan tarekat adalah ilmu yang mengajarkan cara-cara dan kaidah-kaidah seorang hamba berhubungan dengan Allah.

Kalimat ini diungkapkan oleh ulama tasawuf Imam Abu Yazid Al-Busthami (wafat 874 M):

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ

“Barang siapa yg tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan.”

Dalam Tafsir Ruh Al-Bayan, karya Isma’il Haqqi Al-Hanafi (wafat 1715 M):

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ

“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.”

Dengan demikian, seseorang salik tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf atau tarekat bila tanpa bimbingan guru atau mursyid. Jika tidak, maka ia akan tersesat dan kehilangan arah.

Ulama Tarekat Syadziliyah Syekih Ali bin Wafa (wafat 1405 M) mengatakan bahwa siapa pun yang menginginkan kesempurnaan tanpa melalui mursyid dan pembimbing, maka ia telah salah menempuh jalan.

Ulama hadis Syeikh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir berkata:

لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلَّا عَمَّنْ شُهِدَ لَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ

“Ilmu tidak diambil kecuali dari orang yg disaksikan bahwa ia mencari ilmu (bukan dari orang-orang yg tidak diketahui pernah mencari ilmu).”

Seseorang yang ingin mempelajari lmu dunia, maka kebutuhan untuk belajar dengan seorang guru hukumnya relatif, tergantung pada subjek pengetahuan yang dipelajari.

Habib Quraisy menjelaskan, untuk ilmu-ilmu non-syariat, misalnya, pendidikan modern hari ini telah menyusun sistem pendidikannya dengan tujuan peserta didik memiliki kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap, dan kompetensi keterampilan.

Karena itu, mereka diharuskan untuk bersekolah atau mengikuti pelatihan yang di dalamnya terdapat guru dan pelatih hingga ia dinyatakan lulus dan kompeten. Jika tidak, maka keilmuannya dalam konteks ini akan diragukan dan dipertanyakan.

Alfaqier Gus Endro Diponegoro.Pengurus Idaroh Wustho Jatman Lampung.(****

Komentar