oleh

Aksara Sunda Nu Katélér-Télér

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS. (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

AKSARA merupakan lambang kemajuan adab dan media untuk memacu perkembangan peradaban. Oleh sebab itu, sudah selayaknya menjadi kareueus ‘kebanggaan’ bagi setiap suku bangsa yang memiliki ‘aksara’ sebagai jati dirinya. Orang Sunda seperti halnya sebelas aksara lainnya di Indonesia, yaitu Bali, Batak, Bengkulu, Bima, Bugis, Jawa, Komering, Lampung, Makasar, Pasemah, dan Rejang,  sejak bihari ‘zaman dahulu’ sudah mengenal dan menciptakan aksara sebagai hasil kreasi pituin ‘asli’ orang Sunda sendiri, yang digunakan untuk mengabadikan pengetahuan dan pengalamannya dalam bahasa Sunda, dapat dianggap momentum penting serta menandakan tingginya tingkat peradaban yang pernah dicapai oleh masyarakat Sunda pada masa silam, suatu hal yang menjadi kareueus ‘kebanggaan’ kita sebagai ahli warisnya.

Kita sebagai penerus bangsa, perlu mengenal ‘aksara’ sebagai warisan karuhun nenek moyang kita, yang telah menyumbangkan karya ciptanya bagi kemajuan dan perkembangan peradaban, untuk memahami makna keberadaan, peranannya, serta mengungkap kearifan lokal yang ada di dalamnya. Untuk itu, kita sebagai pewarisnya wajib memelihara, melestarikan, dan mengembangkan, serta memperkenalkannya kepada generasi muda berikutnya.

Keberadaan kecakapan baca tulis di wilayah Sunda  telah diketahui sejak sekitar abad ke-5 Masehi, pada masa Kerajaan Tarumanagara. Kemunculan Aksara Sunda Buhun ‘kuno’ sekitar zaman kerajaan Sunda (masa Pakuan Pajajaran-Galuh, abad ke-8 sampai dengan abad ke-16), selain ditemukan peninggalan yang berupa prasasti dan piagam (Geger Hanjuang, Sanghyang Tapak, Kawali, Batutulis, dan Kebantenan), juga sudah ditemukan peninggalan yang berupa naskah (berbahan lontar, nipah, kelapa, dan bilahan bambu) dalam jumlah yang cukup banyak dan berasal dari berbagai daerah di wilayah Tatar Sunda.

Naskah tertua yang ditemukan dari wilayah Tatar Sunda berasal dari sekitar abad ke-14 hingga abad ke-16 Masehi. Naskah-naskah dimaksud yang telah digarap dan dipelajari hingga saat ini, antara lain Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Amanat Galunggung, Kawih Paningkes, Sanghyang Raga Dewata. Data dan fakta tersebut, membuktikan bahwa masyarakat Sunda telah mengenal tradisi tulis sejak lama, bahkan mereka telah mampu menciptakan sebuah model aksara sendiri yang dikenal dengan aksara Sunda Buhun ‘kuno’ yang dikenal Aksara Sunda Kaganga (sekarang cukup disebut Aksara Sunda). Naskah paling muda yang memakai aksara dan bahasa Sunda kuno berjudul Carita Waruga Guru, ditulis pada akhir abad ke-18 Masehi dengan menggunakan bahan kertas Eropa.

Informasi, tulisan, atau ulasan berkenaan dengan upaya ngaraksa, ngariksa, tur ngamumulé budaya Sunda, sungguh sangat menarik perhatian saya. Beberapa tahun yang lalu, ramai dibicarakan pemberlakuan penggunaan iket dan pakaian daerah (Sunda) setiap hari Rabu oleh masyarakat Kota Bandung dan kota lainnya di Jawa Barat. Pro dan kontra pun bermunculan. Namun tulisan ini tidak untuk memolemikkan masalah tersebut. Penulis lebih memperhatikan aksara Sunda  yang jelas-jelas menjadi jati diri tur ajén diri orang Sunda, yang justru keberadaannya kini semakin katélér-télér. Mengapa pemerintah tidak memberlakukan implementasi aksara Sunda yang sudah jelas-jelas ada Kepres, SK dan Perdanya?

Adanya Perda no. 6  tahun 1996 yang  diikuti Surat Keputusan Gubernur Daerah TK. I Jawa Barat No. 434/SK.614-Dis.PK/99, sebenarnya dilatarbelakangi oleh Keputusan Presiden No. 082/B/1991 tanggal 24 Juli 1991. Kini Perda nomor 6 tahun 1996 tersebut sudah menjadi “Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor  5 tahun 2003, yang kemudian direvisi nomor 4 tahun 2014 ”Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah”, yang diikuti oleh SK pemberlakuan pengajaran bahasa Sunda di semua jenjang pendidikan.

Aksara Sunda sebenarnya sudah dikenalkan dan diimplementasikan meskipun belum maksimal. Beberapa jalan di Bandung, sebagian Kota Tasikmalaya, Purwakarta, dan Sumedang, juga instansi pemerintah sudah menerapkannya, termasuk Jajaran kepolisian yang ada di wilayah Priangan. Apresiasi layak diberikan kepada Instansi Kepolisian yang pada tahun 2009 atas kiprah Irjen Pol. (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, MPKN sebagai Kapolwil Priangan waktu itu, sudah mengimplementasikan aksara Sunda melalui papan nama Polres dan Polsek. Namun seiring dihapuskannya Polwil Priangan, papan-papan nama itu pun terkikis dan menghilang dengan sendirinya.

Ketidakengeuhan terhadap aksara Sunda disebabkan ketidaksiapan Guru sebagai ‘ujung tombak’ untuk mengenalkan dan mengajarkan aksara Sunda kepada anak didiknya. Hal ini dimaklumi. Bagaimana Guru mau mengenalkan dan mengajarkan aksara Sunda, kalau gurunya sendiri belum mampu memahami aksara Sunda dimaksud. Untuk itu, Dekan FKIP Universitas Siliwangi pada waktu itu, Prof. Dr. H. Yus Darusman, M.Si., pada tahun 2006 – 2010 bekerjasama dengan Dosen UNPAD, UPI, dan Diknas terkait, dimulai dari Kota & Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, serta Sumedang berkiprah mengadakan Seminar Budaya & Implementasi Aksara Sunda bagi Guru, dengan tujuan agar Guru mampu mengimplementasikan aksara Sunda melalui papan nama beraksara Sunda di sekolahnya masing-masing. Lewat papan nama tersebut, diharapkan para siswa secara tidak langsung mengenal dan belajar aksara Sunda, serta merasa memiliki aksara Sunda sebagai jati diri dan kebanggaannya. Melalui implementasi ini, semoga aksara Sunda lebih nanjeur tur nanjung komarana.

Acuan:

Suryani, Elis NS. 2021. Ngaraksa, Ngariksa, Tur Ngamumulé Budaya Sunda. Bandung: PT. Raness Media Rancage.

Komentar