Catatan Kecil : Helatini Sardi
AKU bingung bagaimana cara memberi kemasan yang menarik dan cantik sehingga orang lain filling in love terhadap catatan kecil ini. Aku juga khawatir menyinggung perasaan, dianggap tidak sopan dan melecehkan, tapi ayolah berpikir positif dan cerdas.
Dalam otakku berdesakan ide yang harus kuungkapkan dan kutulis agar bermanfaat. Sebagus apapun ide, seindah apapun sebuah imajinasi, tanpa diwujudkan adalah nol dan hanya menjadi angan-angan belaka, yang menyesaki pikiran dan perasaan.
Ada peribahasa harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Aku bukan harimau belang tapi aku manusia yang harus meninggalkan karya, karena jika sekedar nama, akan dilupakan setelah empat puluh hari kematian.
Aku mulai yaaa….
Hari itu aku mengikuti kegiatan Pembinaan Disiplin dan Administrasi Kepegawaian. Karena aku datang tepat waktu, kursi dalam ruangan telah penuh oleh rekan rekan yang datang sebelum waktu yang ditetapkan. Kursi deretan paling belakang tersisa satu, di situlah aku duduk. Clingukan, biasa jadi sopir, kini alih posisi menjadi penyapu jalan, tapi itulah resiko peserta terakhir, aku terjebak macet, sebuah pohon tumbang yang melintang ke jalan tak bisa kuloncati. Yang datang belakangan kalau tidak duduk paling depan karena biasanya kursi terdepan dibiarkan kosong, ya paling belakang atau malah tidak kebagian kursi.
Aku berusaha fokus kepada materi yang dipaparkan, bahwa disiplin pegawai diciptakan bukan untuk menekan atau menyulitkan tetapi sebagai jalan untuk mencapai kinerja terbaik yang berdampak terhadap peningkatan penghasilan. Tunjangan berbasis kinerja telah dilaksanakan di berbagai kabupaten kota di Jawa Barat. Besok atau lusa, di kotaku pasti melaksanakan juga sistem seperti itu. Aku setuju, setuju pisan. Dengan adanya Tukin, pelanggaran disiplin kerja pegawai bisa diminimalisir. Di sini keadilan ditegakkan, tunjangan hanya diberikan kepada pegawai dengan kinerja baik dan bukan diberikan sama rata, pegawai yang leha-leha tanpa kinerja baik pun selama ini tetap lancar tunjangannya, aku jadi tepok jidat karena tak memiliki kapasitas sebagai pengambil kebijakan dan keputusan.
Obrolan menjadi hangat ketika sampai kepada pembahasan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diubah menjadi PP no 45 tahun 1990, pasal 3 mengatur izin perceraian, dan pasal 4 mengatur izin poligami.
Narasumber memberi kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pendapat tentang penyebab perceraian yang terus meningkat di kalangan guru. Aku mengacungkan tangan, dan berharap ada rekan juga, supaya berbagai pendapat bisa dijadikan bahasan yang lebih menarik. Aku senang mendapat giliran pertama untuk berpendapat, bagiku adalah kesempatan untuk menunjukkan orisinalitas argumen kepada publik.
“Menurut pendapat saya, tingginya angka perceraian di kalangan guru, faktor utama adalah karena takdir dari Alloh SWT.”
Gerrrr, rekan rekan yang didominasi bapak-bapak bersuara, ada beberapa suara yang jelas kudengar mendukung apa yang kukatakan.
“Memang, takdir., benar itu. Karena kehendak Alloh,” seseorang memperkuat pendapatku.
Aku sebenarnya tak peduli pendapatku salah atau benar, yang aku yakini adalah semua kejadian tak ada yang kebetulan, jangankan sebuah perceraian, yang nota bene adalah peristiwa besar yang berdampak besar pula terhadap kedua belah pihak, kepada anak-anaknya, selembar daun yang jatuh pun adalah karena kehendak Alloh. Semua ada dalam skenario Nya. Kewajiban kita sebagai pimpinan adalah mendamaikan dua hati yang berseteru, dan memperbaiki barangkali masih bisa diperbaiki, sebelum menjadi ketetapan yang hakiki.
“Adanya perselingkuhan, hadirnya PIL, WIL, orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, adanya kesenjangan penghasilan, adanya campur tangan pihak lain, KDRT dan sebagainya adalah pemicu terjadinya perceraian,” lanjutku menambah argumen.
Ternyata pendapat yang aku berikan dipandang cukup mewakili, atau mungkin juga karena waktu yang mepet. Andai ada waktu lebih banyak, maka pembicaraan tentang PP 10 menjadi pembicaraan yang sangat mengasyikan untuk diikuti. Ada berbagai versi argumentasi, ada juga sedikit emosi, atau bahkan tergores sakit hati. Tapi kita tidak boleh menghakimi, karena hakim yang seadil-adilnya adalah Alloh SubhanahuWa Taala.
Keluar dari ruangan, aku masih meneruskan obrolan dengan rekan sepanjang koridor menuju lantai dasar.
“Biasanya ibu-ibu sewot jika membicarakan poligami,” kata seorang bapak kepala sekolah yang setahun lagi purnabakti..
“Aku mah enggak, aku menyakini dan menerima poligami sebagai bagian dari sunah rosul,” jawabku berani.
“Waaahhh, yang bener aja, buu?”
“Iyaaa, aku setuju kalau suami berpoligami,” aku meyakinkan mereka.
“Kita turun pake lift atau tangga? Aku mengalihkan pembicaraan. “Baiknya bapak-bapak turun tangga aja,” langkahku diikuti, mereka pilih turun tangga.
“Bener, buu, setuju poligami?” tanya bapak satunya lagi.
Ini bapak bapak jadi penasaran, sepertinya ingin menggali lebih dalam bagaimana pendapat kaum hawa terhadap poligami. Tapi yang jelas obrolan itu cuma semacam obrolan di warung kopi, obrolan ringan sebagai selingan di kala otak dan pikiran kelelahan akibat pekerjaan yang menumpuk.
“Aku setuju,” tandasku
“Asal jangan suami aku!!!”
Titik.
Komentar