oleh

Analisis Hukum PHPU Bupati Tasikmalaya, Perkara Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025  Menimbang Potensi Diskualifikasi Pasangan Nomor 3

Oleh: Acep Sutrisna-Tim Analis Gatra

Pendahuluan

Apakah demokrasi di Tasikmalaya telah ternoda oleh pelanggaran hukum? Kasus sengketa hasil Pilkada Tasikmalaya 2024 menjadi perhatian nasional, terutama karena dugaan pelanggaran serius oleh Pasangan Calon (Paslon) Nomor 3. Pilkada Tasikmalaya tidak hanya menjadi kontestasi politik, tetapi juga ujian besar bagi integritas pemilu di Indonesia. Gugatan yang diajukan oleh Paslon Nomor 2 tidak hanya mempertanyakan hasil suara, tetapi juga menuntut diskualifikasi Paslon Nomor 3. Artikel ini akan membedah masalah hukum, bukti pelanggaran, dan dampaknya terhadap demokrasi lokal.

Masa Jabatan yang Dipersoalkan

Salah satu poin utama dalam gugatan ini adalah dugaan bahwa Paslon Nomor 3 telah melanggar batas masa jabatan dua periode, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 10 Tahun 2016. Berdasarkan laporan Pemohon, Paslon Nomor 3, Ade Sugianto, telah:

  • Masa Jabatan Pertama: Menjabat sebagai Penjabat Sementara (Pj) Bupati pada 2018 selama hampir tiga bulan, sebelum dilantik sebagai Bupati definitif untuk sisa periode 2016-2021.
  • Masa Jabatan Kedua: Menjabat sebagai Bupati definitif periode 2021-2025, yang saat ini sedang berjalan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya, seperti Putusan No. 2/PUU-XXI/2023, memperjelas bahwa masa jabatan dihitung berdasarkan waktu nyata yang dijalani, baik sebagai penjabat sementara maupun definitif. Dengan demikian, Paslon Nomor 3 diduga melanggar ketentuan batas masa jabatan dua periode.

Kesalahan Administratif oleh KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tasikmalaya juga diduga melakukan kelalaian serius dalam verifikasi administrasi Paslon Nomor 3. Meskipun ada masukan masyarakat, seperti surat dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Forum Murroby, KPU tidak menindaklanjuti dengan penelitian yang memadai.

Padahal, Pasal 54 UU No. 10 Tahun 2016 mengatur bahwa KPU wajib meneliti persyaratan administrasi dengan cermat. Kelalaian ini mencerminkan pelanggaran prinsip good governance dan berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap hasil Pilkada.

Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)

Selain masalah masa jabatan, gugatan juga menyoroti dugaan pelanggaran TSM oleh Paslon Nomor 3, termasuk:

  1. Pelibatan Perangkat Pemerintah: Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) dilaporkan mengorganisir kegiatan yang mendukung kampanye Paslon Nomor 3.
  2. Penggalangan Dukungan Kepala Desa: Surat undangan kegiatan oleh PMD diduga menjadi alat untuk mengarahkan dukungan kepala desa kepada Paslon Nomor 3.
  3. Pemanfaatan Organisasi Keagamaan: Kegiatan Gebyar DMI Kabupaten Tasikmalaya diduga digunakan untuk menggalang dukungan terhadap Paslon Nomor 3.

Pelanggaran ini, jika terbukti, jelas mencederai prinsip pemilu yang Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil).

Preseden Hukum MK

Beberapa kasus sebelumnya menunjukkan bahwa MK dapat mendiskualifikasi pasangan calon jika terbukti melanggar hukum:

  • Pilkada Boven Digoel (2020): MK mendiskualifikasi pasangan calon karena tidak memenuhi syarat administratif.
  • Pilkada Sabu Raijua (2020): MK memerintahkan pemungutan suara ulang tanpa pasangan calon yang melanggar hukum.

Dalam kasus Tasikmalaya, pelanggaran yang diduga dilakukan Paslon Nomor 3 memiliki kemiripan substansial dengan preseden tersebut, sehingga berpotensi menghasilkan keputusan yang serupa.

Kesimpulan dan Harapan

Berdasarkan bukti dan argumen yang diajukan, gugatan terhadap Paslon Nomor 3 memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempertimbangkan diskualifikasi. Keputusan MK nantinya tidak hanya akan menentukan nasib Pilkada Tasikmalaya, tetapi juga menjadi cerminan kredibilitas sistem pemilu di Indonesia.

Akankah Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan adil dan tegas demi menjaga integritas demokrasi? Hasil akhirnya akan menjadi penentu arah demokrasi lokal dan nasional.(***