oleh

ANALISIS INTELIJEN: “Dinasti Soekarno, Petugas Partai dan Masa Depan PDIP”

Oleh: Josef Herman Wenas

BELAKANGAN sedang ramai soal Romy Soekarno, putera Rachmawati Soekarnoputri, yang “gagal tapi berhasil” jadi anggota DPR-RI periode 2024-2029. Gagal kok berhasil? Soal ini memang “contradictio in terminis,” seperti sering terjadi dalam berbagai peristiwa politik.

Pembegalan demokrasi di Dapil VI Jatim berhasil menempatkan Romy di DPR-RI. Pembegalan ini bukan di tahap Pra-Pemilu (pendaftaran/penetapan caleg), tetapi di tahap Pasca-Pemilu (setelah penghitungan suara dan penetapan KPU).

Silahkan Anda lihat GRAFIS TERKAIT. Romy cuma dapat 51.245 suara maka gagal lolos ke Senayan. Perolehannya jauh dibawah kolega separtainya seniman Pulung Agustanto, yang dapat 165.869 suara. Pulung ini, yang juga adik dari Pramono Anung, berada di nomor urut dua dibawah pemilik suara tertinggi Dapil VI Jatim, M. Sarmuji (kader Golkar) yang punya 183.045 suara.

Tetapi Pulung tidak digeser. Yang digeser pertama justru Sri Rahayu yang punya 111.284 suara— kebetulan Sri pernah dituntut 3 tahun penjara atas sebuah kasus korupsi sewaktu jadi Ketua DPRD Malang 1999-2004. Tetapi, dibegalnya suara Sri ini masih tidak cukup untuk mengatrol Romy.

Maka berikutnya yang dibegal adalah Arteria Dahlan, yang perolehannya juga tidak meloloskan dirinya ke Senayan, karena cuma punya 62.242 suara— bagi Arteria sebetulnya nothing to lose, hitung-hitung nambah kredit di mata pemilik PDIP.

Jadi, sangat berbeda ya. Pembegalan bagi Sri Rahayu yang lolos ke Senayan, itu hal yang menyakitkan. Tetapi bagi Arteria Dahlan, yang memang gagal jadi anggota DPR-RI, pembegalan ini justru membahagiakan dirinya, karena seolah-olah bisa berbakti kepada dinasti Soekarno.

Soal siapa boleh menjadi anggota DPR-RI, ini memang wilayah prerogatif Ketum, baik di tahap Pra-, Tengah- dan Pasca-Pemilu. Masih ingat kan soal SISTEM KOMANDANTE yang mengeliminasi 6 kader PDIP yang SUDAH TERPILIH sebagai anggota DPRD Jateng di bulan Juni lalu? Mereka semua juga dipaksa mundur!

Masalah prinsipilnya saya kira ada pada aspek PENGHIANATAN TERHADAP KONSTITUEN (ie. rakyat pemilih). Yang memilih Sri Rahayu, Arteria Dahlan serta keenam caleg DPRD Jateng itu pasti terkesima, merasa dikhianati, merasa dibegal, karena yang mewakili mereka ternyata muka-muka lain yang asing.

Dan Arteria mengekspresikan SISTEM KOMANDANTE ini dengan sangat akurat: “Untuk melayani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beserta keluarganya.” Inilah tafsiran tepat dan benar apa yang dimaksud oleh Megawati Soekarnoputri tentang konsep PETUGAS PARTAI.

**

Konsep PETUGAS PARTAI di PDIP itu tidak melulu jelek sebetulnya. Tujuannya mau membangun loyalitas tegak lurus terhadap sang Ketum. Tetapi faktanya memang tidak melulu bagus juga. Sesuatu yang memang “contradictio in terminis.”

Sebab, pada prakteknya terjadi “L’État, c’est moi” atau “I am the state” seperti yang dirindukan oleh Raja Louis XIV di hadapan Parlemen Paris pada 13 April 1655. Baik Louis XIV maupun Megawati Soekarnoputri nampaknya merindukan kembalinya absolutisme kekuasaan seperti yang dimiliki raja-raja Eropa abad pertengahan, di era pra-Magna Carta (1215).

Absolutisme kekuasaan Megawati ini terlihat jelas dari berbagai upaya yang dilakukannya untuk mem-petugaspartai-kan Presiden Jokowi selama 9 tahun. Terutama di berbagai urusan jabatan seperti Wapres, Menteri, Kapolri, Panglima TNI, Kastaf Angkatan, Kepala BIN, dsb.

Kadang Megawati berhasil menekan Presiden Jokowi, kadang juga tidak. Maka itulah kita sering menyaksikan “Ratu PDIP” ini melecehkan marwah Presiden Jokowi dihadapan para kader PDIP.

Sampai akhirnya, menjelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi menolak keinginan Megawati agar KOALISI BESAR [baca: bersatunya elit politik] yang telah capek-capek diupayakan oleh Jokowi sejak 2014, dan direncanakan agar berlanjut di periode 2024-2029, dipaksa mengikuti skenario dari “Ratu PDIP” ini.

Yang formulanya adalah: Capresnya harus dari PDIP, Cawapresnya terserah koalisi.

Jokowi jelas menolak. Sebab Jokowi tahu bakal Capresnya adalah Ganjar Pranowo. Yang kalah jauh kualitas leadershipnya dibandingkan Prabowo Subianto. Lagipula Ganjar adalah sosok PETUGAS PARTAI yang 100% “Yes, Mam”— terbukti Ganjar tunduk atas perintah Megawati agar Piala Dunia U-20 digagalkan. Itu terjadi di bulan Maret 2023, saat Jokowi sedang bermanuver mati-matian supaya paslon “Prabowo-Ganjar” bisa terwujud.

Ganjar bukannya tidak tahu bahwa PDIP adalah segalanya bagi Megawati, sedangkan bagi Jokowi bangsa dan negara Indonesia diatas segalanya. Faktanya, Ganjar memilih kepentingan PDIP diatas kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Sebaliknya Jokowi juga tahu PETUGAS PARTAI model Ganjar Pranowo nantinya akan selalu berada dalam “sandwich position” diantara kepentingan KOALISI BESAR dan kepentingan Megawati-PDIP. Itu sebabnya Jokowi melihat Ganjar lebih tepat di posisi RI-2 (ban serep)

Leadership Ganjar, bila dijadikan RI-1, bakalan plintat-plintut. Ini akan bikin repot keberlanjutan pembangunan dalam mewujudkan VIE 2045, yang sangat membutuhkan figur pemimpin kuat untuk MENGENDALIKAN KOALISI BESAR [baca: menjaga persatuan para elit politik] yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Jokowi sejak 2014.

VIE 2045 tidak akan terwujud tanpa adanya KOALISI BESAR. Dan KOALISI BESAR tidak akan langgeng tanpa figur pemimpin kuat yang MAMPU MENGENDALIKAN-nya. Ini jelas bukan “maqom”-nya Ganjar Pranowo.

**

Sekarang dengan prinsip kepentingan DINASTI SOEKARNO digabungkan konsep PETUGAS PARTAI dibawah payung SISTEM KOMANDANTE, pertanyaannya adalah: PDIP mau kemana di Pemilu 2029 nanti?

Eksistensi suatu Parpol itu kan ujiannya ada di Pemilu, yang KPI-nya adalah berapa banyak “saham politik” (kursi) yang dimiliki di parlemen? “Saham politik” ini disebut juga “modal politik.”

Silahkan Anda perhatikan GRAFIS TERKAIT. Sebab, kita akan menganalisisnya melalui timeline panjang, yang terbagi kedalam tiga periode: 1996-2009, 2009-2019 dan 2019-2024. Ya, seperti menganalisis kinerja saham di pasar modal lah.

PERIODE 1996 – 2009

Perhatikan perolehan PDIP yang 33% kursi hasil Pemilu 1999. Inilah pretasi tertinggi yang dicapai Megawati Soekarnoputri, yang memang saat itu menjadi “central vote-getter” bagi PDIP. Citra politik Megawati memang seng ada lawan sejak perisitiwa “Kudatuli” di tahun 1996. Dia adalah simbol perlawanan kaum Reformis vs Orde Baru.

Karena Pilpresnya masih di MPR-RI, artinya “modal politik” hasil coblosan rakyat di TPS sudah diambil-alih oleh para elit politik untuk dimainkan, ternyata Megawati kalah, hanya jadi RI-2 saja. Inilah kegagalan pertama Megawati-PDIP dalam membangun koalisi politik!

Megawati yang naik ke kursi RI-1 gara-gara Presiden Wahid dipecat, ternyata kinerjanya dipersepsikan gagal oleh publik. Citra “silence is golden“ yang menjadi kekuatannya di fase perlawanan Reformasi, tidak cocok diterapkan di fase kepresidenannya. Kebanyakan bungkam, sehingga orang pada bingung apa maunya sang presiden.

SBY yang tampil kontras dengan artikulasi pesan yang jelas dan sistematis kemudian menjadi ‘”media darling,” sehingga publik pun jatuh cinta kepadanya di Pemilu 2004, bahkan lanjut ke Pemilu 2009.

Konsekuensinya, grafik “saham politik” PDIP pun “go south” (alias turun kebawah/arah selatan) dari 33% kursi DPR-RI di Pemilu 1999 menjadi sekitar 16% kursi saja di Pemilu 2009, setelah sempat nyangkut di angka 19%-an kursi pada Pemilu 2004. Perhatikan downtrend line putus-putus berwarna abu-abu.

Era SBY (yang menang Pemilu 2004 dan 2009) menghajar habis aset PDIP yang namanya Megawati Soekarnoputri sebagai “central vote-getter” mereka. Ini masa gelap gulita bagi PDIP!

PERIODE 2009 – 2019

Di penghujung era SBY ini, tepatnya di tahun 2012 (Pilkada DKI Jakarta), muncul sosok “central vote-getter” baru bagi PDIP yang namanya Joko Widodo. Konteksnya memang Pilkada DKI Jakarta, tapi gaungnya se-Indonesia. Sekarang gantian Jokowi yang jadi media darling, menggeser sosok SBY yang saat itu dianggap pemimpin “peragu”, “auto pilot,” “pesolek citra,” dsb.

Saya tidak usah mengulang cerita naiknya Jokowi ke panggung nasional. Anda semua sudah tahu.

Singkatnya, kehadiran Jokowi sebagai “central vote-getter” bagi PDIP terbaca pada grafik “saham politik” PDIP yang “go north” (naik keatas/arah utara), dari 16% kursi di Pemilu 2009, naik ke 19% kursi di 2014, dan “go north” lagi ke 22% kursi di 2019. Fenomena ini disebut “Jokowi-effect.”

PERIODE 2019 – 2024

Menjelang Pemilu 2024, mayoritas publik yang masih “akyu padamyu” terhadap “Jokowi-effect” dibalik approval rating sang presiden yang konsisten di kisaran 75-80%, bingung melihat kenyataan berpisahnya Jokowi dan Megawati.

Saya juga tidak perlu mengulang cerita di penghujung fase 2019-2024 ini. Faktanya, perginya “Jokowi-effect” dari domain PDIP membuat “saham politik” partai ini “go south” ke angka 18%-an kursi DPR-RI.

Sedangkan “Megawati-effect” sudah tidak laku, dan “Ganjar-effect” hanya punya 16% suara di Pilpres.

**

Faktanya, hari ini kinerja elektoral PDIP menurun. Tidak hanya di parlemen pusat, namun juga di jantung konstituen mereka yang disebut “Kandang Banteng” itu. Lebih ironis lagi, bukan saja kinerja elektoralnya yang “go south”, tetapi KINERJA KOALISI-nya juga belum berubah.

Kemampuan PDIP dalam MEMBANGUN KOALISI POLITIK hari ini masih sama seperti 25 tahun lalu di Pilpres 1999— ketika mereka gagal meyakinkan para elit di MPR-RI untuk menjadikan Megawati sebagai Presiden RI.

Sayangnya sang “Ratu PDIP” masih meyakini bahwa “Pemimpin itu bukan bikin versi-versi.” Megawati masih meyakini versinya sendiri. Quo vadis PDIP di Pemilu 2029?

-JHW