oleh

Analisis Isu Reshuffle Kabinet Prabowo Pasca Lebaran 2025: Antara Tekanan Ekonomi dan Dinamika Politik

Oleh: Green Berrryl & Pxai

ISU RESHUFFLE Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto kembali mencuat pasca Lebaran 2025. Dorongan perombakan kabinet ini terutama dipicu oleh tiga indikator ekonomi yang memprihatinkan: defisit APBN yang melebar, merosotnya penerimaan pajak, dan menurunnya produktivitas sektor riil. Para pengamat politik menyoroti perlunya evaluasi menteri-menteri di bidang ekonomi, sembari menyebut struktur kabinet saat ini terlalu gemuk dan tidak efektif. Wacana reshuffle ini juga diperkuat dengan beredarnya dokumen internal yang menyebutkan kemungkinan perombakan kabinet pada awal April atau setelah Idul Fitri, dengan fokus utama pada tim ekonomi pemerintah.

Latar Belakang Munculnya Isu Reshuffle

Wacana perombakan atau reshuffle Kabinet Merah Putih kembali mencuat usai momentum Lebaran 2025, di tengah sorotan tajam terhadap kinerja ekonomi nasional yang dinilai melemah signifikan. Publik dan para pengamat menilai Presiden Prabowo Subianto perlu segera mengevaluasi jajaran menterinya, khususnya di sektor ekonomi, guna merespons tekanan fiskal dan gejolak kepercayaan masyarakat[1].

Kondisi ekonomi Indonesia pasca-Lebaran menjadi perhatian serius karena setidaknya tiga indikator utama menjadi pemicu munculnya desakan reshuffle: defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), merosotnya penerimaan pajak, serta menurunnya produktivitas sektor riil[1][2]. Pengamat politik Universitas Nasional, Andi Yusran, menegaskan bahwa parameter-parameter tersebut mengindikasikan perlunya perombakan kabinet[1].

Selain aspek kinerja, struktur Kabinet Merah Putih saat ini juga dinilai terlalu gemuk. Andi Yusran berpendapat bahwa jumlah menteri yang besar tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan efektivitas pemerintahan. “Kabinet tambun justru menjadi beban bagi keuangan negara dan memperlambat pengambilan keputusan,” tegasnya[1][2].

Momentum Politik Pasca Lebaran

Pengamat politik Rocky Gerung juga mengamini menguatnya pembahasan reshuffle, terutama selama momen Hari Raya Idulfitri 1446 H, yang diwarnai berbagai kegiatan silaturahmi di kalangan elite[1]. Menurutnya, meski politik seolah ‘libur’ selama Lebaran, dinamika tetap berjalan di balik layar.

“Dalam open house di Istana, rumah Presiden ketujuh Joko Widodo, hingga kediaman Megawati Soekarnoputri, pasti ada kasak-kusuk soal siapa yang layak diganti dan siapa yang layak menggantikan,” kata Rocky, dikutip dari kanal YouTube resminya[1][11].

Gerung menekankan pentingnya Presiden Prabowo memaknai ekspresi publik di media sosial sebagai sinyal kuat untuk melakukan pembenahan. “Ekspresi kemarahan netizen terhadap beberapa menteri itu jujur, dan itu bisa menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden,” ujarnya[1].

Faktor Ekonomi Sebagai Pendorong Utama Reshuffle

Kondisi Ekonomi yang Memburuk

Alumnus Universitas Indonesia, Muhammad Sutisna, menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai Rp16.640 per dolar AS hampir menyerupai kondisi krisis moneter 1998. Situasi ini, menurut Sutisna, adalah dampak dari kurang maksimalnya kerja para menteri, terutama yang bertanggung jawab dalam bidang ekonomi[3][8].

Pengamat politik dari Citra Institute, Yusak Farhan, juga menyoroti beberapa indikator ekonomi yang memprihatinkan. “Merosotnya IHSG, melemahnya rupiah, dan potensi menurunnya perputaran uang pada lebaran 2025 atau lesunya ekonomi lebaran patut menjadi perhatian presiden atas kinerja sektor ekonomi,” kata Yusak[5][11].

Ketidakpuasan Publik

Hasil survei lembaga KedaiKOPI menunjukkan bahwa 27,5 persen masyarakat tidak puas dengan pemerintahan Prabowo selama 100 hari belakangan, dan penyumbang terbesarnya adalah perilaku menteri yang buruk[6]. Pendiri KedaiKOPI, Hendri Satrio, menjelaskan bahwa penggunaan media sosial yang besar membantu masyarakat dalam memberikan opini terkait kinerja para menteri[6].

Kritik tajam dan kekecewaan masyarakat yang terlihat di media sosial serta aksi demonstrasi menjadi indikator perlunya evaluasi kabinet. Belakangan, sejumlah menteri di lingkaran Presiden Prabowo menuai kritik akibat kebijakan yang dianggap kurang efektif dan komunikasi publik yang menimbulkan kontroversi[1][2].

Kementerian yang Menjadi Sorotan

Fokus pada Sektor Ekonomi

Bila merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Indonesia Merah Putih 2024-2029, beberapa kementerian yang perlu dievaluasi mencakup:

  • Kementerian Koordinator Perekonomian
  • Kementerian Perdagangan
  • Kementerian BUMN
  • Kementerian Ketenagakerjaan
  • Kementerian ESDM
  • Kementerian Investasi dan Hilirisasi
  • Kementerian Perindustrian
  • Kementerian Pariwisata[3][8]

Menteri-Menteri yang Disorot

Beberapa menteri secara khusus mendapat sorotan tajam dari para pengamat, di antaranya:

  • Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang dianggap gagal dalam menetapkan kebijakan strategis tata kelola migas, terutama terkait kisruh gas 3 kg[3][8]. Meski demikian, Yusak Farhan ragu Prabowo berani melakukan reshuffle terhadap Bahlil Lahadalia yang juga merupakan Ketua Umum Partai Golkar[5].
  • Menteri Investasi Rosan Roeslani yang dikritik karena rangkap jabatan di perusahaan pelat merah Danantara[3].
  • Menteri BUMN Erick Thohir yang dianggap gagal melindungi konsumen BBM akibat megakorupsi di Pertamina[3].
  • Menteri Perdagangan Budi Santoso yang gagal menstabilkan harga bahan pokok jelang lebaran[3].

Indikasi Reshuffle dalam Waktu Dekat

Bocoran Dokumen

Beredar dokumen yang mengabarkan akan segera terjadi reshuffle di Kabinet Merah Putih dalam 3-4 pekan ke depan. Dokumen bertajuk “Reformasi Weekly Review” tersebut tertanggal 10 Maret 2025, dan beredar di kalangan terbatas[15].

Disebutkan bahwa perombakan kabinet yang akan dilakukan Presiden Prabowo Subianto memengaruhi tim di bidang ekonomi. Menurut sumber yang kredibel, kemungkinan akan terjadi pada awal April, atau setelah libur Idul Fitri[15].

Pernyataan Presiden Prabowo

Presiden Prabowo sebelumnya pernah angkat bicara soal isu reshuffle saat menghadiri puncak peringatan Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta pada Februari 2025. “Rakyat menuntut pemerintah yang bersih dan benar, yang bekerja dengan benar. Jadi, saya ingin tegakkan itu. Kepentingan hanya untuk bangsa, rakyat, tidak ada kepentingan lain, yang tidak mau bekerja benar-benar untuk rakyat ya saya akan singkirkan,” kata Prabowo[6].

Peringatan Prabowo terkait reshuffle disampaikan setelah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melarang elpiji 3 kg dijual secara eceran. Belakangan, Prabowo meminta larangan dicabut karena larangan LPG 3 kg eceran menyulitkan masyarakat[6].

Implikasi Politik dari Reshuffle Kabinet

Dampak pada Koalisi Pemerintah

Rencana Presiden Prabowo Subianto melakukan perombakan Kabinet Merah Putih berpotensi menggoyang koalisi gemuk pemerintahan. Lucius Karius, peneliti Formappi, mengatakan, “Sejak awal, kabinet yang dibangun Prabowo ini bukan kabinet yang diarahkan pada kinerja. Kabinet Merah Putih didesign untuk menjadi instrumen rekonsiliasi, menyatukan semua kelompok”[10].

Ketua DPP PDIP Said Abdullah memprediksi Presiden Prabowo akan melakukan kocok ulang kabinet dalam tiga atau empat bulan. Menurutnya, meski 100 hari cukup bagi Presiden mengevaluasi menterinya, Prabowo masih akan memerlukan waktu untuk mencopot menterinya yang tak seirama[14].

Said memahami bahwa tingkat kepuasan publik kepada pemerintahan Prabowo mencatat angka 85 persen. Namun, di waktu yang sama dia juga menyoroti kinerja sejumlah menteri yang dianggap belum bisa mengikuti irama dan keinginan Prabowo. “Ada yang gagap untuk mengikuti irama Presiden yang begitu cepat. Bahkan ada menteri yang membuat kebijakan justru kebijakannya membebani Bapak Presiden,” katanya[14].

Pembelajaran dari Reshuffle Sebelumnya

Sejarah reshuffle kabinet di Indonesia menunjukkan bahwa perombakan acapkali dipengaruhi oleh kepentingan politik. Reshuffle kabinet di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo menuai kritik karena kepentingan politik dinilai lebih menonjol ketimbang alasan kinerja menteri yang diganti[13].

Siti Zuhro, Peneliti Utama Politik Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), menilai, “Tolok ukur rekrutmen menteri kurang jelas, sehingga reshuffle menteri pun acapkali menimbulkan ketidakjelasan kecuali alasan hak istimewa presiden”[13].

Kesimpulan

Isu reshuffle Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto yang menguat pasca Lebaran 2025 memiliki beberapa dimensi penting. Pertama, tekanan ekonomi menjadi faktor utama yang mendorong wacana reshuffle, dengan tiga indikator utama: defisit APBN, merosotnya penerimaan pajak, dan menurunnya produktivitas sektor riil.

Kedua, kementerian-kementerian ekonomi menjadi fokus utama evaluasi, mengingat pelemahan nilai tukar rupiah dan lesunya ekonomi lebaran. Beberapa menteri seperti Bahlil Lahadalia (ESDM), Rosan Roeslani (Investasi), Erick Thohir (BUMN), dan Budi Santoso (Perdagangan) mendapat sorotan khusus dari para pengamat.

Ketiga, indikasi kuat menunjukkan reshuffle akan terjadi dalam waktu dekat, kemungkinan setelah libur Idul Fitri, dengan fokus pada tim ekonomi pemerintah. Namun, perombakan kabinet juga menghadapi tantangan politik, mengingat Kabinet Merah Putih didesain sebagai instrumen rekonsiliasi yang menyatukan berbagai kelompok.

Meskipun belum ada pernyataan resmi dari Istana Negara terkait wacana reshuffle, tekanan publik dan kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan dinilai menjadi pendorong utama Presiden Prabowo untuk segera mengambil langkah strategis demi mengembalikan kepercayaan dan stabilitas pemerintahan.

CITATIONS:

Komentar