oleh

Analisis Jeffrey Sachs Terhadap Kebijakan Tarif Donald Trump: Dampak Ekonomi dan Implikasi Global

By Green Berryl & Pexai

KEBIJAKAN tarif impor yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada April 2025 menuai kritik tajam dari ekonom Jeffrey Sachs. Menurut Sachs, kenaikan tarif hingga 32% untuk Indonesia dan negara lainnya didasarkan pada pemahaman keliru tentang defisit perdagangan AS, yang justru berakar pada kebocoran fiskal domestik, bukan praktik “penipuan” negara lain. Kebijakan ini diprediksi menurunkan standar hidup masyarakat AS, mengganggu stabilitas ekonomi global, dan berpotensi memicu resesi. Laporan ini menganalisis argumen Sachs, dampak nyata tarif Trump, serta respons strategis Indonesia sebagai salah satu negara terdampak. 

Kesalahan Diagnosis Penyebab Defisit Perdagangan AS 

Defisit Perdagangan sebagai Cerminan Ketimpangan Fiskal 

Jeffrey Sachs menegaskan bahwa defisit neraca berjalan AS—yang mencapai US$1,1 triliun pada 2024—merupakan akibat langsung dari belanja pemerintah yang melebihi pendapatan nasional[3][9]. Sachs menyebut defisit anggaran AS, yang dipicu oleh pengeluaran militer US$1 triliun per tahun, pemotongan pajak untuk kalangan kaya, dan lemahnya penegakan hukum perpajakan, sebagai “kredit nasional yang disalahgunakan”[1][8]. Pada 2024, belanja pemerintah AS mencapai US$30,1 triliun, sementara pendapatan nasional hanya US$29 triliun, menciptakan jurang yang ditutup melalui utang dan impor[3]. 

Trump menyalahkan negara seperti Indonesia dan Tiongkok atas defisit ini, namun Sachs menilai klaim tersebut “kekanak-kanakan”. Menurutnya, defisit perdagangan adalah gejala, bukan penyebab, dan upaya menutupinya melalui tarif hanya akan mengalihkan beban ke konsumen AS[9][10]. Analisis Deutsche Bank pada 2018 juga membantah narasi “penipuan”, menunjukkan bahwa korporasi AS mendominasi penjualan global tanpa perlu kebijakan proteksionis[8]. 

Dampak Kebijakan Pajak dan Pengeluaran Militer

Sachs menuding kebijakan pajak Trump—yang rencananya diperpanjang hingga menambah defisit US$4 triliun dalam 10 tahun—sebagai pemicu utama ketimpangan fiskal[1][9]. Pemotongan pajak untuk 1% populasi terkaya AS sejak 2017 mengurangi tabungan nasional, memaksa AS mengimpor modal asing untuk menutup defisit[3][8]. Sementara itu, pengeluaran militer AS untuk 80 pangkalan global dan konflik seperti di Israel memperburuk defisit, sebuah ironi mengingat Trump mengklaim tarif akan “membayar utang nasional”[1][10]. 

Dampak Tarif Trump terhadap Perekonomian AS dan Global 

Kenaikan Harga dan Penurunan Daya Beli Konsumen 

Kebijakan tarif 32% untuk Indonesia dan 10% untuk negara lain akan langsung berdampak pada harga barang di AS. Sachs mencontohkan mobil impor: konsumen AS terpaksa beralih ke produk domestik yang lebih mahal, efektif menjadi “pajak terselubung”[9][10]. Goldman Sachs memprediksi setiap kenaikan 5% tarif akan mengurangi laba perusahaan S&P 500 sebesar 1-2%, berpotensi memicu PHK dan perlambatan ekonomi[4][13]. Untuk Indonesia, tarif ini mengancam ekspor senilai US$3,12 miliar ke AS, terutama di sektor elektronik, tekstil, dan minyak sawit[2][5]. 

Risiko Resesi dan Stagflasi

Goldman Sachs meningkatkan probabilitas resesi AS dari 35% menjadi 45% pasca-pengumuman tarif, dengan peringatan bahwa kenaikan harga energi dan retaliasi negara lain akan memperparah inflasi[4][13]. Bank Dunia memperkirakan tarif Trump bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5% pada 2025, dengan negara berkembang seperti Indonesia menanggung dampak terberat akibat ketergantungan ekspor[12]. Di pasar keuangan, IHSG berpotensi terkoreksi 5-7% karena tekanan pada emiten ekspor seperti sektor manufaktur dan komoditas[2][5]. 

Disrupsi Rantai Pasok Global

Sachs menekankan bahwa tarif tidak akan mengurangi defisit perdagangan AS, melainkan hanya mengalihkan aliran perdagangan. Misalnya, larangan impor baja Tiongkok pada 2018 justru membuat AS mengimpor baja dari Vietnam dengan harga lebih tinggi, tanpa mengubah total defisit[4][8]. Untuk Indonesia, pemerintah memperkirakan penurunan ekspor 15-20% ke AS, namun berupaya mengalihkan pasar ke negara BRICS yang mencakup 40% perdagangan global[1][5]. Langkah ini sejalan dengan saran Sachs agar negara berkembang memperkuat kerja sama regional[12]. 

Respons Strategis Indonesia dan Negara Terdampak 

Diversifikasi Pasar dan Hilirisasi Komoditas 

Indonesia merespons tarif AS dengan tiga strategi: (1) memperluas keanggotaan di BRICS, (2) mempercepat hilirisasi sumber daya alam (misalnya, menghentikan ekspor nikel mentah), dan (3) mendorong konsumsi domestik melalui insentif fiskal[1][5]. Menteri Perdagangan Budi Santoso juga mengusulkan peningkatan impor dari AS untuk mengurangi defisit perdagangan bilateral US$18 miliar, meski langkah ini berisiko mengganggu neraca Indonesia[7]. 

Stabilisasi Nilai Tukar dan Investasi 

Bank Indonesia (BI) dan Kemenkeu berkomitmen menjaga stabilitas rupiah dengan intervensi di pasar valas dan penjualan SBN[5][6]. Meski demikian, analis Trimegah Sekuritas memprediksi rupiah akan mengalami overshoot hingga Rp16.500/USD sebelum stabil di Rp15.800 pada akhir 2025, tergantung keberhasilan negosiasi[6]. Untuk menarik investasi, pemerintah mempercepat proses perizinan dan menawarkan tax holiday bagi industri padat karya yang terdampak tarif[5][7]. 

Diplomasi Ekonomi dan Negosiasi 

Indonesia mengirim delegasi tinggi ke Washington untuk membahas pengecualian tarif pada produk strategis seperti minyak sawit dan karet[5][7]. Pendekatan ini mirip dengan tawaran Sachs agar AS fokus pada negosiasi bilateral alih-alih kebijakan sepihak[8]. Namun, kesuksesan diplomasi bergantung pada kemampuan Indonesia menawarkan konsesi, seperti pembelian pesawat Boeing atau gandum AS, yang berpotensi mengganggu keseimbangan perdagangan[7][12]. 

Kritik terhadap Aspek Demokratis Kebijakan Trump 

Pengabaian Peran Kongres dan Akuntabilitas 

Sachs mengecam praktik Trump yang memberlakukan tarif melalui dekret eksekutif tanpa persetujuan Kongres, menyamakannya dengan “pemerintahan satu orang”[10]. Padahal, Konstitusi AS menyerahkan wewenang pajak kepada Kongres, sebuah prinsip yang bahkan dihormati oleh Raja George III pada abad ke-18[8][10]. Di Indonesia, kebijakan Trump juga dinilai melanggar semangat multilateralisme, terutama setelah AS menarik diri dari perjanjian perdagangan Asia-Pasifik[12]. 

Dampak terhadap Tata Kelola Global 

Kebijakan tarif Trump mengikis kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral WTO. Sachs memperingatkan bahwa aksi sepihak AS bisa memicu perang dagang berantai, seperti pembalasan Uni Eropa terhadap Harley-Davidson pada 2018[4][8]. Untuk mencegah eskalasi, Menlu Retno Marsudi mendorong ASEAN menyuarakan penolakan kolektif terhadap proteksionisme dalam pertemuan menteri perdagangan pada 10 April 2025[7]. 

Rekomendasi Kebijakan Alternatif 

Reformasi Fiskal dan Pajak Progresif 

Sachs menyarankan AS menutup defisit melalui kenaikan pajak untuk korporasi dan individu kaya, serta memperkuat penegakan hukum terhadap penghindaran pajak[9][10]. Langkah ini sejalan dengan usulan ekonom Joseph Stiglitz agar negara maju menghentikan “perlombaan ke bawah” dalam tarif pajak korporasi[12]. Untuk Indonesia, penerapan pajak karbon dan cukai plastik bisa meningkatkan pendapatan negara tanpa mengandalkan ekspor[5][7]. 

Investasi dalam Infrastruktur dan SDM 

Alih-alih tarif, Sachs menganjurkan AS berinvestasi dalam infrastruktur hijau, pendidikan, dan jaminan kesehatan universal untuk meningkatkan produktivitas pekerja[9][12]. Indonesia bisa mengadopsi model ini melalui pembangunan jalan tol Trans-Papua dan pelatihan vokasi berbasis industri 4.0, yang didanai oleh realokasi subsidi BBM[5][12]. 

Penguatan Kerja Sama Regional 

Sachs mendorong negara berkembang seperti Indonesia memanfaatkan blok perdagangan ASEAN dan BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada AS[12]. Langkah konkret termasuk harmonisasi standar produk, pembayaran menggunakan mata uang lokal, dan pembangunan kawasan industri terpadu di Batam dan Surabaya[1][5]. 

Simpulan dan Implikasi 

Kebijakan tarif Trump mencerminkan kegagalan memahami akar defisit perdagangan AS, yang bersumber dari ketimpangan fiskal dan konsumsi berlebihan. Alih-alih menyelesaikan masalah, tarif justru membebani konsumen, mengancam stabilitas global, dan merusak tata kelola demokratis. Bagi Indonesia, langkah mitigasi melalui diversifikasi pasar dan hilirisasi perlu diperkuat dengan reformasi struktural, seperti perbaikan iklim investasi dan penguatan UMKM. Sachs mengingatkan bahwa masa depan ekonomi global bergantung pada kolaborasi, bukan konfrontasi—sebuah prinsip yang harus dipahami oleh semua pihak, termasuk AS.

CITATIONS:

Komentar