Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
BADAN Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM-UI) sibuk mengritisi atau menyinyiri (?) Presiden Jokowi dengan memproduksi meme, ‘The King of Lip Service’. Mungkin itu dilakukannya sambil update status di atas MRT. Atau di atas kendaraan yang sedang melaju di jalan tol, hasil kerja.. kerja.. kerja.. nya Jokowi.
Sementara itu mahasiswa UGM sibuk berkontribusi dengan GeNose, alat pendeteksi Covid-19. Ini demi menolong orang banyak di masa pandemi ini.
Tapi, janganlah juga menggebyah-uyah, atau menggeneralisir, itu khan cuma oknum kok. Tidak semua mahasiswa UI konyol seperti itu, dan mungkin ada juga mahasiswa UGM yang balelonya sama dengan kekonyolannya BEM-UI.
Intinya, kita pun mesti kritis juga, tak boleh juga lho serampangan menuduh bahwa genus-nya mahasiswa UI atau UGM atau universitas mana pun adalah begitu adanya. Itu namanya generalisasi yang ngawur juga.
Jadi, berpikir kritis itu pun ada aturannya. Bukan sekedar asal cuap-cuap, asal-menyimpulkan, asal-omong, asal-nyentrik, asal-nyinyir, asal-beda, asal-nekad, dan akhirnya malah asal-asalan.
Nekad yang tidak asal-asalan (alias berani) itu seperti misalnya nekad (beraninya) Jokowi membubarkan Petral dan lalu nekad pula mengirim Ahok untuk jadi Komut di Pertamina.
Ahok bukannya enak-enakan dapat fasilitas plafon kartu kredit Rp 30 milyar, eh malah dilepeh begitu saja! Hehe… apakah ada yang kesetrum dengan lepehan Ahok ini? Siapa saja sih mereka yang kesetrum? Pembubaran Petral oleh Jokowi dan lepehan maut ala Ahok ini jelas bukan lip-service khan?
Di lain sisi, belum lama berselang, kader PKS di Depok ada bikin survei. Survei apa? Survei tentang status keperawanan para siswi di Kawasan Depok!
Kerja model begini rupanya maha penting bagi PKS. Investasi waktu, tenaga dan uang pun digelontorkan. Alhasil surveinya menunjukkan bahwa70 persen siswi di Kawasan Depok sudah tidak perawan! Sebuah penemuan yang spektakuler ala PKS.
Entah bagaimana metode penelitiannya, apakah sekedar wawancara atau dilakukan semacam tes di klinik, kita tidak tahu. Hanya mereka sendirilah yang tahu!
Ini aktivitas untuk tujuan apa? Tidak jelas. Padahal sudah beberapa periode kepemimpinan eksekutif (dan legislatif) di daerah Depok sana dikuasai oleh kader-kader PKS sendiri!
Apakah ini prestasi PKS? Walahuallam. Apakah penemuan survei sosial dari PKS ini berfaedah? Jawab sendirilah. Namun yang jelas PKS mendapat do’a dari BEM-UI untuk terus tegar dalam menjalankan perannya sebagai partai oposisi. Hmm… apa relevansinya ya?
Adik-adik BEM-UI mungkin bisa mewawancarai mantan Presiden PKS yang sekarang ada di penjara Sukamiskin lantaran kasus korupsi impor daging sapi. Dan… nah ini dia, yang waktu OTT -nya itu juga sempat heboh soal istilah Fulus (duit pelicin) dan Fustun (cewek molek). Di situlah kemungkinan besar makna “lip-service” (layanan bibir) dalam arti harafiahnya bisa diperoleh.
Kalau kita mengacu pada makna kata “kritis” itu sendiri, menurut KBBI artinya bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu menemukan kesalahan atau kekeliruan dan tajam dalam penganalisisan.
Berasal dari kata Yunani ‘Kritikos’ (kemampuan membuat ‘judgement’, penilaian/keputusan tertentu) yang berawal dari ‘Krinein’ (artinya ‘to separate, decide, memilah dan memutuskan), ‘Krei’ (yang maknanya ‘to sieve’, menyaring, yang juga berarti ‘discriminate’, ‘distinguish’).
Maka, kritik itu memang bukan sembarangan. Yang sembarangan itu nyinyir dan asal omong. Dan kenyinyiran itu kerap berujung pada penghinaan atau tuduhan tanpa dasar, tanpa argumentasi yang sahih.
Ketimbang memberi perbandingan atau analisa yang tajam, yang korektif atau bahkan konstruktif, kenyinyiran berawal dari sekedar rasa benci yang buta dan berujung pada kepahitan dalam hidup.
Kritik itu sesungguhnya membutuhkan erudisi yang cukup, keluasan dan kedalaman pengetahuan agar bisa memilah-milah, menyaring dan membedakan, serta kahirnya melakukan penilaian tertentu. Bahkan kritik juga butuh bukan hanya kepandaian, tapi juga kebijaksanaan.
Sehingga dengan begitu, harapannya, mekanisme dialektika thesis dan anti-thesisnya jadi bermutu serta bisa naik kelas menjadi sinthesa yang kreatif. Ini jelas kerja intelek dari seorang intelektual.
Belum lagi kita bicara konteks kultural dimana dialektika itu berlangsung. Pak Jokowi menyinggung soal tata-krama dan sopan santun dalam adat ketimuran kita. Kalau itu bisa dilakukan, tentu akan jadi lebih indah.
Itulah etika politik yang juga bisa memancarkan spektrum estetika (keindahan) adat istiadat. Nuansa yang kabarnya berakar dalam peradaban masyarakat Nusantara, sejak dahulu kala.
30/06/2021