oleh

Anton Charliyan Bicara Soal Pro dan Kontra FPI, “Pembubaran Ormas Menurut Perpu No 2 Tahun 2017 Lebih Ringkas, Tidak Perlu Melalui Mekanisme Pengadilan”

Kota Tasik, LINTAS PENA

Pemerintah Joko Widodo  resmi menetapkan Front Pembela Islam (FPI)   sebagai organisasi terlarang. Pemerintah melarang semua kegiatan organisasi  FPI  di seluruh wilayah hukum Indonesia. Tak hanya kegiatan, simbol dan lambang organisasi besutan Rizieq Shihab tersebut juga dilarang digunakan.Hal ini menyusul penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditanda tangani enam Kementerian dan Lembaga yakni, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Komunikasi dan Infromatika Jhony G Plate, Kapolri Jenderal Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Boy Rafli Amar, serta Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

Keputusan itu langsung mengundang reaksi pro dan kontra. Bahkan pro dan kontra  masih terus bergulir di tengah masyarakat, termasuk warganet atau nitizen. FPI sendiri tidak bisa menerima begitu saja keputusan pemerintah. Organisasi yang dipimpin Habieb Rizieq Shihab   ini berencana untuk melawan keputusan tersebut secara konstitusional, yaitu menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam menanggapi polemik yang muncul setelah pengumuman pembubaran FPI, mantan Kapolda Jabar Irjen Pol (Purn) Dr, H,Anton Charliyan pun buka suara. Ketika ditemui awak media ini, Abah Anton panggilan akrabnya,mengatakan bahwa  pemerintah memiliki wewenang memberikan izin maupun melarang keberadaan organisasi kemasyarakatan atau ormas sesuai ketentuan perundang-undangan.”Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang menyatakan FPI tidak boleh melakukan aktivitas. Itu merupakan kewenangan pemerintah dalam memberikan izin ataupun melarang ormas mana pun sesuai ketentuan perundang-undangan,” katanya, Minggu (03/01/2021).

Pemerintah membubarkan organisasi  FPI, lanjut Abah Anton, tentu saja berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. “Karena bila ormas sudah dianggap membahayakan keamanan  dan sudah terbukti melakukan pelanggaran sesuai pasal 59, Negara bisa membubarkan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.”katanya

Menurut mantan Kadiv Humas Polri ini, bahwa pro dan kontra itu adalah hal yang wajar. Dia membenarkan, kalau pembubaran FPI mengacu pada  pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”), tentu harus terlebih dahulu ada putusan pembubaran Ormas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Salah satu poinnya adalah permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum, sebagaimana disebutkan di atas, diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM.

“Namun, pemerintah kan bisa menggunakan Perpu No 2 tahun 2017 sebagai  Pengganti UU No 17 tahun 2013. Pembubaran ormas menurut Perpu No 2 Tahun 2017 lebih ringkas, tidak perlu mekalui mekanisme pengadilan. Karena bila sudah dianggap membahayakan keamanan. dan sudah terbukti melakukan pelanggaran sesuai Pasal  59 ,negara bisa membubarkan untnk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.”tegasnya.

Ketika ditanya terkait langkah hukum yang akan dilakukan beberapa pihak untuk menggugat SKB menteri ke PTUN, kata Anton Charliyan, itu merupakan langkah yang tepat.” Itu langkah yang tepat. Indonesia merupakan negara hukum sehingga persoalan hukum bisa diselesaikan melalui jalur hukum yang sudah ada. Apapun keputusan hukum nantinya maka harus kita hormati,” ujarnya.

Abah Anton menambahkan,  bahwa pemerintah pasti memiliki pertimbangan yang komprehensif terkait keputusan tersebut, termasuk ketika muncul pertanyaan seputar proses legal formal yang menjadi dasar dari keputusan yang diambil pemerintah terhadap ormas FPI, termasuk  Perpu No 2 tahun 2017 sebagai  Pengganti UU No 17 tahun 2013. Pembubaran ormas menurut Perpu No 2 Tahun 2017 lebih ringkas, tidak perlu mekalui mekanisme pengadilan. Dia berharap pemerintah mampu menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang muncul secara transparan dan terbuka.“Agar tidak ada kesan bahwa prosedur hukum  tidak dilaksanakan dengan baik dalam prosesnya, di mana akan ada anggapan langkah pembubaran itu suatu kemunduran dan mencederai amanat reformasi dan UU 1945 yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, bahwa keputusan penghentian aktivitas dan pelarangan atribut FPI ditandatangani enam penjabat setingkat menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Nasional Pencegahan Terorisme, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Kapolri. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada Rabu, 30 Desember 2020 di Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB), FPI dinilai banyak melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan umum yang bertentangan dengan hukum  seperti tindak kekerasan, sweeping secara sepihak, provokasi, dan sebagainya.Secara de jure, FPI telah bubar sebagai ormas sejak 20 Juni 2019.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 yang dikeluarkan pada 23 Desember 2020 menjadi dasar keputusan pemerintah untuk memberhentikan seluruh aktivitas FPI. (REDI MULYADI)***

 

Komentar