Bengkalis, LINTAS PENA
Sehubungan dengan timbulnya beragam konflik di lapangan semenjak disahkannya Perda RT/RW No. 10 Tahun 2018, Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kabupaten Bengkalis (BP2D) kemudian melakukan konsultasi ke Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada Kamis (11/04/2019). Kedatangan rombongan Bapemperda DPRD Kabupaten Bengkalis yang diketuai Rianto disambut oleh Kassubdit Rencana Hutan Ari Prasetia, bersama staf Dit. Rencana Kawasan Hutan Wilayah Yulian Vendhy Firmansyah dan staf Dit. Pengukuhan Kawasan Wilayah Paskha H. Panjaitan.
Konsultasi ini adalah tindak lanjut dari konsultasi anggota Bapemperda DPRD ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau pada tanggal 4 April 2019 yang lalu.
Diketahui bahwa Provinsi Riau menerima dan meneruskan SK dari Kementerian sebesar 1,6 juta hektar untuk dibebaskan dari kawasan hutan dan SK tersebut tidak bisa diubah. Tetapi peta RT/RW Provinsi tidak sesuai dengan fakta yang ada dilapangan. Banyak kawasan yang termasuk HPK (Hutan Produksi Konversi) didalamnya banyak pemukiman. Salah satunya di Tualang Mandau yang total wilayahnya termasuk kedalam Kawasan HPK tersebut. Kemudian, Kabupaten Bengkalis menerima bantuan dari pusat untuk pembangunan sekolah tetapi kawasan yang dipilih tidak bisa diterbitkan sertifikat karena terbitnya Perda RT/RW No. 10 Tahun 2018 ini, padahal sebelum disahkan Perda tersebut Pihak BPN mengatakan bisa membuat sertifikat.
“Kami mohon petunjuk agar kami bisa menyampaikan nota-nota keberatan dan hal-hal yang berkaitan dengan konflik ini”,Ujar Ketua BP2D Rianto.
Hendri melanjutkan pada permasalahan yang sama, “karena masyarakat membuat sertifikat sudah tidak bisa lagi sehinggal hal ini menjadi tugas bagi kami untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan ini selalu dipertanyakan pada reses”, ujar Hendri.
Kassubdit Rencana Kawasan Hutan Ari Prasetia menjelaskan di dalam Perda tata ruang menyebutkan kebijakan pemerintah antara tahun 2015-2019 tentang RPJMN yang berhubungan dengan nawacita yaitu program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Jika itu merupakan kawasan hutan tetapi didalamnya ada pemukiman maka bisa dilakukan pembebasan, hal itu diatur dalam Perpres No. 88 Tahun 2018 yang berisi tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Namun, didalam Perda tata ruang bahwa ketika pembahasan pengeluaran harus sesuai dengan persetujuan DPRD Provinsi.
“Semua yang berkaitan dengan masuk atau keluar, dipinjam atau dilepasnya wilayah hutan merupakan kewenangan Menteri, tetapi didasarkan oleh usulan Bupati dan usulan Provinsi. Intinya bukan Menteri sendiri yang memasukkan atau mengeluarkan kawasan hutan, tentunya dari aspirasi Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi. Dari kondisi yang ada harus dirinci kembali atau dipetakan lagi posisi dan berapa selisihnya, baru diusulkan ke Provinsi ”,Ujarnya.
Lanjutnya, ia menyampaikan bahwa ada beberapa mekanisme terkait kawasan yaitu tukar menukar, pelepasan, dan pinjam pakai. Untuk pembangunan sekolah solusinya bisa menggunakan mekanisme pinjam pakai dan harus mengajukan izin, dibawah 5 hektar bisa diajukan ke Gubernur dan diatas itu diajukan ke Kementerian.
Terkait nota keberatan terhadap Perda No. 10 Tahun 2018 yang sudah disahkan ia mengatakan nota juga harus diikuti oleh usulan penyelesaian terhadap masalah kawasan hutan dan bukan kawasan hutan yang terjadi di Kabupaten Bengkalis beserta luas dan lokasinya, kemudian disampaikan ke Provinsi dilanjutkan ke Kementerian baru akan ditindalanjuti.
Beberapa waktu yang lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menyurati Gubernur Provinsi Riau agar melakukan usulan perubahan atas muatan sumbstansi Perda Rencana Tata Ruang wilayah Provinsi Riau tahun 2018-2038 yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan diatasnya. Ketika undang – undang tata ruang keluar ini harus disinkronkan.
“Ketika Penetapan peta atas SK Menteri tidak ada salahnya disanggah oleh Provinsi tentang kawasan perkampungan di Kabupaten Bengkalis yang menjadi kawasan hutan, harusnya SK ini tidak diterima bulat-bulat karena SK ini tidak bisa diubah”,Ungkap Rianto.
Zamzami Harun, ST mengharapkan kepada Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI agar ketika ada usulan dari perusahaan terkait HGU (Hak Guna Usaha) untuk di cek terlebih dahulu agar tidak merugikan masyarakat sekitar yang memiliki rumah atau lahan kebun di kawasan tersebut.
selanjutnya, Fransisca meminta kepada pihak Dirjen dan Pemerintah Provinsi Riau agar dapat meninjau ulang sehingga hal ini tidak menjadi polemik yang berkelanjutan.(M.RITONGA Humas DPRD)***
Komentar