Oleh: Sunengsih M.Pd (Guru Bahasa Inggris SMAN 4 Cimahi)
BEBERAPA waktu lalu dalam sebuah kegiatan Lokakarya, saya menampilkan sebuah slide yang bertuliskan “Belajar Tanpa Refleksi Adalah Sebuah Kesia-siaan”. Seketika sayapun teringat pada teori Onion Model of Reflection (Korthagen, 2004:80) sebuah teori yang menampilkan berbagai tahapan refleksi yang diilustrasikan dengan sebuah bawang yang memiliki kulit berlapis. Ketika dihadapkan pada sebuah kondisi (environment), tahapan refleksi yang muncul di lapisan pertama adalah perilaku (behavior). Kemudian, masuk ke lapisan yang lebih dalam lagi yakni kompetensi (competences), lalu masuk lagi ke lapisan keyakinan diri (belief), baru kemudian ke lapisan identitas (identity) dan terakhir misi (mission). Saya interpretasikan tiga lapisan pertama merupakan tahapan refleksi tingkat rendah. Sementara itu, jika kemampuan refleksi telah masuk ke lapisan identity dan mission, keduanya merupakan tingkatan refleksi yang lebih tinggi.
Jika dicontohkan bisa seperti ini, di masa pandemi Covid saat ini kita dihadapkan pada satu kondisi dimana Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) harus dilakukan. Ada beragam cara dan tahap siswa dalam berefleksi. Ada siswa yang merasa jika ia tidak terbiasa melakukan online learning. Apabila terdapat siswa yang seperti ini, maka siswa tersebut berefleksi pada tahapan behavior. Ada juga siswa yang merasa karena dia tidak terbiasa melakukan pembelajaran jarak jauh, maka dia tidak akan mampu atau tidak memiliki kompetensi untuk belajar dengan menggunakan moda online. Tahapan refleksi ini merupakan tahapan yang memasuki lapisan competences. Ada juga siswa yang mampu merefleksi hingga ke tahapan belief, dimana karena merasa tidak terbiasa dan tidak mampu keluar dari kebiasaannya, sampailah pada satu keyakinan diri jika pembelajaran online ini tidak akan efektif bagi dirinya. Ada juga siswa yang mampu berefleksi lebih dalam dengan memahami bahwa PJJ ini merupakan sebuah kebiasaan baru yang merupakan tantangan bagi kompetensinya. Namun, masih memiliki keyakinan untuk mencoba mengalami tantangan baru ini karena siswa tersebut paham betul identitas dirinya sebagai siswa. Dengan segala kekuatan dan kelemahan dirinya, ia tergerak untuk melakukan perbaikan terus menerus dan menajamkan kekuatan serta menjalankan misinya untuk menjadi agen pembelajar dan kandidat generasi tangguh. Berdasarkan contoh di atas, siswa yang masih berefleksi pada tahapan behavior, competences, dan belief tidak akan membawanya kemanapun dan hal itu menciptakan Kesia-siaan, bahkan tidak jarang jika itu akan menenggelamkannya pada fase drama. Ketiga lapisan berefleksi tersebut tentunya termasuk ke tahapan rendah saat berefleksi. Akan tetapi, jika siswa tersebut mampu berefleksi ke tahapan identity yang sadar peran dan berupaya dengan segala cara menyusun misi baik, serta mewujudkannya secara nyata dalam kehidupan, maka level berefleksinya sudah memasuki ke lapisan terdalam atau tingkatan lebih tinggi. Alhasil, nanti akan terbentuk agent of change dan bahkan generasi tangguh dari sebuah tantangan yang luar biasa tangguh juga.
Contoh lain yang lebih sederhana adalah ketika dua orang siswa katakanlah si “A” dan “B” terlambat hadir ke sekolah. Mereka dihadapkan pada sebuah kondisi dimana harus menjelaskan alasan keterlambatannya di hadapan gurunya. A memilih alasan jika area jalan sekitar sekolah terbiasa macet, sehingga dia tidak mampu datang tepat waktu. Dia pun meyakini dengan jarak sekolah dan rumahnya saat ini, dia tidak akan bisa datang tepat waktu. Akan tetapi, si “B” beralasan jika memang benar jarak sekolahnya jauh dengan rumah. Jalan raya pun terbiasa macet, sehingga dia tidak mampu datang tepat waktu. Namun, dia menyadari kesalahan dan identitas dirinya sebagai siswa yang harus taat aturan dan dituntut memiliki disiplin tinggi. Akhirnya, dia meminta maaf kepada guru dan berkomitmen mulai esok hari akan berangkat ke sekolah lebih pagi, sehingga bisa datang tepat waktu. Dari kedua siswa tersebut, terlihat jika kemampuan berefleksi “B” lebih baik dan membawa pada perubahan positif pada diri, sehingga nantinya “B” mampu menjadi agen perubahan.
Berdasarkan paparan di atas, sepertinya kemampuan berefleksi itu tidak hanya perlu dimiliki seorang siswa, tetapi juga guru, orang tua, bahkan semua stake holder sekolah. Saat ini, semua orang perlu memahami siapa dirinya dan peran yang harus diembannya. Mereka harus mampu keluar dari kebiasaan tidak baiknya, berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan dan memiliki keyakinan tinggi untuk terus bergerak, apapun, meskipun, dan bagaimanapun. Serta berkemampuan menyiapkan semua misi positif yang membawanya pada perubahan lebih baik. Jadi, sepertinya tidak perlu lagi menyalahkan kondisi serta bersembunyi dalam kebiasaan yang membuat nyaman, merasa tidak mampu dan meyakini kontribusinya akan sia-sia. Perubahan itu pasti, sehingga misi untuk berubah pun perlu diusung. Walaupun begitu, perubahan memiliki resiko, akan tetapi tidak berubah akan lebih beresiko. Apa resiko resistensi terhadap perubahan? Tentunya resiko itu adalah adanya loss learning generation. Esensinya sebuah generasi tangguh hanya akan terbentuk oleh supporting system yang tak kalah tangguhnya. Mari Berefleksi dan Bergerak dengan lebih baik lagi!