Oleh: Sutrisna, S.Pd.SD (Guru SDN 2 Tanjung – Kota Tasikmalaya)****
“SATU dua buah kenari, ayo kita menari”, ketika kita menanyakannya kepada anak-anak pasti langsung tahu siapa tokoh kartun yang sering mengucapkan pantun sebait tersebut. Ya benar, jarjrit dari serial Upin dan Ipin. Mereka hapal betul pantun sebait itu sebagai ciri khas dari jarjrit. Begitulah negara serumpun kita yaitu Malaysia memasukan unsur pembelajaran dalam hiburan yang disajikan terutama disajikan kepada anak-anak. Dengan menyisipkan kedalam serial kartun tentu anak-anak akan lebih cepat memahami bagaimana membuat pantun, walau mungkin pantun yang disajikan hanya pantun sederhana yaitu pantun sebait.
Pantun sebagai sebuah karya puisi lama, dimana di dalamnya terdapat empat larik yang terdiri dari dua larik sampiran dan dua larik isi kini sudah mulai tergerus zaman. Anak muda muali asing dengan karya sastra yang satu ini. Kalaupun ada anak muda yang menggunakan pantun biasanya isinya hanya sebatas pantun jenaka. Pantun digunakan sebagai alat bercanda saja, tidak digunakan dalam percakapan sehari hari. Pantun sekali kali masuk kedalam acara formal, namun tetap saja hanya sebagai sampiran.bukan sebagai saranma utama untuk menyampaikan pesan.
Pantun yang awalnya merupakan sastra lisan, kini sudah terdapat pula pantun yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Pantun sebagai budaya bangsa memiliki bergam jenis nama di berbagai daerah yang berbeda. Asal mula pantun sendiri berasal dari bahasa Minagkabau yaitu patuntun yang artinya penuntun. Sementara di Sunda pantun disebut dengan paprikan, di Batak disebut umpassa, dan di Jawa di sebut dengan parikan. Dimana secara garis besar terdapat kesamaan struktur yang terdiri dari sampiran dan isi. Kini seluruh pantun baik yang berbahasa daerah maupun berbahasa Indonesia nasibnya pun sama, hidup segan mati tak mau.
Keadaan ini bukan tanpa sebab, selain karena memang zaman sudah bergeser anak muda pun sepertinya asing dan enggan menggunakan pantun dalam kehidupan sehari hari. Karena memang dalam bermain pantun memerlukan ekstra pemikiran terutama dalam penyusunannya. Baik membuat sampiran maupun isi, harus terkoneksi dan enak dibaca maupun didengarkan. Walaupun pelajaran pantun ini diajarkan sejak masih Sekolah dasar namun tretap saja beberapa orang sepertinya masih saja kesulitan dalam emmbuat pantun dan menggunakannya dalam kegiatan berbahasa sehari hari.
Perlu wadah yang tepat agar pantun ini tetap lestari. Perlu pembiasaan dalam penggunaannya terutama sejak masih kecil. Anak anak diajarkan dan dibiaskan berbalas pantun dimoment atau hari tertentu. Misal setiap hari sabtu disekolah seluruh warga seklolah diwajibkan untuk malakekukan kegiatan berbalas pantun di jam diluar jam pelaran. Terdengar muluk muluk memnag. Namun hal ini bukan hal yang musatahil untuk diterapkan. Kuncinya adalah konsisten dan komitmen dari seluruh pihak. dengan konsisten menerapkan hari berpantun tentu anak akan terbiasa untuk menggunakan pantun dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan selalu digunakannya pantun, maka diharapkan pantun mampu tetap eksist di tengah kemajuan zaman. Pantun mampu menjadi penyeimbang dari masuknya aneka ragam bahasa luar yang terkadang tidak hanya membawa dampak popsitif namun juga membawa dampak negatif. dengan pembiasan yang baik, pantun mampu lestari dan dicintai kembali sperti masa keemasannya.
“menitilah buaya di atas batu,
pagar badak dengan ilalang
cinatilah budaya bangsamu
agar tidak menjadi hilang”
“kain katun dari busa
batu kayu di lalui
main pantun sudah biasa
tentu ia dicintai”
Komentar