oleh

Bias-Bias Gender Bihari dan Kiwari

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS.(Dosen dan Pemerhati Budaya Universitas  Padjadjaran)

SEJALAN dengan peran wanoja ‘perempuan’ dalam masyarakat Sunda, yang bertindak  sebagai istri, ibu, dan anak, diketahui bahwa fungsi dan peran yang mereka jalankan, khususnya yang terkuak lewat karya sastra Sunda, mencerminkan sosok perempuan tradisional.  Hal  ini dapat  dimengerti, mengingat rentang  waktu latar peristiwa yang muncul berkisar tahun  1880-an sampai 1970. Pada kurun waktu tersebut, konsep-konsep modern belum  menyentuh dan memengaruhi pola kehidupan masyarakat pendukung yang diceritakan di dalamnya.

            Dalam kehidupan  rumah tangga, di masa bihari ‘masa lalu’, seorang istri sesuai dengan kodrat dan tugasnya adalah mengurus dan membesarkan anak. Berdasarkan pewarisan nilai-nilai tradisional, mereka sadar bahwa tugas pokok seorang istri adalah mengabdikan diri kepada suami serta mengurus dan membesarkan anak. Dalam menjalankan fungsinya, sebagai seorang istri dan seorang ibu, perempuan berperan penting dalam  menunjang dan membantu suami. Mereka umumnya bertugas menyelesaikan beragam urusan keluarga dan rumah tangga, Seorang istri diharapkan berperan aktif dalam membantu suami melakukan pekerjaannya dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Dengan memainkan peran tradisional, istri memungkinkan  suami mencapai ambisinya serta menempati kedudukan yang cukup diperhitungkan dalam lingkungan sosial yang lebih luas.

            Perempuan  yang berkedudukan sebagai ‘istri’, di masa bihari  kehidupannya dicurahkan untuk kepentingan suami dan anak. Keuntungan dan kerugian dalam menjalankan kehidupan berumah tangga tetap dikaitkan dengan berhasil tidaknya menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu. Seorang perempuan harus berpisah dengan suaminya, karena dianggap sudah tidak cocok & harmonis dalam membina kehidupan rumah tangga. Namun setelah bercerai, ada keberhasilan yang diraih oleh perempuan, ketika ia berjuang mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Ada lagi peran perempuan sebagai istri tua yang mandul, keberadaannya tersisihkan oleh kepentingan suami yang ingin memiliki keturunan. Ia dianggap sebagai wanoja yang belum memiliki kesempurnaan untuk menjalankan kehidupan rumah tangga secara utuh.

            Seorang istri berupaya mencapai kedudukannya melalui keberadaan atau kegiatan suaminya. Dalam hal ini, sistem patriarki, kedudukan wanita melekat pada status suaminya. Lebih jauhnya lagi, terdapat ciri ketergantungan perempuan kepada  laki-laki dalam hal ekonomi, status sosial, dan mental. Oleh sebab itu, wajar  jika ada seorang perempuan yang rela  berpisah dari suaminya demi mendapatkan seorang pria dari keturunan bangsawan. Demikian pula tindakan seorang ayah, yang memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan pria keturunan ningrat demi mempertahankan keturunan kebangsawanannya. Identitas wanita dalam masyarakat yang tergambar dalam karya sastra Sunda, dinyatakan lewat hal-hal yang telah dicapai/dihasilkan suaminya, baik kekuasaan, kekayaan, maupun kedudukan. Oleh karenanya, sikap dan perilaku dalam menjalankan fungsinya sebagai istri atau ibu pada umumnya,  bergantung pada  keberadaan suaminya, sehingga terjadi pembatasan kebebasan. Seluruh kehidupannya  cenderung  diarahkan  kepada  soal keluarga dan rumah  tangga.

Wanoja Sunda di masa bihari, sebagimana tergambar dalam karya sastra Sunda,  lebih  bersifat introvert. Mereka lebih bereaksi lewat hatinya  tanpa diwujudkan dalam tindakannya. Tatkala dihadapkan pada peran suami yang dominan, para istri lebih bersifat menerima, karena keterikatannya secara  ekonomi dan sosial. Di kala mendapat  perlakuan yang kurang menyenangkan, mereka bersikap menerima demi keutuhan rumah tangganya. Namun, ditemukan juga tokoh wanita yang dihadapkan pada kondisi yang memicunya untuk berontak. Puncak-pundak konflik yang melahirkan suatu tindakan dari wanita terhadap suaminya lebih dilatarbelakangi ketidakberterimaannya terhadap keadaan  suami. Tindakan seorang wanita yang secara tegas  berani lepas dari suaminya karena rasa solidaritas terhadap sesamanya. Walaupun demikian, secara dominan mereka lebih dihadapkan pada keadaan yang harus bertoleransi, atau kalau pun menolak, mereka harus mengambil sikap diam.

Lewat struktur sosial di masyarakat, perempuan menurut konsep tradisional harus tunduk, patuh, serta setia kepada  suaminya. Melalui struktur ini pula sistem patriarki diberlakukan, sehingga tampak nyata perbedaan kedudukan antara wanita dan pria dalam hal pemerolehan status keturunan dan kekuasaan dalam  rumah tangga. Di samping itu, pelegitimasian kedudukan dan kekuasaan kaum pria semakin mengarahkan persepsi dari perempuan terhadap lingkup peran yang  harus dijalaninya. Tanggapan yang muncul, diperoleh ragam persepsi yang berkaitan dengan masalah ‘harga diri’, yang bermuara pada masalah penghormatan terhadap diri sendiri dan penghargaan dari dan kepada orang  lain.

Beragam  peristiwa yang dihadapi perempuan di masa kiwari ‘kini’  mengimplikasikan  bahwa setiap perempuan mengetahui keberadaan    dan kemampuan dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya. Namun, para perempuan menempuh cara yang berbeda dalam memperoleh pengakuan harga dirinya, kekuatan, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Sebagian cara ditempuh secara normatif. Meskipun dalam beberapa kasus, tidak jarang dilakukan tindakan yang keluar dari aturan adat, hukum, maupun norma moral, dikarenakan ketidakterpuaskannya terhadap harga dirinya. Sebagian tokoh menganggap dirinya tidak berdaya  atas kekuasaan pria. Karena itu muncul anggapan bahwa pria memang harus  dilayani dan dipuaskan hasratnya. Namun  di pihak lain, muncul pula anggapan  bahwa pria terlalu berkuasa,  maka dari itu  perlu diambil suatu  tindakan agar  harga diri  wanita tetap terjaga.

Mungkin saat  ini ada yang menganggapnya sebagai ketidakadilan gender. Hal  ini tentunya perlu ditelusuri masalah-masalah ketidakadilan gender dimaksud secara cermat dan menyeluruh. Pembeberan adanya  bias-bias gender dalam masyarakat Sunda,  dalam upaya memberi  gambaran dan pemahaman mengenai keberadaan wanoja sesuai dengan zaman yang ditempatinya, karena telah terjadi pergeseran, sehubungan dengan  persepsi, sikap, dan tingkah laku wanita pada kurun waktu masa lalu, dikaitkan dengan keadaan persepsi, sikap, dan tingkah laku perempuan pada masa kini.

Andai kita menoleh ke masa bihari ‘silam’, pada tahun 1111 (abad ke-12 Masehi), dalam Prasasti Gegerhanjuang dan naskah Amanat Galunggung/Darmasiksa dikenal adanya seorang wanoja Sunda yang cantik, cerdas dan pandai, bernama  Dewi Citrawati, yang telah menyetarakan kedudukan dirinya dengan pria, karena Dia seorang Ratu Galunggung, yang diberi gelar Barati Hyang Janapati. Selain sebagai Batari, Diapun seorang panglima perang yang gagah berani serta cerdik, karena berhasil membuat ‘parit pertahanan’ di Galunggung, yang sampai sekarang masih ada. Batari Hyang Janapati juga dikenal sebagai seorang ‘guru agama’ pada zamannya, sehingga digelari Sang Sadu Jati. Namun sayang, keberadaannya tidak pernah disinggung dalam buku-buku sejarah, makanya masyarakat Sunda tidak pernah mengenalnya.      

Kini zaman telah berubah, dengan begitu seiring perkembangan zaman, peran dan kedudukan perempuan  dalam masyarakat pun telah berubah pula. Di era kasajagatan saat ini, peran dan kedudukan kaum wanita dalam  beberapa hal telah sejajar dengan kaum pria. Sekarang ini, banyak kaum wanita yang memegang kendali dan menduduki jabatan yang setaraf dengan kaum pria. Dengan demikian, peran kaum wanita,  tentu saja sangat berbeda dan mungkin pula ada sebagian yang masih tetap sama.

ACUAN:

Suryani  NS, Elis.,dkk. 2002. Peran Wanita Sunda dalam Karya Sastra Sunda:Suatu

            Kajian Gender. Jakarta:  Pusat Bahasa

Suryani NS, Elis. 2019. Senarai Kearifan Lokal Budaya Sunda dalam Media Cetak 1-2.

            Bandung: PT. Raness Media Rancage.