Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
TO THE POINT SAJA. Perihal siapa yang mesti “mengawal” total aset BUMN yang kabarnya telah mencapai Rp 8400 triliun ini? Kita tahu bahwa operasional BUMN diawasi oleh Komisaris, maka soal pengangkatan Komisaris di BUMN pun dibikinlah aturan (pedomannya). Beginilah bunyinya:
Persyaratan Anggota Dewan Komisaris, syarat materiilnya meliputi:
Integritas dan moral dalam arti yang bersangkutan tidak pernah terlibat:
1) Perbuatan rekayasa dan praktek-praktek menyimpang, dalam pengurusan BUMN/ Anak Perusahaan/ Perusahaan/ Lembaga tempat yang bersangkutan bekerja sebelum pencalonan (berbuat tidak jujur);
2) Perbuatan cidera janji yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan BUMN/ Anak Perusahaan/ Perusahaan/ Lembaga tempat yang bersangkutan bekerja sebelum pencalonan (berperilaku tidak baik);
3) Perbuatan yang dikategorikan dapat memberikan keuntungan secara melawan hukum kepada yang bersangkutan dan/ atau pihak lain sebelum pencalonan (berperilaku tidak baik);
4) Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pengurusan perusahaan yang sehat (perilaku tidak baik).
Itu tercantum di Peraturan Menteri BUMN No. PER-03/MBU/2012 ditandatangani oleh Menteri Dahlan Iskan pada 29 Maret 2012. Khusus mengenai aturan mengenai pengangkatan Dewan Komisaris ini tidak mengalami perubahan dalam Peraturan Menteri berikutnya.
Ini mau omong apa sih sebetulnya?
Itu lho, soal pengangkatan Izedrik Emir Moeis (politisi senior PDIP) yang mantan napi korupsi sebagai Komisaris di BUMN, persisnya di PT Pupuk Iskandar Muda, anak usaha dari holding pupuk, PT Pupuk Indonesia (Persero).
Komentar Ariyo Bimmo (politisi PSI) mungkin bisa mewakili suara hati rakyat, ia bilang “Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas, kenapa justru diangkat menjadi Komisaris BUMN?”
Menilik rekam jejaknya jelas sangat tidak memenuhi syarat materiil menjadi komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN. Ia terbukti terima suap dari Alstom Power Inc senilai 357 ribu dollar saat jadi anggota DPR-RI, terkait proyek PLTU Tarahan di Lampung. Akibatnya ia pun mendekam tiga tahun di hotel prodeo pada tahun 2014.
Gegara masuknya mantan napi korupsi ke dalam jajaran Komisaris BUMN membuktikan tentang masih berlangsungnya praktek impunitas terhadap kejahatan korupsi. Sama seperti dulu waktu ramai soal pencalegan mantan napi korupsi oleh parpol, masih ingat khan? Tapi apa itu sih impunitas?
Impunitas mengacu kepada kondisi gagalnya upaya membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan. Impunitas juga merupakan penyangkalan hak korban untuk keadilan dan pemulihan. Dimana konsekuensi hukum tak terasa lagi ketajamannya, ibaratnya sudah kebal hukum.
Hukum positif maupun hukuman sosial sudah tidak mempan terhadap dirinya, alias tak tahu diri dan tak tahu malu lagi!
Impunitas ini umumnya terjadi di negara-negara yang belum memiliki tradisi kedaulatan hukum, dimana sistem peradilannya lemah, praktek korupsinya endemik, dan budaya patronasinya sungguh buruk.
Selanjutnya, impunitas juga bisa juga dimaknai sebagai pemberian pengampunan dari pejabat pemerintah. Dimana tindakan seperti itu pada galibnya termasuk penghinaan terhadap hak asasi manusia. Dimana hak untuk hidup sejahtera rakyat telah dikorupsi (dibikin busuk, corruptio) oleh si pelaku.
Maka dengan polah mengangkat mantan napi korupsi sebagai Komisaris (ini termasuk jabatan publik) di perusahan milik negara (milik rakyat) jelaslah merupakan praktek impunitas.
Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin ada efek jera. Lha wong kita semua sudah tahu sama tahu bahwa lamanya hukuman terdakwa bisa kok didiskon besar-besaran. Sampai tempat penghukuman (Lembaga Pemasyarakatannya) bisa juga dibikin super mewah, plus ada visa keluar-masuk lapas yang super mudah. Maka lupakan saja soal efek jera.
Tambah pula RUU Perampasan Aset yang prosesnya masih mandeg di DPR-RI. Padahal ini perangkat hukum yang penting untuk bikin jera juga.
Sehingga dengan pertimbangan itulah kita menolak argumentasi bahwa yang bersangkutan katanya telah menjalani hukuman, jadi katanya pula tak perlulah dipermasalahkan soal pengangkatannya.
Ini argumentasi silat lidah khas politisi oportunis. Lantaran khan kita lagi bicara soal kepantasan, edukasi publik soal anti-korupsi supaya masyarakat tidak jadi permisif terhadap praktek korupsi. Dan sekali lagi, ini soal efek jera!
Maka, pertanyaan praktisnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ariyo Bimmo, “Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini.” Nah!
Jadi… apakah Izedrik Emir Moeis sudah jadi Komisaris di BUMN? Iya sudah, dan ternyata sudah sejak 18 Februari 2021. Terungkap setelah diunggah di laman perusahaannya.
Ah yang bener aja? Masak sih begitu? Lalu apa kabarnya Peraturan Menteri BUMN itu? Dimana akhlak (moral, etika) seperti yang dulu pernah digaung-gaungkan oleh Menteri Erick Thohir?
Lalu, apakah bukti komitmen memberantas korupsi itu adalah justru dengan cara mengangkat mantan napi koruptor jadi komisaris BUMN?
“Ethics is knowing the difference between what you have a right to do and what is right to do.” – Potter Stewart.
06/08/2021
Komentar