Oleh: Acep Sutrisna, (Analis Kebijakan Publik Tasik Utara)*
Tasikmalaya, Politik Memanas: Kontroversi Pencalonan Hj. Ai Diantani
Peta politik di Kabupaten Tasikmalaya kembali bergejolak menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2025. Hj. Ai Diantani, anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya dari Fraksi PDIP periode 2024-2029, menjadi sorotan publik setelah nekat mendaftarkan diri sebagai calon bupati meskipun berpotensi melanggar regulasi hukum pemilu. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada 21 Maret 2025 , memberikan sinyal kuat bahwa pencalonan legislator aktif dalam Pilkada dapat digugurkan jika tidak memenuhi persyaratan administratif tertentu.
Apakah pencalonan Hj. Ai Diantani sah secara hukum? Ataukah langkahnya ini justru cacat hukum dan berujung pada diskualifikasi?
Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024: Sinyal Keras untuk Petahana dan Legislator
Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa anggota DPRD aktif yang ingin maju sebagai calon kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatannya sebelum tahapan pencalonan dimulai. Putusan ini merupakan hasil uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang diajukan oleh sekelompok aktivis hukum pada tahun 2024.
Menurut Dr. Ahmad Nurcholis, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, putusan ini memiliki dampak langsung terhadap calon-calon kepala daerah yang masih menjabat sebagai legislator. “Jika seorang anggota DPRD aktif tidak mengundurkan diri sebelum pendaftaran, maka pencalonannya dapat dianggap cacat formil dan berpotensi dibatalkan,” jelasnya dalam wawancara dengan HukumOnline pada *April 2025*.
Dalam kasus Hj. Ai Diantani, publik bertanya-tanya apakah ia telah mematuhi ketentuan tersebut. Jika belum, maka pencalonannya bisa dianggap tidak memenuhi syarat hukum dan berpotensi digugurkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hj. Ai Diantani Terancam Didiskualifikasi? Ini Implikasi Hukumnya
Jika pencalonan Hj. Ai Diantani dinilai tidak sah berdasarkan putusan MK, ada beberapa konsekuensi hukum yang kemungkinan besar akan terjadi:
1. Diskualifikasi oleh KPU
Jika KPU Kabupaten Tasikmalaya menerapkan putusan MK secara ketat, Hj. Ai Diantani dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dilarang maju dalam PSU. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
2. Gugatan Hukum dari Pesaing Politik
Lawan-lawan politik Hj. Ai Diantani dapat mengajukan gugatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan pencalonannya. Contoh serupa pernah terjadi dalam Pilkada Kota Bandung 2023, di mana seorang calon petahana didiskualifikasi karena pelanggaran administratif serupa.
3. Sanksi Administratif atau Pidana
Jika terbukti melanggar regulasi pemilu, Hj. Ai Diantani bisa menghadapi sanksi administratif seperti pembatalan pencalonan, atau bahkan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Namun, tim sukses Hj. Ai Diantani tetap yakin bahwa putusan MK tidak berlaku surut dan hanya berlaku untuk pencalonan yang dilakukan setelah putusan tersebut dijatuhkan. Argumen ini didukung oleh beberapa ahli hukum, termasuk Prof. Bambang Eka Cahya Widodo, yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat prospektif kecuali dinyatakan lain (sumber: Republika, Mei 2025).
Dukungan vs. Penolakan: Pertarungan Panas di Lapangan Politik*
Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya saat ini terbelah antara pendukung dan penentang pencalonan Hj. Ai Diantani. Berikut adalah pandangan dari kedua belah pihak:
Pendukung Hj. Ai Diantani
Pendukungnya menilai bahwa Hj. Ai adalah figur yang kompeten dan berpengalaman untuk memimpin Kabupaten Tasikmalaya. Mereka berargumen bahwa aturan hukum harus diterapkan secara adil tanpa merugikan salah satu pihak.
Penentang Pencalonan
Sebaliknya, kelompok penentang menekankan pentingnya penegakan hukum demi menjaga integritas proses demokrasi. Menurut mereka, pelanggaran regulasi oleh calon tertentu dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada *Mei 2025* menunjukkan bahwa *45% responden mendukung pencalonan Hj. Ai Diantani, sementara **35% menolaknya*, dan sisanya tidak memihak.
Kesimpulan: PSU Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2025 Menuju Drama Politik Besar?
Kasus Hj. Ai Diantani ini berpotensi menjadi preseden hukum penting dalam PSU Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2025. Jika ia tetap maju tanpa memperhatikan implikasi hukum dari putusan MK, maka PSU kali ini kemungkinan besar akan diwarnai sengketa politik yang panjang.
Akankah Hj. Ai Diantani tetap melaju dan bertarung dalam Pilkada? Ataukah ia akan tersandung aturan hukum yang bisa berujung pada diskualifikasi?
Yang pasti, semua mata kini tertuju pada keputusan KPU Kabupaten Tasikmalaya dan bagaimana dinamika politik ini akan berkembang ke depan. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi para calon kepala daerah lainnya untuk mematuhi regulasi hukum secara ketat agar tidak terjerat masalah serupa.
REFERENSI:
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2025). Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024 .
2. HukumOnline. (April 2025). “Implikasi Putusan MK Terhadap Pencalonan Anggota DPRD dalam Pilkada.”
3. Republika. (Mei 2025). “Ahli Hukum: Putusan MK Bersifat Prospektif Kecuali Dinyatakan Lain.”
4. Lembaga Survei Indonesia (LSI). (Mei 2025). “Survei Opini Publik tentang Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2025.”
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
6. Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah.