oleh

Daripada Ribut Soal Jokowi 3 Periode atau Perpanjangan, Mari Tenang Berembuk

 Oleh: Andre Vincent Wenas, (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.)

Okelah mari kita ringkaskan fenomena politik ini biar sederhana.

Pertama, beberapa kali Pak Jokowi sudah menyatakan posisinya, kira-kira begini: bahwa beliau tidak berminat untuk terus jadi presiden, mau itu soal 3 periode atau perpanjangan masa jabatan.

Alasannya, ya tentu saja konstitusi. Undang Undang Dasar telah membatasinya.

Kedua, tapi dalam perkembangan akhir-akhir ini ada aspirasi rakyat yang menguat justru untuk perpanjangan masa jabatan atau bahkan mengamandemen UUD supaya bisa mengakomodasi aspirasi rakyat soal 3 periode itu.

Musababnya adalah: macam-macam. Ada yang suka dengan kinerja (prestasi) Jokowi sehingga mesti dilanjutkan, ada juga yang mengaitkannya dengan soal situasi negara gegara pandemi yang berimbas ke situasi politik-ekonomi global, regional dan lokal. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Untuk poin yang kedua itu secara terang-terangan awalnya dipantik ke aras nasional oleh Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi).

Kemudian direifikasi oleh tiga parpol parlemen: PKB, Golkar dan PAN. Masing-masing via Ketumnya: Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan. Ketiga parpol itu punya total 187 kursi di DPR-RI.

Sekedar informasi, mekanisme (tata cara) amandemen (perubahan) UUD itu diatur Pasal 37 UUD’45, dan Peraturan MPR No. 1/2019 tentang Tata Tertib MPR-RI.

Usulan perubahan mesti diajukan kepada Pimpinan MPR oleh sekurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau 237 anggota. MPR-RI terdiri dari seluruh anggota DPR (575 orang) dan DPD (136 orang) sehingga total anggota MPR adalah 711 orang.

Kalau toh misalnya saja amanden terjadi (dan berubah jadi 3 periode), tentu konsekuensinya adalah: Pak Jokowi bisa maju lagi, juga Ibu Megawati, juga Pak SBY, juga Pak Budiono, juga Pak JK, juga Pak Maruf Amin atau bahkan juga Pak Try Sutrisno. Pendeknya para mantan bisa ikut kontestasi lagi, asalkan sehat jasmani dan rohani.

Lalu wacana ini jadi ramai di ruang publik.

Ramainya ada yang bergaya intelektual dengan membangun wacana yang sehat. Tapi ada juga yang bergaya preman, dengan marah-marah dan memaki-maki di media-sosial. Masing-masing tentu dengan motifnya sendiri-sendiri.

Yang menolak amandemen pasti punya alasan dan motifnya mengapa mesti tetap di 2024, dan yang pro-amandemen juga punya alasan dan kepentingan mengapa mesti diperpanjang atau diubah periodenya.

Terhadap “keramaian” ini bagaimana suara dari istana? Stafsus Mensesneg, Faldo Maldini (Senin, 28 Februari 2022) sudah menegaskan bahwa pemerintah tidak tahu soal bergulirnya wacana penundaan Pemilu 2024 seperti yang disampaikan sejumlah elite politik maupun tokoh publik belakangan ini.

Jadi bagaimana ini?

Begini saja. Sementara ini khan yang sudah jelas (definitif) adalah UUD’45 yang bilang pemilu (pilpres) tiap 5 tahun. Lalu UU Pemilu serta keputusan KPU sudah bilang bahwa tahun 2024 (di hari kasih sayang 14 Februari nanti) bakal ada pemungutan suara. Agenda pendaftaran bakal pasangan capres dan cawapres itu pada tanggal 7 – 13 September 2023.

Sekarang di tahun 2022, menuju ke September 2023 itu masih ada waktu sekitar setahun setengah lebih. Apa yang bakal terjadi di kurun waktu ini kita belum tahu persis. Kecuali Tuhan.

Nah, berpijak pada landasan yang sementara ini sudah jelas (definitif) itu tadi, bukankah sebaiknya kita sebagai rakyat mulai berembuk saja dengan tenang dan elegan.

Berembuk untuk apa? Ya berembuk untuk mencari penerus Pak Jokowi. Supaya gerak langkah pembangunan ini bisa terus berjalan di atas landasan kerja politik kesejahteraan, politik bersih dan politik keterbukaan. Itulah kriteria calon pemimpinnya.

Rembuk rakyat ini adalah juga bagian dari pendidikan (edukasi) publik tentang cara berpolitik yang cerdas dan matang. Memilih bakal pemimpin yang terbaik dari antara pilihan lain yang juga baik adanya.

Janganlah sampai nantinya lahir pemimpin yang bodoh gegara pemilihnya yang juga bodoh.

Sekaligus, rembuk rakyat yang dilaksanakan secara elegan bakal memampukan kita untuk (nantinya) bisa memilih dengan bijak. Lantaran sudah tercerahkan. Tidak membeli kucing dalam karung.

“Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The safeguard of democracy, therefore, is education.” – Franklin D. Roosevelt.

#RembukRakyat #MemilihPemimpinTerbaik

03/03/2022