oleh

“Deudeuh Teuing Basa Sunda, Kaniaya”

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS. (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

SEJALAN perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi, bahasa Sunda semakin tersisih, dan dianggap beban oleh generasi mudanya, dengan alasan lebih sulit dipelajari dibandingkan mata pelajaran lainnya di sekolah. Pertanyaannya, mengapa generasi muda Sunda lebih reueus ‘bangga’ berbahasa asing ketimbang bahasa pituinnya/aslinya sendiri. Sepertinya tidak ada lagi kebanggaan dari anak-anak Sunda terhadap bahasa ibu dan jati dirinya. Kalau sudah demikian, bagaimana nasib basa Indung selanjutnya? Akan musnahkah? Relakah nenek moyang  dan kita sebagai penerusnya?

Jawabannya tentu saja tidak. Selama bahasa Sunda  bersemayan dalam diri setiap insan Sunda, bahasa Sunda akan tetap  hidup. Hal ini dapat kita cermati saat bahasa Sunda dilecehkan.  Bahasa Sunda diusik, masyarakat Sunda ngulisik ‘bangkit’ dan singkil ‘pasang badan’, sertabereaksi tapi santun.  Itu bukti bahwa masyarakat Sunda, juga masyarakat lainnya di Indonesia, akan berontak jika bahasa daerahnya dilecehkan. Kita tahu bahwa bahasa sebagai salah satu unsur budaya, termaktub dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 32 ayat 2, serta Peraturan Daerah yang berlaku di setiap daerahnya masing-masing. Berkaitan dengan hal inilah, bahasa sebagai alat komunikasi, baik lisan maupun tulisan harus dijunjung tinggi keberadannya, sebagaimana tercantum dalam Sumpah Pemuda.  

Bahasa Sunda, sebenarnya bukan hanya digunakan untuk berkomunikasi antarsesama orang Sunda di masyarakat, namun selama ini dipakai juga dalam berbagai kegiatan seminar, simposium, dan konferensi, baik nasional maupun internasional, yang memaparkan, membahas, dan mengkaji seputar budaya Sunda. Di samping itu, ada juga mahasiswa yang menulis skripsi menggunakan bahasa Sunda. Pemaparan Ajip Rosidi ketika pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa  di Universitas Padjadjaran menggunakan bahasa Sunda. Demikian halnya dengan tokoh Sunda lainnya.

Data tersebut membuktikan bahwa bahasa Sunda juga digunakan di ajang ilmiah dalam lingkup internasional. Sekalipun bahasa Sunda dipakai dalam pertemuan atau rapat, baik sebagai prolog atau pembuka, jangan dianggap sebuah kejahatan. Bahasa daerah  justru memperkaya kosakata bahasa nasional. Sudah lazim jika seseorang, baik itu publik figur, pejabat, saat membuka atau menyapa pendengar sebelum berpidato, memulai dengan menyebut  Assalamu’alaikum wr.wb, Namo Budaya, Salam Kebajikan, Salam Sejahtera bagi kita semua, Om Swastiastu. Mungkin juga kata  Horas, Apa Kabar, dan ‘Sampurasun’ bagi orang Sunda. Walaupun mungkin khalayak belum tahu makna yang sebenarnya.  Kata “Sampurasun”  berasal dari  hampura ingsun ‘maafkanlah saya’. Fonem konsonan ‘s’, lesap/berubah atau diganti dengan ‘h’  (dalam kajian filologi ada yang disebut substitusi), yang mengacu kepada kata teundeun di handeuleum sieum (seharusnya hieum), tunda di hanjuang siang. Apakah kata sampurasun, dilarang untuk diucapkan, padahal artinya meminta maaf? Karena terkadang, ada sebagian khalayak/pendengar  yang tidak mau menjawab ‘rampés’, yang bermakna baiklah saya maafkan’.  

Terlepas kegaduhan yang terjadi terhadap bahasa Sunda, yang terpenting bagi masyarakat Sunda saat ini, apa kiat Pemerintah Daerah, khususnya Provinsi Jawa Barat dalam upaya ngaraksa, ngariksa, tur ngamumule bahasa Sunda agar tetap hidup dan digunakan oleh generasi mudanya? Bukan hanya ketika bahasa Sunda dilecehkan oleh orang lain, barulah kita bergerak. Tapi sepatutnyalah para pegiat dan pelaksana pendidikan  paheuyeuk-heuyeuk leungeun ‘bahu membahu bergandengan tangan’ mencari solusi dan menyiasati bagaimana ‘strategi dan metodologi pengajaran’ yang diterapkan di semua jenjang pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, agar bahasa, aksara,  maupun budaya yang diajarkan mudah diterima dan dicerna oleh anak didik.

Untuk menggapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang lebih optimal, tampaknya perlu diadakan ‘revitalisasi’ dan restrukturisasi strategi serta metodologi pengajaran yang mumpuni. Hal ini penting, karena mata pelajaran bahasa Sunda di sekolah ‘belum cukup memadai’. Berkaitan dengan masalah ini, peran orang tua dibutuhkan untuk mengenalkan dan mengajarkan bahasa Sunda kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga, terutama ‘ibu’ sebagai ujung tombak pendidikan informal.

Padika Pangajaran ‘metodologi pengajaran’  harus dikuasai Guru sebagai cara atau jalan. Sementara itu pamarekan ‘pendekatan, adalah tanggapan atau pandangan mengenai ciri-ciri, mempelajari, dan mengajarkan bahan ajar. Metode yaitu beragam skenario atau rancangan untuk menyampaikan bahan ajar dalam rangka merealisasikan pendekatan dimaksud. Teknik berdasar atas kejadian aktual atau proses operasional di dalam kelas.

Apapun strategi dan metodologinya, guru harus ikut ‘berkiprah’ agar siswa membiasakan diri menggunakan bahasa Sunda di lingkungan sekolah, meskipun ‘undak usuk basa’ yang digunakannya belum sesuai dan belum benar, ‘henteu luyu tur henteu merenah’. Dengan bimbingan dan arahan Guru, secara lambat laun,  masalah ‘undak usuk basa’ itu akan mudah diatasi. Siswa aya kadaék tur boga kareueus kana basa indungna sorangan ‘Siswa ada keinginan dan memiliki kebanggaan terhadap bahasa ibunya sendiri. Dengan demikian, generasi muda Sunda berkiprah ikut serta ngaraksa, ngariksa, tur ngamumulé basa jeung budayana.

Daptar Pustaka

Sudaryat, Yaya. 2011. Padika Pangajaran Basa, Sastra, jeung Budaya Sunda di Sakola.   

       Sunda. Garut: Seminar Nasional Budaya Sunda di Kabupaten Garut.

Sumarlina,  E.S.N. 2021. Ngaraksa, Ngariksa, Tur Ngamumule Budaya Sunda.

Bandung: PT. Raness Budaya Sunda.

Komentar