Oleh : Miftah Solehudin (Guru IPS SMPN 2 Leles Garut)
AKHIR-akhir ini kita sering disuguhkan pemberitaan bullying yang terjadi dibeberapa kota di Indonesia. Kejadian yang seharusnya tidak terjadi di dunia pendidikan. Bullying di sekolah adalah masalah serius yang telah menghantui lingkungan pendidikan selama bertahun-tahun. Ini adalah masalah yang mempengaruhi anak-anak dan remaja di seluruh dunia, dengan dampak negatif yang luas terhadap kesejahteraan psikologis dan fisik para korban.
Artikel ini akan menjelaskan masalah bullying di sekolah, dan mengapa sering terjadi di usia sekolah dan dampaknya, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah dan mengatasi masalah ini.
Apa Itu Bullying?
Bullying adalah perilaku agresif yang terjadi secara berulang kali, biasanya oleh satu atau lebih individu yang memiliki kekuatan atau kekuasaan lebih dari korban. Bentuk-bentuk bullying dapat bervariasi, termasuk pelecehan fisik, verbal, sosial, atau bahkan cyberbullying (melalui media sosial dan teknologi digital). Ini dapat terjadi di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Usia sekolah merupakan masa yang sangat menentukan kualitas seorang dewasa dengan harapan sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosi. Kasus yang sering terjadi di tingkat sekolah yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang adalah bullying. Dimana bullying ini merupakan suatu tindakan agresif yang dilakukan berulangkali oleh seseorang yang memiliki kekuatan lebih terhadap orang lemah, baik secara fisik maupun psikologis.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sejiwa (2008:2) yang mengartikan bullying sebagai tindakan yang menggunakan kekuasaan dalam menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban menjadi tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
(KPAI) melaporkan dalam Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tahun 2022 bahwa kasus pada kluster perlindungan khusus anak di tahun 2021 terdapat enam kasus dengan tingkatan tertinggi, antara lain kasus dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis sebanyak 1.138 kasus. Anak korban penganiayaan sejumlah 574 kasus dan anak sebagai korban kekerasan psikis berjumlah 515 kasus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pelaku yang melakukan kekerasan baik fisik ataupun psikis kepada korban lebih banyak merupakan lingkungan terdekat korban yang cukup dikenalnya seperti teman korban, tetangga, kenalan, orangtua, pendidik dan tenaga kependidikan sedangkan kasus dengan posisi anak sebagai korban kekerasan baik fisik atau psikis dilatarbelakangi beragam faktor, seperti adanya pengaruh teknologi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, kualitas pengasuhan orang tua yang rendah, ekonomi keluarga yang lemah, tingkat pengangguran yang tinggi, serta keberadaan wilayah tempat tinggal yang tidak menghargai keberadaan anak-anak. Perilaku bullying dapat terjadi dimana dan kapan saja, seperti di lingkungan sosial, lingkungan keluarga, di internet (cyberbullying), termasuk di lingkungan sekolah. Perilaku bullying dapat dilakukan secara mandiri ataupun berkelompok sehingga kecenderungan untuk berperilaku bullying di sekolah biasanya dilakukan kepada sesama teman kelas, siswa yang merasa kuat kepada teman yang dianggapnya memiliki kelemahan, tingkatan kelas yakni senior kepada yunior ataupun sekelompok siswa yang merasa kuat kepada sekelompok siswa atau seseorang siswa yang dipandang lemah dan juga dapat terjadi kepada seorang guru terhadap siswanya.
Borba Michele menjelaskan bahwa perilaku bullying lebih intens dan lebih sering di usia lebih muda daripada di usia lanjut dan selalu melibatkan ketidakseimbangan kekuatan sehingga korban tidak dapat mempertahankan miliknya sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pelaku menyerang korban, baik secara verbal (memberi komentar yang merugikan atau menyebarkan rumor, berkata yang tidak sopan), secara fisik (memukul, menampar), secara emosional (mengucilkan, menghina, mengancam, memperlakukan secara semena-mena), secara elektronik (melalui handphone, SMS, situs web, media sosial). Sedangkan menurut Sejiwa praktek-praktek bullying terbagi dalam beberapa bentuk, antara lain (1) bullying fisik yaitu jenis bullying yang dapat dilihat secara langsung oleh orang lain sebab terjadi melalui sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya, misalnya: menampar; (2) bullying verbal yaitu bullying non fisik. Pada jenis bullying ini masih dapat dilihat dan terdektesi oleh indra pendengaran, misalnya: memaki, menghina atau menjuluki; dan (3) bullying mental atau psikologis yaitu jenis bullying yang berbahaya karena terjadi secara diam-diam dan tidak mudah terlihat oleh indera penglihatan ataupun terdengar oleh indera pendengaran jika tidak cukup hati-hati dalam mendeteksinya. Misalnya: memandang sinis penuh ancaman atau mengucilkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nauli pada tahun 2016 terungkap bahwa dari 176 remaja usia 15-17 tahun di beberapa sekolah di Pekanbaru didapatkan sebanyak 50,6% memiliki perilaku bullying yang dengan hasil yang didapatkan bahwa Yogyakarta memilki angka tertinggi dalam kasus bullying dibandingkan di Jakarta dan Surabaya, tercatat 70,65% kasus bullying terjadi di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta.
Kasus bullying tidak hanya terjadi pada jenjang SMP dan SMA saja, tetapi sekolah dasar juga termasuk dalam hal ini. Dimana pelaku sering mengejek teman sekelasnya hingga korban berkeinginan untuk berhenti sekolah, menjauhi hubungan sosial, sering melamun (pemurung), bahkan bunuh diri. Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian yang dilakukan Nauli pada 2017 yang menyatakan bahwa pada tanggal 15 Juli 2005 terdapat siswa SD berusia 13 tahun melakukan tindakan bunuh diri karena merasa malu dan frustasi akibat sering diejek.
Banyak faktor yang berpengaruh bagi siswa melakukan tindakan bullying, salah satunya adalah memiliki kontrol diri yang rendah. Thalib Bachri menjelaskan bahwa kontrol diri adalah kemampuan dari seseorang dalam mengendalikan dorongan yang berasal dari dalam diri ataupun dorongan luar dari orang tersebut. Sehingga seseorang dengan kemampuan kontrol diri yang baik dapat mengambil keputusan dan langkah efektif guna menghasilkan tindakan yang diinginkan dan menghindari konsekuensi dari apa yang tidak di inginkan. Kemudian menurut Borba Michele, kontrol diri membekali anak dengan karakter yang kuat dan bertanggung jawab serta membuat anak sadar bahwa akan ada akibat bahaya atas setiap tindakan yang ditampilkannya oleh sebab itu melalui kesadaran yang dimiliki tersebut, anak diharapkan mampu mengolah dan mengontrol emosi dengan baik. Fakor lainnya yang mendorong terjadinya bullying ini diantaranya, yaitu perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, keluarga tidak rukun, situasi sekolah tidak harmonis, perbedaan karakter individu ataupun kelompok, adanya dendam/iri hati, adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik, dan meningkatkan popularitas pelaku dalam ruang lingkup teman sebayanya.
Apapun alasan yang melatarbelakangi bullying itu terjadi, namun perilaku bullying tidak dapat ditoleransi apalagi jika terjadinya dalam lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan bukan hanya secara fisik tetapi juga psikis yang pastinya memberi pengaruh terhadap prestasi belajar di sekolah bahkan perkembangan mental bagi pihak yang terlibat didalamnya. Ini menunjukkan bahwa perilaku bullying bukanlah hal sepele melainkan wajib mendapat perhatian dan tindakan khusus dari pihak sekolah ataupun orangtua mengingat bahwa dampak yang dirasakan oleh korban ataupun pelaku dari tindakan ini dapat dirasakan hingga dewasa.
Bentuk bullying yang terjadi di sekolah dapat berupa: pertama, verbal. Dimana kekerasan yang dilakukan berupa ejekan, makian, cacian, celaan, fitnah. Kedua, fisik. Dimana kekerasan yang dilakukan berhubungan dengan tubuh seseorang yang dapat berupa pukulan, meludahi, tamparan, tendangan. Ketiga, relasional. Dimana kekerasan yang terjadi karena munculnya kelompok tertentu yang berseberangan dengan kelompok ataupun individu lain hingga adanya pengucilan.
Dampak bullying bisa sangat merusak, baik bagi korban maupun pelaku. Beberapa dampak dari bullying meliputi: (1). Dampak Psikologis: Korban bullying dapat mengalami depresi, kecemasan, dan stres berkepanjangan. Mereka mungkin juga mengalami penurunan harga diri dan isolasi sosial; (2) Dampak Fisik: Beberapa bentuk bullying fisik dapat menyebabkan cedera fisik yang serius bagi korban. Misalnya, pemukulan atau perundungan fisik dapat menyebabkan luka dan rasa sakit; (3) Dampak Akademik: Bullying dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar korban, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hasil akademik mereka; (4) Dampak Jangka Panjang: Dalam beberapa kasus, efek bullying dapat berlanjut hingga dewasa dan dapat mengganggu perkembangan sosial dan emosional korban.
Dengan dampak yang cukup memprihatinkan bagi korban bullying, maka diperlukan pencegahan secepatnya. Berdasarkan pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014, “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” Langkah selanjutnya kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah mengeluarkan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Penanggulangan bentuk kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Bahkan baru-baru ini mengeluarkan Permendikbud No. 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya bullying di lingkungan sekolah.
Langkah-langkah atau upaya untuk mengatasi bullying ini antara lain:
1. Kesadaran:
Langkah pertama dalam mengatasi bullying adalah meningkatkan kesadaran tentang masalah ini di kalangan siswa, orang tua, dan staf sekolah. Ini dapat dilakukan melalui kampanye sosialisasi dan workshop.
2. Kebijakan Sekolah:
Sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan efektif. Kebijakan ini harus mencakup prosedur pelaporan dan tindakan yang akan diambil terhadap pelaku bullying.
3. Intervensi Cepat:
Sekolah harus bertindak cepat dalam menangani kasus bullying. Ini termasuk wawancara dengan semua pihak terlibat, termasuk saksi, dan menyediakan dukungan psikologis kepada korban.
4. Pendidikan tentang Empati
Program-program yang mengajar empati dan kecerdasan emosional kepada siswa dapat membantu mengurangi bullying. Siswa perlu memahami dampak yang mereka timbulkan pada orang lain.
5. Pengawasan Online:
Dalam era digital, pengawasan terhadap aktivitas online dan media sosial penting. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama untuk mengawasi anak-anak di dunia maya.
Bullying adalah masalah yang memerlukan perhatian serius dan tindakan kolektif. Kita semua memiliki peran dalam mencegah dan mengatasi bullying di sekolah.
Dengan meningkatkan kesadaran, mendukung korban, dan melibatkan komunitas sekolah secara aktif, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan mendukung bagi semua anak-anak dan remaja. *****MSN*****
Komentar