Oleh: Eghy Farhan Nugraha*
BAHASA adalah alat komunikasi yang dipakai oleh semua orang untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam arti lain, bahasa tak dapat dipisahkan dengan yang namanya manusia. Disamping sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan jiwa dari pemakainya. Artinya, semakin bagus bahasanya maka pemakainya pun dipandang bagus. Dalam penguasaan bahasa, status orang dapat diketahui. Sebab bahasalah satu-satunya yang paling diperhatikan oleh semua pihak, tak terkecuali di Indonesia
sendiri memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya.
Indonesia kaya akan bahasanya. Itu terbukti bahwa indonesia memiliki banyak pulau.Menurut data dari DEPDAGRI, Indonesia mempunyai 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap pulau mempunyai bahasa sendiri, diantaranya Padang kental dengan bahasa minangnya, Kalimantan kental akan bahasa melayunya. Akan tetapi dibalik keberagaman pulaunya,
Indonesia mempunyai gerah langkah yang jelas dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Dalam perkembangannya, bahasa indonesia mengalami perubahan dengan ditetapkannya EYD. EYD adalah aturan baku yang digunakan untuk menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dengan dibuatnya EYD, maka penggunaan bahasa Indonesia harusnya semakin baik. Akan tetapi di lapangan yang terjadi malah sebaliknya.
Dalam konferensi bahasa, para pemerhati bahasa memfokuskan kajiannya bagaimana bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan yang harus mendarah daging di dalam diri rakyatnya dari pulau Sabang hingga Merauke. Tak dapat dipungkiri dengan pergantian zaman ini membuat perkembangan bahasa semakin meningkat tajam. Kita sebagai pelaku bahasa seharusnya dapat memilah bahasa Indonesia yang bagus ataupun tidak dalam keseharian. Tidak sampai disitu, dibalik lemahnya penguasaan bahasa Indonesia, bahasa asing semakin merajalela.
Pemicu adanya bahasa asing adalah efek globalisasi. Kita sebagai bangsa Indonesia diharuskan menguasai bahasa yang bukan berasal dari Indonesia sendiri. Kekuatan dari luar sangat memaksa kita untuk mempelajari bahasa tersebut. Bahkan, sekarang sedang marak berdirinya lembaga lembaga yang bertujuan untuk mempermudah menguasai bahasa asing. Dibalik itu semua, pemerintah harus meninjau ulang terhadap maraknya lembaga bahasa asing. Bahasa asing ini bukan untuk dihindari, akan tetapi haruslah diimbangi.
Fakta mengatakan bahwa sejumlah pelajar di Indonesia tidak mahir dalam berbahasa Indonesia, terutama dalam gramatikalnya. Hal ini tercermin di dalam nilai UN yang menjadi titik tolak ukur bagi pemerintah dari tingkat sekolah dasar hingga menengah sangat jauh dari yang diharapkan.
Ini merupakan momok yang seharusnya dapat kita ubah menjadi kelebihan dibandingkan negara lain.Berdasarkan Programme International Student Achievement (PISA) peringkat literasi anak-anak Indonesia masih rendah, hal tersebutlah yang hingga kini masih sangat memprihatinkan membuat
bahasa Indonesia seakan sulit bagi penggunanya sendiri.
Sejumlah kelemahan lainnya ialah kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni. Indonesia memiliki akses yang terbatas dalam sektor ekonomi dan pendidikan. Lemahnya kaderisasi yang membuat semua ini semakin berdampak kemana-mana. Bahkan, di pulau terpencil pemakai bahasa Indonesia dapat dihitung dari sekian banyaknya jumlah penduduk di daerah tersebut. Akhirnya, guru
sebagai tenaga pendidik diharuskan dapat merangkap sebagai pengajar bahasa Indonesia untuk melaksanakan pembelajarannya sehingga ketidakmapuan para pembelajar bisa diminimalisir.
Kelemahan yang sangat memprihatinkan bahwa pemakai bahasa Indonesia sangat tidak peka terhadap perubahan yang terjadi. Dalam keseharian, pemakaian bahasa Indonesia yang telah diatur dalam EYD sangatlah jauh dari kata banyak. Banyak bahasa gaul yang bertebaran dimana mana. Sejumlah orang menyebut hal tersebut sebagai trend di kalangan seumurannya. Akibatnya, setiap
individu ada yang merasa malu untuk menggunakan bahasa Indonesianya. Inilah yang dapat membuat bahasa Indonesia semakin ditelan oleh zaman. Faktor pengaruh dari luar dan dalam menjadi penyebab bahasa Indonesia terasa asing terhadap pemakainya sendiri.
*Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab 2016 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Komentar