Oleh: Dian Rahmat N, S.HI, M.Sy. (Mahasiswa S3 UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
DKM AL-ISTIQOMAH TASIKMALAYA
E-mail: nugraha.dian22@yahoo.com
ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan mengetahui permasalahan dan dinamika hukum keluarga yang terjadi di Negara Pakistan yang merupakan negara yang punya mayoritas penduduknya muslim dan menjadi negara yang berazaskan Islam dinamika berbeda dengan negara lainya di kawansan asia dan timur tengah pada huususnya , Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Hukum yang berlaku di Negara Pakistan hususnya hukum keluarganya dan dinamikanya seperti apa . Metode penelitian ini ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ( library reseach ) dan data yang telah didapatkan dipilih terlebih dahulu dan menelaah, sampai pada menyimpulkan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum keluarga di Pakistan sebagiannya bermodalkan hukum yang berlaku sejak zaman penjajahan Inggris, sebagaimana dalam bidang-bidang hukum lainnya. Langkah yang relatif komprehensif dimulai dengan pemberlakuan MFLO tahun 1961 dengan segala perubahannya dan gerakan Islamisasi hukum yang dilakukan Pakistan, terutama pada zaman pemerintahan Presiden Ziaul Haq, juga berdampak terhadap hukum keluarga di Pakistan. Terdapat fenomena yang menarik untuk dicatat yaitu bahwa meskipun Pakistan secara konstitusional adalah Negara republik yang berdasarkan Islam, dalam pengembangan sebagian materi hukum keluarganya masih mengundang perdebatan antara kaum Muslim konservatif dan modernis, seperti halnya yang sering terjadi di Indonesia yang secara konstitusional tidak berdasarkan Islam.
Kata Kunci : Dinamika hukum Perkawinan , Kewarisan, Pakistan
PENDAHULUAN
Dalam perspektif Islam, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang dibangun di atas nilai-nilai suci (sakral). Ikatan yang kuat akan selalu beriringan dengan aturan dan konstitusi yang kuat , karena apallah arti bangunan yang kuat tanpa di barebgi dengan tiang atau pondasi yang kuat , begitupun suatu Negara yang kuat adalah yang kuat dari ketaatan kepada aturan yang sudah di tegaskan di Negara tersebut , begitupun di Negara Muslim Pakistan yang hamper 100 persen umat muslim yang penuh dinamika dalam hukum perkawinan nya meskipun di sana lebih awal dari negara kita Indonesia
Namun keinginan hukum yang di tatati oleh warganya tidaklah mudah Perbedaan pandangan yang tajam mengenai pembaruan hukum keluarga Islam yang sangat mencolok terlihat dalam perdebatan mengenai Ordonansi Hukum Islam (Muslim’s Family Laws Ordinance) di Pakistan pada tahun 1961. Komisi Perkawinan dan Hukum Keluarga dibentuk di negara tersebut pada tahun 1955 (Esposito, 1989: 366). Komisi tersebut terdiri dari orang dari kalangan pembaru dan satu orang dari kalangan ulama konservatif. Titik pangkal perdebatan dimulai ketika kelompok mayoritas pembaru mengajukan argumen-argumen pembaruan Hukum Islam yang ditentang keras oleh golongan tradisional konservatif.[1]
Kelompok pembaru memberikan beberapa argumen tentang perlunya melakukan pembaruan Hukum Keluarga Islam. Pertama, pentingnya ijtihad dengan reinterprestasi nash yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kedua, “bukan negara agama” bahwa Islam tidak pernah mengajarkan untuk dibentuknya negara teokratik, sehingga kewajibankewajiban terhadap Tuhan dan terhadap Kepala Negara tidak harus dilakukan secara terpisah karena adanya pertentangan dan konflik di antara keduanya. Jika ada sejumlah kelompok muslim memiliki pemahaman yang lebih tentang hukum daripada kelompok yang lain, tidak lantas membuat kelompok tersebut membuat kelompok tersendiri yang terpisah; mereka tidak diberi wewenang khusus dan tidak juga mendapat hak-hak istimewa. Tiga, bahwa Pakistan dibentuk dengan memisahkan diri dari anak Benua India. Pembentukan negara pakistan adalah langkah revolusioner, dan setiap revolusi menuntut adanya pembenahan dalam sistem pendidikannya dan perombakan hukum serta prosedur peradilannya untuk memenuhi tuntutan kehidupan bebas yang sedang.[2]
Jadi yang jadi pembahasan adalah bagaimana hukum keluarga di Pakistan dan bagaimana pula realisasinya dan bagaimana jika di bandingkan dengan muslim lainnya
Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kepustakaan (library method) dengan pendekatan analisis sumber sumber kepustakaan utamanya mengenai Negara Pakistan melalui buku buku dan jurnal yang telah di publish sebelumnya dan dengan merujuk dari sumber sumber yang sudah terpercaya
PEMBAHASAN
Selayang pandang mengenai Pakistan
Pakistan adalah sebuah Negara yang mempunyai tanah suci yang mempunyai catatan sejarah yang cukup beragam.di tanah ini, 5000 tahun yang silam telah berkembang sebuah peradaban yang kemudian dikenal dengan peradaban Harappa dan Mohenjodaro di lemah Hindustan.
Pakistan sebuah Negara republic Islam memiliki penduduk 122,8 juta jiwa (perkiraan 1993) , adalah bangsa muslim terbesar kedua di dunia. Meskipun mereka berasal dari lima kelompok etnis yang berbeda- Punjabi, sindhi, pathan, Baluch, dan Muhajir ( imgran berbahasa urdu dari india sebelum perpecahan ) –mayoritas orang Pakistan yaitu sebesar 97 persen adalah muslim. 10-15 % adalah syi’ah yang mayoritas menganut Syi’ah Istna ‘Asyariyah. Minoritas sekte Syi’ah termasuk Islamiyah , terdapat di Karachi dan wilayah barat laut Gilgit, dan Bohoras, yang markas spiritualnya terletak di Bombay, India. Mayoritas besar kaum muslim sunni Pakistan menganut mazhab Hanafi meskipun minoritas kecil pengikut mazhab hambali.
Pakistan yang terjadi akibat pemisahan india Inggris pada 14 Agustus 1947 adalah unik di antara Negara –negara muslim dalam hal hubungannya dengan islam. Pakistan adalah Negara yang satu-satunya Negara muslim yang didirikan atas nama islam. Dengan demikian, pengalaman politik Pakistan secara integral berkaitan dengan perjuangan kaum muslim india untuk menemukan pemerintahan politik berdaulat yang baru setelah kehilangan kekuasaanya dari inggris pada awal abad ke 19 , berawal dengan gerakan Aligarh dari sir Sayyid Ahmad Khan untuk reformasi pendidikan dan intelektual agama serta kegigihannya untuk identitas politik yang terpisah dan hak-hak bagi kaum muslim India , kebangkitan kaum muslim india beraksi melalui gerakan agama seperti gerakan mujahidin pimpinan Sayyid Ahmad Syahid dan gerakan Deoband pimpinan Maulana Mahmud Qasim Nanautvi ( 1821-1880 ) serta Maulana Mahmud Alhasan ( 1851-1920 ) . Pada saat gerakan mujahidin melancarkan jihad bersenjata untuk memulihkan kekuasaan politik muslim di india barat laut , kemudian Deoband dan gerakan pendidikan islam lain mencoba membantu kaum muslim india mempertahankan warisan muslim tradisional pada maa subordinasi politik mereka. Konsep daerah politik muslim berdaulat tetap dipelihara oleh Muhammad Ali ( 1897-1931) dan Bahadur Yar Jang ( 1905-1944), dan diperkuat dengan munculnya gerakan Khilafah pada tahun 1920-an dibawah pimpinan Ali bersaudara.
Sebelumnya pada tahun 1906 kaum elit muslim berpendidikan barat telah mendirikan organisasi politik sendiri yaitu liga muslim seindia ( All-india Muslim League ) di Dhaka untuk memperjuangkan kepentingan agama, budaya, politik dan ekonomi kaum muslim india serta untuk mencegah upaya organisasi nasionalis Hindu yang sedang tumbuh agar tidak merenggut hak kaum muslim di india di masa depan. Namun hal yang memicu pecarian Muslim bagi strategi politik baru adalah kebencian kaum hindu terhadap golongan Bengal, yang meyakinkan kaum muslim india tentang kebutuhan untuk melindungi kepentingan agama –budaya dan politik mereka melalui organisasi politik yang terpisah. Hal ini menarik dukungan untuk liga muslim dan flatform nya daam system perwakilan Muslim yang terpisah pada semua lembaga politik. Pada saat yang sama, kaum hindu ektreem memulai gerakan suddhi dan sangathan yang bertujuan memaksakan perpindahan agama terhadap kaum muslim, kaum muslim bereaksi dengan mengorganisasi gerakan tanzhim dan Tabligh untuk membela islam dan melancarkan dakwah.
Setelah bertahun-tahun berupaya dengan gigih untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh kongres nasional india yang di dominasi oleh Hindu , liga muslim dibawah pimpinan Muhamad Ali Jinnah menyadari bahwa kepentingan agama , budaya dan politik komunitas muslim india tidak memperoleh jaminan yang aman dalam india bersatu pasca kemerdekaan yang di dominasi oleh mayoritas Hindu. Oleh sebab itu, Liga muslim kemudian bertujuan menciptakan Negara terpisah dari india barat laut dan barat daya yang mayoritas berpenduduk muslim yang kemudian akan bernama Pakistan yaitu terdiri dari Punjabi, Afghania, Kashmir, Iran, Sindh, Tukharistan, Afghanistan and Balochistan
Penyair dan Filsuf Muhammad Iqbal juga berargumen untuk menyentralisasi kehidupan islam sebagai kekuatan budaya di wilayah tertentu melalui pembentukan Negara Muslim di india barat daya, menurutnya, bagi Islam, Negara Otonomi seperti ini akan berarti “ kesempatan untuk menyingkirkan cap imperalisme Arab yang di berikan kepada islam secara paksa, untuk memoblisasi hukumnya, pendidikannya, kebudayaannya dan untuk membawa mereka bersentuhan lebih dekat dengan semangatnya sendiri serta semangat masa modern. “
Diterimanya gagasan Pakistan oleh rakyat hanya di mungkinkan melalui keberhasilan liga muslim dalam memolitisasi sentimen agama kaum muslim india dan dalam mengklaim bahwa perjuangan untuk Pakistan adalah perjuangan untuk pelestarian dan kejayaan islam. Sewaktu gerakan untuk pendirian Pakistan hamper terwujud, watak kebangkitan agamanya sudah kuat. Watak kebangkitan gerakan Pakistan memiliki akar sejarah dalam gerakan fundamentalis pramodern, seperti gerakn syah wali Alloh dan delhi dan Sayyid Ahmad Syahid dari Bareilly . dorongan kebangkitan ini juga berjalan dengan tradisi nasionalis modernis muslim pada akhir abad ke 19 dan ke 20 dari sir Sayyid Ahmad Khan. Dan Muhammad iqbal disatu sisi, serta gerakan kebangkitan Agama yang beragam seperti jamaah tabligh dari Maulana Muhammad Ilyas , gerakan sufi reformasi dan Maulana Asyraf Ali Tsanvi, dan jamaat islami dari Abu A’la Al-Maududi , gerakan Khilafat dari Maulana Muhammad Ali jauhar, dan gerakan khaksar dari ‘Allamah ‘inayatullah Al-Masyriqi.
Meskipun gerakan-gerakan ini berbeda dalam isu dan metode politik serta agamanya, kemunculan mereka pada fase yang paling kritis dalam sejarah islam di india memiliki efek terpadu dalam mengarahkan posisi nuslim kolektif dalam haluan yang parallel dengan posisi kaum hindu dan membelah kedua komunitas agama itu, pengaruh yang kuat juga datang dari pengaruh yang diberikan oleh liga muslim se-India yang selalu menyelogankan kalimat la ilaha illallah ( tiada tuhan selain Alloh ) kepada rakyat muslim India pada puncak perjuangannya untuk mendirikan Negara yang terpisah. Pemisahan yang pada akhirnya berujung pada pembentukan Negara muslim Pakistan .
Dari sini dapat dimengerti bahwa pada dasarnya semangat untuk mendirikan sebuah Negara muslim yang kelak bernama Pakistan tersebut. Pada dasarnya sudah muncul sebelum abad modern yang kemudian berkelanjutan hingga ke abad modern . adapun perjuangan menuju terbentuknya suatu Negara muslim yang terpisah dari india tersebut telah di dukung oleh berbagai gerakan kaum muslim yang memiliki isu dan metode politiknya masing-masing. Namuin dapat dikatakan bahwa meskipun terdapat perbedaan genre dari masing-masing gerakan tersebut, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu membentuk suatu Negara muslim terpisah yang memiliki otoritasnya sendiri di ranah politik di india.
Muhammmad Ali Jinnah dan pemikirannya tentang pendirian Negara Pakistan
Muhammad Alin Jinnah lahir di Karachi pada hari minggu tanggal 25 Desember 1876, Ayahhnya adalah seorang saudagar yang bernama Jinnah Bhai. Ketika Jinnah menginjak umur 10 tahun , beliau di kirim oleh orang tuanya untuk belajar di Bombai selama 1 tahun kemudian pulang ke Karachi dan melanjutkan pelajarannya di Sind Madrasatul Islam. Setingkat dengan sekolah menengah pertama, setelah itu melanjutkan ke sekolah menengah atas di Mission high school. Atas nasehat Frederick leigh croft. Meneger Graham shipping and trading company, dan waktu itu Jinnah berusia 16 tahun.
Sesampainya di London , Jinnah justru tidak masuk sekolah yang di inginkan oleh ayahnya itu, akan tetapi Jinnah tertarik untuk belajar hokum, suatu lembaga yang mempersiapkan lulusannya untuk menjadi ahli hokum atau pengacara.Pada tahun 1896 , Jinnah memperoleh gelar sarjana dalam bidang hokum di London. Pada tahun itu juga ia kembali ke India untuk bekerja sebagai pengacara di Bombay. Dalam masa pengabdiannya di bidang hukum ini , ia banyak bersentuhan dengan berbagai kalangan lapisan masyarakat, diantaranya adalah machperson, jaksa agung Bombay. Machperson sangat terkesan dengan semangat pengabdian Jinnah yang masih muda itu dalam bidang hukum, sehingga ia terdorong untuk memberikan pasilitas kepada Jinnah dengan kebebasan yang seluas-luasnya untuk menggunakan perpustakaan pribadinya.
Jinnah kembali ke india pada tahun 1896 setelah menyelaesaikan studi hukumnya di London, dan kemudian ia bekerja sebagai pengacara yang berkualitas. Dia menghadapi 3 tahun perjuangan berat sebelum ia membuktikan dirinya sebagai pengacara terkemuka muslim Bombay, barulah ketika karirnya mencapai puncaknya kemudian ia terjun kedalam dunia politik. Penampilan pertamanya yaitu pada kongres kalkuta 1906 dimana ia bertindak sebagai sekretaris pribadi presiden , Dadabhai Naoroji . disana ia menjalin hubungan dengan sejumlah pemimpin kongres, terutaa dengan Gophal Krisna Gokhale yang sangat berpengaruh, yang ia di damping dalam kunjungan ke inggris pada bulan april 1913, pada tanggal tersebut Jinnah telah muncul sebagai salah satu tokoh muslim terkemuka di kongres dan di anggap oleh banyak orang sebagai sebagai pemimpin masa depan.
Sampai pada tahun 1913, Jinnah telah mengarahkan dengan jelas arah organisasi politik utama islam, yaitu liga muslim yang telah didirikan pada tahun 1906 guna melindungi hak-hak politik muslim . pandangan organisasi ini adalah konservatif dan setia kepada inggris dan itu tercermin dalam prioritas utama dari elit terpelajar muslim provinsi serikat, dari tempat itu menarik para pemimpinnya dan dukungan terbesarnya. Di tempat lain di india tidak terlalu berpengaruh. pada april 1913 Jinnah sepakat untuk memimpin Liga muslim dengan harapan membawa pandangannya sejalan dengan kongres. Dia mengatur sesi 1915 yang bertepatan dengan kongres dan memainkan peran utama dalam negosiasi yang berlangsung antara kedua pihak . mereka menghasilkan pakta Lucknow terkenal 1916. Yang merupakan kesempatan besar dalam sejarah hindu modern dimana liga muslim dan kongres untuk memiliki kesepakatan tentang masa depan politik india. Pakta mengabulkan banyak muslim dari perlindungan yang mereka tuntut., termasuk pemilih yang terpisah dan ‘weightage’ di dewan Legislatif provinsi-provinsi dimana mereka membentuk sebuah minoritas dari populasi . namun, meskipun harapan yang di bangkitkan pakta lucknow hanya memiliki efek sementara pada hubungan muslim-hindu.
Isi Hukum Keluarga Pakistan
Dalam MFLO 1961 dan pelbagai peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya, terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu:
1. Batas usia minimum perkawinan;
2. Kewajiban pencatatan perkawinan;
3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami;
4. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam;[3]
5. Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya;
6. Kehadiran ahli waris pengganti;
7. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family court); dan
8. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait orang murtad.
Batas usia minimum perkawinan
Berkaitan dengan ketentuan batas usia minimum boleh nikah, Pakistan memiliki Undang-undang sendiri, yaitu UU No. 29 tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 tahun 1961. Dalam UU tersebut didefenisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak. Dalam UU tersebut menggunakan dua istilah anak yaitu child dan minor, minor adalah seseorang baik laki-laki atau perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. (Mahmood, 1987) Negara Pakistan adalah salah satu negara yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai pegangan dalam permasalahan hukum khususnya terkait hukum keluarga Islam. (Mahmood, 1972) Pakistan melarang nikah di bawah umur dengan mendasarkan pada al-Qur’an, sebab ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Menuntut syarat dewasa (rusyd) (Shihab, 2004), untuk absahnya transaksi. Padahal akad nikah lebih penting daripada akad yang lain. Konsekuensinya, syarat dewasa untuk perkawinan demikian penting, umur dewasa sempurna (rusyd) pun diperhatikan. Larangan perkawinan di bawah umur pada salah satu pandangan mufassir terhadap ayat alQur’an yaitu Surat An-Nisa’ ayat 6. Meskipun ayat ini pada dasarnya berbicara tentang masa peralihan harta anak yatim, dimana harta mereka diberikan secara penuh kalau sudah rusyd, tetapi ada juga kaitan ayat ini dengan umur kedewasaan untuk boleh menikah (umur minimal boleh nikah). Maka ini yang dijadikan dasar penetapan umur minimal boleh nikah. (Nasution, 2007) Dalam menentukan batasan usia perkawinan ini tidak jauh beda dengan pendapat yag dikemukakan oleh mazhab Hanafi terkait masa baligh bagi laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun bagi anak laki-laki dan 17 tahun bagi anak perempuan.
Pendapat yang digagaskan oleh Hanafi ini adalah batas maksimal dalam masa baligh, sedangkan batasan minimalnya adala 12 tahun untuk laki—laki dan 9 tahun untuk perempuan. (Mahmood, 1972) Tahir Mahmood menyebutkan bahwa UU di Pakistan melarang terjadinya perkawinan di bawah umur, MFLO mengatur bahwa seorang lakilaki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu (1000) Rupee atau kedua-duanya, kecuali kedua belah pihak memiliki bukti yang meyakinkan bahwa keduanya tidaklah melakukan perkawinan di bawah umur (child marriage). (Mahmood, 1987) Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa dalam peraturan perundangan yang berlaku di Pakistan menyebutkan child dan minor.
Berkaitan dengan seseorang dalam kategori minor (berumur kurang 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak atau walinya yang memaksa anaknya menikah, atau karena kelalaian mereka maka orang tua atau walinya itu dapat diancam dengan hukuman penjara paling lama satu (1) bulan atau denda paling banyak seribu (1000) Rupee atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa perempuan tersebut tidak dihukum penjara. Apabila perkawinan tersebut tetap terjadi, padahal Pengadilan telah memperingatkan wali untuk tidak melangsungkan pernikahan, maka para orang tua atau walinya diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga (3) bulan atau denda seribu (1000) Rupee atau keduakeduanya, baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun aduan dari masyarakat. (Mudzhar, 2014) Komisi di Pakistan memberikan saran untuk melakukan reformasi jangka panjang terhadap Undang-Undang dengan melihat kebutuhan sosial masyarakat. (Connors, 1993) Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (childh marriage) telah diberlakukan sejak tahun 1929, problemnya masih berlangsung hingga sekarang.
Hal tersebut diakibatkan oleh beberapafaktor, di antaranya, yaitu faktor budaya atau adat yang kuat seperti keterlibatan Watta-Satta dan Vani. Watta-Satta merupakan suatu kebiasaan bertukar pengantin antara keluarga, Vani adalah kebiasaan daerah kesukuan Pakistan, dimana gadis-gadis muda secara paksa memungkinkan untuk menikah dengan anggota suku yang berbeda untuk menyelesaikan permusuhan.
Keyakinan masyarakat seperti itu memaksa anak perempuan untuk menikah pada usia yang lebih muda. (Rajwani, 2015) Dampak dari pernikahan dini di Pakistan begitu sangat banyak, terutama untuk perempuan baik secara fisik maupun psikisnya. Secara tidak langsung pernikahan dini yang terjadi di berbagai negara ataupun di Pakistan merengut hak-hak anak, yang kebanyakan adalah hak perempuan. Selain pengaturan dalam pasalpasal Child Marriage Restraint Act tahun 1929, terdapat sejumlah pasal dalam Hukum Pidana Pakistan lebih kurang berkaitan dengan persoalan perkawinan anak, yaitu Pasal 310-A yang mengancam barnag siapa yang memberikan seorang perempuan untuk dikawini sebagai ganti perdamaian dengan hukuman maksimal sepuluh (10) tahun penjara atau minimal tiga (3) tahun penjara. Pasal 375 yang mendefenisikan perkosaan antara lain sebagai hubungan intim dengan seorang perempuan di bawah umur, baik dengan ataupun tanpa persetujuan., Pasal 376 tentang ancaman hukuman mati bagi pelaku perkosaan, dan Pasal 493-A tentang penipuan yang mengakibatkan terjadinya
hubungan intim antara seorang perempuan dan laki-laki (Mudzhar, 2014). Berhubungan dengan faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini di Pakistan, yaitu faktor adat, sebagaimana disebutkan di atas tentang prosesi adat Watta-Satta, Vani yaitu menjadikan perempuan muda sebagai tebusan untuk perdamaian. Hal tersebut di Pakistan dapat dikenakan sanksi pidana setelah diberlakukannya ketentuan Hukum Pidana Pakistan.
Tabel Perbedaan Batas Usia Nikah Negara Batasan Usia Menikah
NO Negara Laki laki Perempuan 1 Turki 17 15 2 Pakistan 18 16 3 Maroko 18 18 4 Indonesia 19 16
batas usia minimum kawin diatur dalam UU No. 29 tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 tahun 1961 (MFLO). Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan tersebut. Kemudian “minor” didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan antara “child” dan “minor”.[4]
Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara.
Jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perk awinan itu, baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1000 Rupee atau kedua-duanya.[5] Untuk memperoleh gambaran bagaimana pengaturan dan ancaman sanksi perkawinan di bawah umur itu dilakukan,
Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (child marriage) itu telah diberlakukan sejak tahun 1929, problemnya masih berlangsung hingga sekarang. Masalah ini terkait dengan sejumlah masalah kemasyarakatan dan adat yang telah mengakar dalam masyarakat, seperti adat barter perk awinan, adat kawin paksa atau adat perkawinan yang sepenuhnya diatur oleh orang tua, adat penyerahan perempuan dan anak-anak sebagai akibat dari konflik antar suku, dan lain-lain. Meskipun Child Mariage Restraint Act tahun 1929 itu memberikan ancaman hukuman baik kepada para pelaku ataupun orang tua atau siapa saja yang mendorong terjadinya perkawinan anak, tetapi perkawinannya itu sendiri tidak dibatalkan dan tetap dianggap sah. Akibatnya perkawinan anak masih banyak terjadi dan pelaksanaan hukuman cenderung sangat rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera kepada masyarakat.
Selain pengaturan dalam pasal-pasal Child Mariage Restraint Act tahun 1929, terdapat sejumlah pasal dalam Hukum Pidana Pakistan yang sedikit banyak berkaitan dengan persoalan perkawinan anak, yaitu Pasal 310-A yang mengancam barang siapa yang memberikan seorang perempuan untuk dikawini sebagai ganti perdamaian dengan hukuman maksimal sepuluh tahun penjara atau minimal tiga tahun penjara, Pasal 375 yang mendefinisikan pemerkosaan antara lain sebagai hubungan intim dengan seorang perempuan di bawah umur, baik dengan ataupun tanpa persetujuannya, Pasal 376 tentang ancaman hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan, dan Pasal 493A tentang penipuan yang mengakibatkan terjadinya hubungan intim antara seorang perempuan dan laki-laki. Kewajiban pencatatan perkawinan;
Mengenai pencatatan perkawinan MFLO mengaturnya melalui Section 5 bahwa setiap peristiwa perkawinan harus dicatat oleh petugas yang ditetapkan pemerintah. Jika perkawinan itu terjadi di luar Pakistan maka satu lembar tembusan pencatatan itu disampaikan kepada petugas pencatat nikah di wilayah di mana si pengantin perempuan bertempat tinggal.
Kelalaian mencatatkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara tiga bulan bagi pengantin laki-laki dan/atau denda paling banyak 1000 Rupee, meskipun ada atau tidaknya pencatatan perkawinan itu tidak mempengaruhi kea bsahan perkawinan tersebut secara agama Islam. Bagi sebagian ulama konservatif pe ngaturan ini mengandung masalah. Bahwa pencatatan perkawinan itu adalah sesuatu yang baik dilakukan memang dapat dipahami oleh para ulama tersebut, karena dapat diqiyaskan dari ayat Alquran yang mengatakan bahwa jika seseorang membuat transaksi besar seperti hutang-piutang hendaklah dicatatkan.[6]Adapun masalah yang dipersoalkan para ulama itu ialah bahwa kelalaian pentatatan perkawinan itu kemudian menimbulkan sanksi hukuman penjara dan atau denda, sehingga pencatatan perkawinan yang sesungguhnya hanya merupakan siyâsah al-syariyyah itu kemudian menjadi wajib, sehingga seperti sedang merubah hukum perkawinan Islam yang tidak meletakkan pencatatan sebagai rukun nikah.[7] Sesungguhnya perdebatan serupa juga terjadi ketika Indonesia membahas draft UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Draft awalnya mengatakan bahwa pencatatan perkawinan itu wajib dan menjadi satu kesatuan dengan keabsahan perkawinan, tetapi kemudian atas keberatan para ulama maka Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan akhirnya memisahkan pengaturannya menjadi dua butir pengaturan di mana dalam pengaturan pertama disebutkan bahwa keabsahan nikah itu ialah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya, sedangkan dalam pengaturan kedua khusus mengenai kewajiban pencatatannya, hanya saja tidak disertai sanksi jika tidak dilakukan. Dalam kaitan ini sesungguhnya terdapat pula sebuah hadis Nabi Muhammad Saw yang dapat ditafsirkan bagi pencatatan perkawinan ini yaitu hadis yang mengatakan, “A’linû al-nikâh walau bi syâtin (Umumkanlah perkawinan itu walaupun hanya dengan (kenduri) memotong seekor kambing). Dalam riwayat lain hadis itu berbunyi, “Aulim walau bi syâtin” (walimahkanlah atau rayakanlah walau hanya dengan memotong seekor kambing).
Dalam hal ini kewajiban pencatatan perkawinan sesungguhnya dapat pula dipahami sebagai salah satu bentuk pengumuman yang terstandarisasi atau bahkan sebagai salah satu bentuk kesaksian. Terkait mahar dalam perkawinan, di Pakistan terdapat tradisi di mana para orang tua calon mempelai perempuan berlombalomba menetapkan jumlah mahar dan pemberian-pemberian lainnya di seputar perkawinan yang amat tinggi nilainya sehingga dapat memberatkan pihak keluarga laki-laki.[8]
Prosesi perkawinan
Tradisi prosesi perkawinan dalam masyarakat Pakistan biasanya meliputi tujuh tahapan berikut: Mangni, Mayun, Mehndi atau Rasm-i-Hina, Barat, Nikkah, Rukhsati, dan Walima. Mangni adalah upacara petunangan atau peminangan, biasanya ditandai dengan pemasangan cincin oleh ibu atau saudara perempuan calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan dan pemasangan cincin kepada calon pengantin laki-laki oleh ibu atau saudara perempuan calon pengantin perempuan. Setelah dilanjutkan dengan tukar menukar pemberian dan pembacaan doa, dilanjutkan dengan penentuan hari akad nikah dan jamuan makan bersama. Mayun adalah proses pemingitan calon pengantin laki-laki dan perempuan di rumahnya masing-masing untuk masa tertentu, biasanya seminggu atau dua minggu, agar tidak saling bertemu sampai waktu akad nikah. Masa ini biasanya diisi dengan pelbagai upacara adat di rumahnya masing-masing yang intinya bermaksud pembersihan jasad dan rohani masingmasing calon pengantin.
Di antara bentuk upacara itu ialah ibu, saudara perempuan, dan para saudara misan calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon pengantin perempuan dengan membawa Ubtan yaitu nampan berisi macam-macam tepung rempah dan minyak wangi lalu dioleskan pada muka dan tangan calon pengantin perempuan, diiringi dengan nyanyian-nyanyian tertentu. Demikian juga keluarga calon pengantin perempuan datang membawa Ubtan ke rumah calon pengantin pria dan mengoleskannya pada muka dan tangannya. Upacara Mehndi atau Rasm-i-Hina biasanya dilaksanakan sehari sebelum akad nikah, bentuk kegiatannya ialah calon pengantin perempuan mengenakan baju berwarna kuning dengan penuh ornament terbuat dari bunga. Ibu dan saudara perempuan calon pengantin laki-laki datang membawa Mehndi (Hina) untuk calon pengantin perempuan dan menggunakannya untuk melukis sebentuk bunga pada tangan calon pengantin perempuan. Terkadang calon pengantin laki-laki juga diperlakukan sama. Upacara ini diakhiri dengan makan bersama. Barat ialah perjalanan calon pengantin laki-laki dengan keluarganya ke rumah calon pengantin perempuan untuk menjemputnya dan membawanya ke rumah pengantin laki-laki. Dulu upacara ini dilakukan sehari sebelum aqad nikah, sekarang dilakukan pada hari akad nikah. Dulu calon pengantin laki-laki menunggang kuda berhias, sekarang menaiki mobil berhias. Nikkah adalah upacara akad nikah (ijab Kabul), dipimpin oleh Maulana (ulama).
Calon pengantin perempuan biasanya duduk di ruangan terpisah dari ruangan upacara ijab qabul. Upacara Nikkah diakhiri dengan jamuan makan bersama. Adapun Rukhsati ialah prosesi pengantin laki-laki dan seluruh keluarganya kembali ke rumahnya dengan membawa pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki segera setelah seluruh upacara aqad nikah selesai. Pengantin perempuan mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh keluarganya, sehingga biasanya Rukhsati merupakan momentum yang sangat
Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya
Itulah sebabnya telah dikeluarkan sebuah UU tersendiri yang mengatur batas maksimum nilai mahar dan biaya perkawinan itu, bukan batas minimumnya. UU itu disebut Dowry and Bridal Gift (Restriction) Act tahun 1976 yang kemudian diamandemen dengan Ordinance No. 36 tahun 1980. Dalam UU itu disebutkan bahwa selain mahar yang wajib dalam setiap akad nikah, terdapat pemberianpemberian lain diseputar perkawinan, yaitu:
- “Bridal gift” (pemberian yang diperjanjikan) yang diberikan kepada calon pengantin perempuan oleh pihak pengantin laki-laki atau orang tuanya sebelum, pada saat, atau setelah akad nikah tetapi bukan mahar (maskawin);
- “Dowry” yaitu pemberian orang tua pengantin perempuan kepada anak perempuan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan tetapi bukan bagian dari harta warisannya nanti;
- ”Present” (hadiah) yaitu pemberian-pemberian yang diberikan kepada keluarga pengantin laki-laki atau perempuan berhubung dengan terjadinya suatu perkawinan. UU itu mengatur bahwa jumlah atau nilai semua jenis pemberian yang diperjanjikan tersebut di atas secara keseluruhan tidak boleh melebihi 5000 Rupee.
Demikian juga pengaturan pembayarannya tidak boleh melebihi masa enam bulan sebelum dan enam bulan sesudah terjadinya akad nikah. Demikian juga diatur bahwa pemberian orang lain, baik kepada pengantin laki-laki maupun perempuan, tidak boleh melebihi nilai 100 Rupee. Kemudian khusus mengenai perkawinan pejabat Negara dan pagawai negeri golongan tinggi atau anak mereka, diatur bahwa mereka tidak boleh menerima pemberian hadiah berupa apapun juga [9]emosional bagi keluarga pengantin perempuan. Inilah mungkin di antara momentum yang memicu penentuan nilai mahar yang sangat tinggi itu, bahkan terkadang dikatakan seolah orang tua sedang “menjual” anak perempuan mereka. Adapun Walima ialah upacara pesta perkawinan, diselenggarakan oleh keluarga pengantin laki-laki, satu atau dua hari setelah upacara akad nikah. Setelah walima, kedua pengantin pergi untuk berbulan madu.
Perceraian
Di Pakistan, seorang suami masih berhak untuk menjatuhkan talak secara sepihak diluar pengadilan, tetapi segera setelah itu diwajibkan untuk melaporkan kepada Pegawai Pencatat Perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakim (Arbitrase) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami istri[10]
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa pengucapan talak oleh suami dapat dilakukan di luar pengadilan, hanya kemudian suami wajib melaporkannya kepada ketua Dewan Arbitrasi. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974 semua pengucapan talak harus dilakukan di depan hakim dalam sidang Pengadilan Agama. Baik di Pakistan maupun Indonesia, kedua-duanya tampak hendak mempersulit terjadinya perceraian, meskipun berbeda prosedur yang digunakan.
Selain perceraian dengan cara pengucapan talak oleh suami, terdapat juga pengaturan tentang talâq-i-tafwîd yaitu penyerahan (pendelegasian) hak menceraikan oleh suami kepada isterinya. Biasanya pendelegasian itu tercatat dalam Buku Nikah atau dalam Perjanjian Perkawinan dengan suatu syarat, misalnya kalau si suami menikah lagi dengan wanita lain maka secara otomatis isteri berhak mengambil inisiatif perceraian dengan melaporkan dan memintanya kepada Dewan Arbitrase, sebagaimana diatur pada Section 8 dalam kutipan di atas. Talâq-itafwîd biasanya dibedakan juga dari dua jenis perceraian lainnya yaitu perceraian secara khulu’ (khula) yang terjadi dengan tebusan tertentu oleh isteri yang dalam pelaksanaannya juga masih memerlukan persetujuan suami dan perceraian mubâra’ah dimana perceraian dilakukan karena baik isteri maupun suami memang sama-sama setuju mau bercerai. Menurut Rubia Mehdi, mengenai dua jenis perceraian yang disebut terakhir ini (khula dan mubâra’ah), putusanputusan pengadilan tidak konsisten dalam mengadili perkara-perkara yang ada.[11]
Selain sejumlah peraturan perundangan yang telah disebutkan di atas, khusus mengenai perceraian terdapat beberapa UU lain yang terkait yang diterbitkan setelah tahun 1961, yaitu The West Pakistan Moslem Personal Law, Shariah Application Act tahun 1962, The West Pakistan Family Courts Act tahun 1964, dan West Pakistan Family Courts Rules tahun 1965. Meskipun pada umumnya pasal-pasal dalam semua UU tersebut sesuai dengan ajaran Islam dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya, tetapi terdapat juga sejumlah pengaturan yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan. Dalam UU The West Pakistn Family Courts tahun 1964 disebutkan misalnya dalam Section 5 bahwa Family Courts (Pengadilan Keluarga) berwenang menangani perkara-perkara perceraian, termasuk perkara khula, mahar, nafkah isteri, pemeliharaan anak, perwalian, dan kepemilikan harta. Meskipun demikian, Pengadilan Sipil pada tahun 2002 justeru diberi tambahan kewenangan untuk perkaraperkara litigasi perceraian dan semua perkara terkait perceraian tersebut di atas, sehingga menimbulkan tumpang tindih pengaturan dan kerancuan berperkara. Terlebih lagi ditetapkan bahwa biaya perkara dalam Pengadilan Sipil itu jauh lebih rendah dari pada biaya perkara pada Pengadilan Keluarga.[12]
Masih terkait soal perceraian, terdapat sebuah UU yang kemudian menyulitkan para janda yaitu yang disebut Offence of Zina (Enforcement of Hudood) Ordinance tahun 1979. Pengaturan ini merupakan bagian dari upaya Islamisasi Presiden Ziaul Haq di bidang hukum pidana yang sebelumnya menggunakan Hukum Pidana peninggalan penjajah Inggris. Dalam aturan baru itu disebutkan ancaman hukuman kepada para pelaku zina, suatu aturan yang sesungguhnya baik-bagus ditinjau dari segi hukum Islam. Persoalannya yang kemudian muncul ialah terkait wanita-wanita yang telah dicerai suami mereka dan kemudian kawin lagi dengan pria lain. Menurut MFLO tahun 1961 setiap pengucapan talak harus dilaporkan oleh suami kepada ketua Dewan Arbitrasi, tetapi seringkali suami yang telah menceraikan isteri mereka tidak melakukan pelaporan itu, sementara mantan isteri mereka ditinggalkan begitu saja. Setelah beberapa lama merasa telah ditalak, sebagian janda itupun kawin lagi dengan laki-laki lain.
Di sinilah muncul persoalannya. Dikarenakan para suami itu tidak melaporkan talak mereka kepada Dewan Arbitrasi maka perceraian mereka secara hukum dianggap tidak pernah ada, sehingga para isteri itupun dapat dituduh telah melakukan zina karena secara hukum ia dipandang masih terikat suatu perkawinan. Satu sisi hal ini terjadi karena masalah sinkronisasi hukum dan pada sisi lain adalah karena kurangnya kesadaran para suami atas kewajiban mereka atau kurangnya pengetahuan isteri tentang mekanisme talak khulu’.[13]
Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami;
Hukum Keluarga yang sering jadi bahan perdebatan yakni masalah poligami, golongan ini beranggapan bahwa kelompok pembaru memiliki kerendahan diri karena menjiplak pandangan Barat yang melarang poligami. Lebih jauh lagi, bahwa poligami bukanlah sesuatu yang harus dicacimaki dan penghapusan poligami juga bukan merupakan bukti keberhasilan Eropa yang patut dicontoh 16 oleh negara-negara lain. Tindakan Eropa yang melarang poligami dan justru membolehkan pelacuran tidak dapat dibenarkan. Hal ini menggambarkan bahwa cara Eropa menggunakan tatanan sosial dan sistem hukum yang membenarkan terpenuhinya kepuasan seksual melalui cara lain selain melalui perkawinan adalah perbuatan terkutuk yang sama saja dengan merendahkan para isteri. Bahkan golongan ini menyarankan kepada Lembaga Kemasyarakat, daripada sibuk menentang poligami lebih baik mereka berkeliling ke pasar-pasar seluruh Pakistan dan melayangkan pandangan kepada para wanita tuna susila yang telah banyak merusak tatanan sosial dan kehidupan rumah tangga (Esposito, 1989: 379-380). Pada dasarnya jika diamati perdebatan antara kedua kelompok ini bermula dari perbedaan metodologi yang dilakukan dalam mengkaji hukum Islam.
Golongan konvensional nampaknya melanggengkan tradisi untuk memahami agama mereka sendiri sebagai “orang dalam” (insider) yang kurang atau belum mengkaitkan keilmuan lain dalam melakukan studi Islam maupun hukum Islam. Sehingga memahami fiqh sebagai bangunan “paten” tidak dapat dirubah dan tidak terdapat kekurangan. Dikotomi keilmuan antara “east” (timur) dan “west” barat nampaknya berperan cukup besar terhadap golongan kontra pembaruan dalam memberikan argumen penolakannya terhadap pembaruan Hukum Keluarga Islam di Pakistan. Sementara kaum pembaru yang telah banyak bersentuhan dengan keilmuan barat merasa perlu mengkaji Islam maupun Hukum Islam secara komprehensif melalui pendekatan pendekatan science dengan menggunakan keilmuan seperti ilmu filsafat, sosiologi, dan sejarah. Tidak mengherankan jika kemudian isu-isu gender dan keadilan digunakan untuk mengkaji kembali doktrin-doktrin agama yang telah mengakar pada masyarakat muslim. Kelompok pembaru sepertinya mencoba melakukan reinterprestasi nash disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan dalam masyarakat modern. Hal ini bagi golongan kontra pembaruan dianggap sebagai bid’ah yang tidak dapat diterima, akibatnya perdebatan dan kontroversi tidak dapat terelakkan lagi antara kedua golongan tersebut.
MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki yang masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan di larang melakukan perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin isterinya dan izin dari Dewan Arbitasi. Caranya, Seorang suami yang hendak kawin lagi dengan perempuan lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan Arbitrasi dilengkapi dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin isteri serta membayar uang sejumlah tertentu.
Segera setelah surat permintaan izin dari pihak suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrasi meminta nama seorang wakil dari keluarga suami dan seorang wakil dari keluarga isteri untuk duduk sebagai anggota Dewan Arbitrasi. Jika Dewan Arbitrasi kemudian melihat adanya alasan-alasan yang jelas, diperlukan dan adil, sehingga menyetujui usul perkawinan tersebut maka izinpun diberikan.
Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan akad nikah tanpa izin isteri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 5000 Rupee atau kedua-duanya.[14] Sekedar sebagai ilustrasi bagaimana telitinya pengaturan pembatasan poligami itu dilakukan beserta ancaman sanksinya,[15]
Aturan yang berusaha mempersulit terjadinya poligami itu tentu saja amat bagus dan mungkin dapat menjadi contoh bagi Negara Muslim lain. Sekarang pertanyaannya ialah seberapa jauh aturan itu telah dipatuhi masyarakat Pakistan, mengingat banyaknya faktor-faktor sosial budaya yang mengitarinya. Kita belum memperoleh hasil penelitian yang komprehensif mengenai hal ini, tetapi sebagai ilustrasi yang ektrim dapat disebutkan sebuah kasus yang terjadi di Multan, Pakistan. Menurut Nadia Siddiqi, yang tulisannya di posting oleh Awais pada tanggal 7 November 2010, seorang laki-laki di Multan baru saja melakukan perkawinan dengan dua orang wanita secara berurutan dalam masa 24 jam.
Tentu saja berita itu sangat menghebohkan, sehingga kemudian kedua perempuan itu diundang ke sebuah acara talkshow telivisi berjudul “Kal Tak” pada TV Express. Dalam acara itu terungkap bahwa kedua perempuan itu ternyata adalah dua saudara misan (sepupu) yang berarti dikawini oleh seorang laki-laki sesama saudara misan (sepupu) lainnya. Dikatakan bahwa mereka melakukan per kawinan demikian karena tekanan pihak keluarga. Agak aneh juga kemudian bahwa dalam acara talkshow itu katanya juga dihadiri Menteri Federal Pakistan Urusan Kesejahteraan Kependudukan, Ms Firdaus Ashiq, seolah tidak mempersoalkan keabsahan perkawinan mereka.[16] Tentu saja peristiwa di atas bersifat kasuistik, tetapi sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa ketentuan agar kehendak seorang laki-laki untuk berpoligami itu disertai izin isteri yang ada dan agar diajukan kepada Dewan Arbitrasi terlebih dahulu berarti tidak berjalan, karena tidak mungkin semua proses yang aturannya rumit dan teliti itu dapat diselesaikan dalam satu hari.
kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri
Terkait kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri, MFLO 1961 mengatur bahwa jika seorang suami gagal memberi nafkah kepada isterinya, atau tidak adil dalam memberikan nafkah kepada isteriisterinya jika lebih dari satu, maka isteri dapat melaporkan hal itu kepada Dewan Arbitrasi yang setelah mempelajarinya dengan seksama dapat menerbitkan surat keterangan mengenai jumlah nafkah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Jika suami tidak mau membayarnya sebesar yang disebutkan dalam surat keterangan tersebut maka hal itu akan menjadi beban hutang atas suaminya sampai dilunasinya.
Jika suami atau isteri ingin mengusulkan revisi atas jumlah nafkah itu, mereka dapat melakukannya dengan memohon kepada Dewan Arbitrasi, tetapi sekali putusan revisi itu telah dibuat oleh Dewan Arbitrasi maka jumlah baru nafkah itu tidak boleh digugat lagi di pengadilan manapun. Aturan ini nampak sangat memihak bagi kepentingan isteri, meskipun sebagian orang menilainya masih kurang lengkap karena di dalamnya misalnya tidak disebutkan secara eksplisit mengenai nafkah untuk anak, jumlah nafkah untuk masa sebelum diterbitkannya surat keterangan dari Dewan Arbitrasi, batas minimum nafkah, batas waktu pembayaran nafkah, dan jumlah nafkah dalam masa iddah setelah perceraian. Menurut Rubia Mehdi, sesungguhnya pengaturan seperti itu telah ada juga dalam Hukum Acara Pidana Pakistan Section 448, hanya saja prosesnya harus melalui pengadilan sehingga lebih rumit dan panjang. Adapun dalam MFLO penetapan jumlah nafkah itu cukup dilakukan oleh Dewan Arbitrasi, sehingga dapat lebih mudah dan lebih cepat prosesnya.[17]
Kehadiran ahli waris pengganti;
Terkait sistem kewarisan MFLO Section 4 mengatur tentang bagian warisan bagi cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu sebelum meninggalnya kakek atau neneknya. Dalam kitab-kitab fikih klasik hal ini tidak diatur dan dianggap sudah jelas, karena dalam Islam prinsipnya orang yang telah meninggal dunia terlebih dahulu tidak menerima warisan dari orang yang meninggal dunia kemudian.
Pada masa lalu, ketika sistem kekeluargaan bersifat extended family (apalagi dalam sistem kesukuan) di mana cucu yatim biasanya menjadi tanggung jawab pamannya maka sistem pembagian waris demikian itu tidak menjadi persoalan. Pada masa modern sekarang di mana sistem kekeluargaan cenderung berbentuk keluarga batih (nuclear family) yang anggota keluarganya hanya terdiri atas ayah, ibu dan anak, maka kematian ayah berarti beban bagi ibu untuk menghidupi anaknya yang yatim itu. Oleh karena itu ketiadaan bagian warisan bagi anak-anak yatim itu atas harta peninggalan nenek atau kakeknya, dapat berakibat terlantarnya si cucu. Itulah sebabnya sejumlah Negara Muslim di Timur Tengah memperkenalkan sistem wasiat wajibah atau disebut obligatory bequeth, yaitu bahwa cucu yatim tersebut akan mendapatkan bagian warisan dalam bentuk wasiat otomatis dari nenek atau kakek sebesar paling banyak sepertiga bagian.
Wasiat wajibah
Syria dan Jordania telah memperkenalkan sistem wasiat wajibah ini sejak tahun 1953, selain Mesir. Pakistan tidak mengadopsi sistem wasiat wajibah ini, melainkan melalui Section 4 MFLO tahun 1961 yang memberlakukan ketentuan yang disebutnya sebagai inheritance by right yaitu bahwa cucu yang demikian itu memperoleh bagian warisan dari harta warisan nenek atau kakeknya sama persis jumlahnya dengan jumlah yang akan diterima orangtuanya apabila ia belum meninggal dunia.
Para ulama konservatif Pakistan mengecam sistem inheritance by right ini dan menyebutnya sebagai bukan berasal dari Islam dan karenan ya harus dicabut, tetapi sampai hari ini pencabutan itu belum terjadi yang berarti kemenangan pemikiran kaum modernis Pakistan. Sesungguhnya apa yang dilakukan Indonesia mengenai hal ini melalui naskah Kompilasi Hukum (KHI), mirip seperti yang dilakukan Pakistan. Untuk cucu dalam keadaan sebagaimana digambarkan di atas KHI (1990) mengaturnya dengan memperkenalkan istilah ahli waris pengg anti yang fungsinya sama dengan sistem inheritance by right yang diadopsi Pakistan.
Indonesia justeru menggunakan istilah wasiat wajibah (obligatory bequeth) untuk memberi bagian kepada anak angkat yaitu dengan bagian maksimal sepertiga harta, sebagaimana layaknya maksimal jumlah wasiat. Pada sisi lain, pengaturan bagian kepada anak angkat dengan cara wasiat wajibah ini adalah murni inovasi Indonesia dan tidak terdapat di negeri Muslim manapun di dunia ini. Dengan kata lain, istilah wasiat wajibah di Timur Tengah digunakan juga di Indonesia, tetapi dengan pengertian berbeda.
Arbitrasi Dalam Hukum Perkawinan Di Pakistan
Di Pakistan pada masa pemerintahan Ayub Khan, pembentukan UndangUndang Hukum Keluarga Islam menjadi agenda utama dari kebijakan politiknya, sehingga lahirlah kemudian apa yang disebut dengan Muslim Family Law Ordinance tahun 1961. Pembentukan Ordinansi tentu tidak terlepas dari perdebatan dan kontroversi internal di Pakistan sendiri yang melibatkan kelompok tradisionalis dan modernis. Di antara isi ordinansi itu adalah masalah Pembatasan Poligami.
Ordinansi Pakistan tahun 1961 mewajibkan seseorang yang akan melakukan poligami untuk memperoleh persetujuan dari Majelis Keluarga untuk mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil istri; dan badan ini tidak akan memberikan persetujuan pada sang suami mengambil istri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordinansi Pakistan tahun 1961 menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan dari badan arbitrasi tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima ribu Rupee dan istri memperoleh atas hak talak. Demikian juga yang terjadi di Bangladesh.
Dari sudut pandangan fuqaha’ modern dengan menetapkan hukuman seperti itu pada perkara poligami, ordinansi itu telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqih yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman yang mubah (yang dibenarkan oleh syara’). Pembahasan tentang badan arbitrasi ini akan menarik bila dikaitkan hukum poligami yang terdapat dalam Islam yang mensyaratkan adanya kesanggupan suami berbuat adil bagi seorang suami secara lahir batin
Arbritasi dalam Kajian Fiqih dan Perundang-undangan Pakistan
Islam telah mempertahankan lembaga-lembaga hukum keluarga yang lebih lama dari pada agama-agama lainnya. Di kebanyakan negara-negara Timur Tengah, khususnya Pakistan, pemerintah sipilnya sudah dapat mendesak perubahan-perubahan di dalam hukum Perkawinan. Biasanya bentuk perubahanperubahan itu menampung pokok-pokok ajaran Islam. Untuk perombakan ideologi secara total, tentulah terlalu bahaya dari segi politik dan bahkan mungkin bertentangan dengan inti-inti kepercayaan yang dianut oleh kebanyakan politik sendiri. Ada yang menyandarkan kepada hukum Islam dan lembagalembaga yang lama, dan yang lain benar-benar berwajah baru, walaupun masih berakar kepada hukum yang lama. Hasil yang mengesankan adalah lahirnya Undang-Undang baru, antara lain di Maroko, Syiria, Tunisia, dan Pakistan yang substansinya banyak mengandung sumber hukum baru bagi kekuasaan Negara dan bukan dari al-Qur’an dan Hadis.
Di samping itu mereka juga menghendaki perbaikan bagi kedudukan kaum wanita, yang kini memperoleh jaminan, walaupun belum jelas sama sekali rincian jaminan itu, yakni perlindungan yang tidak tersedia dalam hukum yang lama. 1. Keberanjakan Vertikal dari Teorisasi Fiqih Klasik Di dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 35 Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut: “Dan jika kamu khawatirkan adanya persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahi dan maha mengenal”. Dan ayat 10 dari surat al-Hujat yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara maka itu damaikanlah kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat.” Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa, wajib mengangkat hakam, sedangkan ulama’ lainnya mengatakan sunnah. Bahkan kebanyakan ulama’ sepakat boleh tentang menggunakan hakam sebagai penengah bila terjadi pertikaian antara suami istri berdasarkan ayat 35 surat an-Nisa di atas. Dan mereka (para ulama’) sepakat bahwa hakam dari masing-masing pihak suami isteri. Kecuali jika tidak terdapat orang yang dapat dijadikan hakam dari kedua pihak, maka bisa mendelegasikan pada orang lain. Mereka (Jumhur Ulama’) juga sepakat bahwa jika para hakam berbeda pendapat tidak terlaksana pendapatnya, juga pendapat mereka dalam menggabungkan kedua suami istri terlaksana tanpa diwakili dari salah satu suami atau istri.
Akan tetapi Jumhur Ulama’ berbeda pendapat tentang jikalau keputusannya (hakam) adalah memisahkan kedua suami istri, apakah memerlukan izin dari suami atau tidak? Maka dalam hal ini mereka berbeda pendapat. Menurut Imam Maliki dan para sahabatnya boleh.
Sedangkan asSyafi’i dan Abu Hanifah dan beberapa sahabatnya menyatakan bahwa mereka tidak berhak memisahkan suami istri, kecuali disengaja oleh suami. Dasar hukum Maliki adalah Hadis dari Ali bi Abi Thalib bahwa beliau mengatakan kepada hakam ada hak untuk menceraikan dan menggabungkan (ruju’). Dalam hal ini asSyafi’i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa hukum asal (dasar) talaq/cerai adalah sang suami atau yang mewakilinya, bukan dari pihak lain. Juga para sahabat Imam Malik berbeda dalam penjatuhan talaq tiga oleh hakam., menurut Ibnu Qasim: jatuhnya satu. Akan tetapi yang lain, mengatakan tetap jatuhnya tiga.[18]
Jika dilihat dari adat orang Arab itu sendiri dari lembaga hakam atau arbiter, atau penengah, sudah ada sejak Nabi Muhammad belum diutus. Mereka, orang Arab itu jika terdapat di antara mereka persengketaan ataupun perselisihan, maka lebih memilih menunjuk arbitrer yang dipilih mereka dari orang yang sudah dipercaya dapat menyelesaikan perkara mereka. Misalnya, seorang pendeta yang mempunyai supranatural kepada Tuhan.[19]Secara tradisional, sumber utama hukum keluarga di Pakistan adalah mazhab Hanafi, akan tetapi mazhab-mazhab lain juga diterima secara luas. Pada dasarnya sistem ini telah terbukti mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Ukuran yang menentukan bagi keberhasilan hukum adalah metode yang dipakai mempertemukan antara kepentingan sosial dan pemikiran fikih. Pada abad ke 20 lahir secara berturut-turut berbagai undang-undang yang berlaku begi semua pihak di Pakistan tahun 1947.
Undang-Undang ini banyak menyangkut masalah-masalah khusus, yang terpenting adalah pencatatan nikah, syarat-syarat yang menyertai akad nikah (perjanjian perkawinan), kawin di bawah umur, pemutusan perkawinan atas permintaan istri batas maksimum masa tunggu/’iddah, pembatasan hak talak yang dimiliki oleh suami, termasuk poligami melalui satu badan yang disebut arbitrasi. Disamping itu, beberapa masalah lain yang berkaitan dengannya adalah nasab, pemeliharaan, wasiat wajibah dan kewarisan. Sebagian besar pasal undang-undang tersebut telah mendapat penerimaan di kalangan spesialis dalam studi hukum Islam. Ketentuan-ketentuan hukum. yang terkandung dalam undang-undang itu telah membantu memecahkan berbagai problema keluarga dan membuktikan kemampuan fikih Islam untuk memberi respon terhadap tuntutan kebutuhan-kebutuhan praktis dalam zaman modern. Terdapat keinginan kuat untuk melakukan modernisasi dan pembaruan dalam fikih Islam sehingga perlu melakukan kompromi antara kepentingankepentingan sosial di satu segi dan tuntutan fiqih di sisi lain
PENUTUP
Kesimpulan
- Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum keluarga di Pakistan sebagiannya bermodalkan hukum yang berlaku sejak zaman penjajahan Inggris, sebagaimana dalam bidang-bidang hukum lainnya. Langkah yang relatif komprehensif dimulai dengan pemberlakuan MFLO tahun 1961 dengan segala perubahannya. Gerakan Islamisasi hukum yang dilakukan Pakistan, terutama pada zaman pemerintahan Presiden Ziaul Haq, juga berdampak terhadap hukum keluarga di Pakistan.Terdapat fenomena yang menarik untuk dicatat yaitu bahwa meskipun Pakistan secara konstitusional adalah Negara republik yang berdasarkan Islam, dalam pengembangan sebagian materi hukum keluarganya masih mengundang perdebatan antara kaum Muslim konservatif dan modernis,
- Selanjutnya perlu juga dicatat bahwa pelaksanaan hukum keluarga di Pakistan masih banyak terkendala oleh pengaruh pelbagai faktor sosial dan budaya yang telah mengakar dalam masyarakat Pakistan. Dari segi materinya, secara komparatif vertical dengan apa yang termuat di dalam kitab-kitab fikih. Hukum keluarga Pakistan memiliki sejumlah hal yang beranjak dari kitab fikih seperti dalam pembatasan umur minimal kawin, keharusan pencatatan perkawinan, pengetatan prosedur perceraian dan poligami dengan pembentukan dan persyaratan persetujuan Dewan Arbitrasi, pemberian kesempatan bagi isteri untuk mengambil inisiatif perceraian berdasarkan talâq-i-tafwîd atau khulu’, pemberian kesempatan kepada isteri untuk meminta Dewan Arbitrasi untuk menetapkan besaran nafkah yang wajib dibayarkan suaminya, dan pemberlakuan aturan inheritance by right bagi cucu yang orang tuanya terlebih dahulu meningggal dunia dari pada kakek atau neneknya. Di atas semua itu hukum keluarga Pakistan memberikan ancaman sanksi terhadap semua pelanggaran atas aturan yang dibuatnya, baik berupa sanksi penjara, atau denda, atau gabungan keduanya baik terhadap pelaku pelanggarannya maupun terhadap mereka yang memaksa atau mendorong terjadinya pelanggaran itu.
- Bila diperbandingkan secara horizontal dengan Negara Muslim lainnya, hukum keluarga Pakistan tidak dapat dikatakan konservatif, bahkan cenderung modern dan mengacu kepada peningkatan derajat wanita, meskipun tidak dapat juga disebut sekuler. Hukum keluarga Pakistan tidaklah seperti hukum keluarga Tunisia dan Turki yang amat sekuler yang melarang poligami sama sekali, misalnya. Hukum keluarga Pakistan cenderung berada dalam satu kelompok dengan negara-negara moderat seperti Syria, Jordania, Mesir, dan Indonesia. Dari segi pelaksanaannya, hukum keluarga Pakistan, meskipun telah berusia lebih 50 tahun, masih terkendala faktor-faktor sosial dan adat yang mengakar kuat dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
al –Biruni, Maker of Pakistan and modern muslim India Lahore, Muhammad Ashraf, ( Lahore 1950 )
Abdul Hamid Yaya, pemikiran modern dalam Islam ( Bandung. CV Pustaka setia , 2010 )
Abdul Sani, Lintasan Sejarah pemikiran perkembangan Modern dalam Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Cet . 1, th 1998, h. 168 – 170 Ahmad Jainuri, Pemikiran Maududi tentang Negara islam, dalam buku islam berbagai Perspektif LPMI, ( Yogyakarta, 1995 )
Anees Ahmad dan Maryam Jameelah, Who is Maududi , ( Lahore, 1978 )
Anthony Aust , Handbook Of international law ( United Kingdom :
Cambrioge University Press, 2005 )
Anton Baker dan Ahmad Cvharis Zubair , metdologi penelitian Filsafat ,
( Yogyakarta. Kanisius, 1990 )
Anwar Enayatulloh , Story of Jinnah, a.b Usman Rahman dan Bahrum
Rangkuti, ( Jakarta : BUlan Bintang , 1976 )
Asmuni H,M. Yusran. Dirasah Islamiyah, pengantar study pemikiran
Dan gerakan pembaharuan Dalam Dunia Islam. Cet. II ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada , 1979.
C.M Naim, Peny, iqbal, Jinnah and Pakistan : the Vision And The Reality ,
( New York : Syracuse, 1978 )
Al-Jaziri, Abd al-Rahman. (2003). Kitab alFiqh Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Al-Najjar, Abdul Majid. (2008).
Maqashid Syari’ah bi Ab’ad Jadidah. Tt:Dar alGharb al-Islami. Al-Shabuny, Muhammad Ali. (1999).
Tafsir al-Ahkam min al-Qur’a., Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Ali, Mukti, dkk. (2015).
Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-Anak. Rumah Kitab.
Esposito, John L., (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Ttp.: Oxford University Press, 1995.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
Mehdi, Rubya, The Islamization of the Law in Pakistan, UK: Nordic Institute of Asian Studies, Curzon Press, 1994.
Internet
www.ashraflawfirm.com/family.html.
http://pakistanilaws.wordpress.com, Pakistani Law Firm, “Child Mariage Issues: Laws and Practice in Pakistan,” (April 23, 2013). http://pakistanilaws.wordpress.com, Pakistani Law Firm (April 23, 2012). https://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/18/04/27/p7szou382maroko-berjuang-kurangipernikahan-anak https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/12/14 https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
[1] Barmawi Arief, Respon Masyarakat Terhadap Hukum Keluarga Islam, jurnal 2017
[2] (Esposito, 1989: 367-374).
[3] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (UK: Nordic Institute of Asian Studies, Curzon Press, 1994), h. 157-158.
[4] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h. 243.
[5] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h. 243-244.
[6] Alquran surat al-Baqarah [2] ayat 282 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengadakan suatu kesepakatan hutang piutang untuk dibayarkan pada waktu yang ditentukan, hendaklah kalian tuliskan. Hendaklah ada di antara kalian yang menuliskannya dengan adil, dan janganlah penulis itu enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya.”
[7] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 158-159.
[8] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 140
[9] Diakses tanggal 25 /5/2021 jam 17.30 WIB dari Http:// Uzmashaheen.hubpages.com. 15 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries:
[10] www. penetapan%20hkum%20perkawinan%20di%20dunia%20islam.pdf diakses tanggal 26/5/2021
[11] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 177-179. 20 Shagufta Omar, “Dissolution of Marriage: Practices
[12] Shagufta Omar, “Dissolution of Marriage: Practices
[13] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 200-201.
[14] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h. 245-246.
[15] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h. 245-246.
[16] http://secularpakistan.word. Diakses tanggal 11/5/2021 jam 10.30 WIB.
[17] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 185-186.
[18] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), II: 73.
[19] Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Endinburg: Endinburg Univesity Press,1991),
Komentar