oleh

Dinamika Perlindungan Hukum Profesi Guru

-OPINI-23 views

Oleh: Teddy Fiktorius, M.Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

 

“Tidak gampang untuk bisa mengatakan apa yang membuat suatu bangsa kokoh dan maju. Namun, mudah sekali untuk mengatakan kapan bangsa ini mulai goyah eksistensinya, yaitu bila generasi yang sedang berkuasa melalaikan pendidikan generasi penerusnya, melalui pelecehan terhadap kinerja pengabdi nomor satu di bidang pendidikan, yaitu guru.”

(Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1978-1983)

 

Tidaklah berlebihan jika Dr. Daoed Joesoef menekankan pentingnya keberadaan profesi guru di suatu bangsa yang kokoh dan maju. Mengapa demikian? Peran guru dipandang sangat vital dalam eksistensi sebuah bangsa. Peran guru tidak hanya berkutat pada bidang pembelajaran akademik, guru juga berperan dalam hubungannya dengan kualitas interaksi sosial suatu peradaban. Guru merupakan sosok sentral dalam upaya pembentukan karakter peserta didik sehingga berpengaruh juga terhadap aktivitas peserta didik di lingkungan kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pada dasarnya, perlindungan hukum profesi guru merupakan kebutuhan bagi guru demi kelancaran dan kenyamanan dalam pengembangan profesi pendidik. Oleh karenanya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dipandang sebagai pijakan bagi pengembangan profesi pendidik di Indonesia. Pasal 40 pada UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa pendidik berhak memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugas profesinya. Selanjutnya, kekuatan penyelenggaraan pendidikan juga semakin bertambah dengan diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kemudian, yang terkini adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Secara empiris, beberapa dasar hukum di atas menjadi tempat berlindung guru dalam melaksanakan profesinya. Walaupun demikian, masyarakat merasa tergelitik dengan kondisi nyata di lapangan. Masyarakat menjadi saksi hidup atas banyaknya kasus yang menyeret guru ke meja hijau karena tindakannya dalam mendisiplinkan peserta didik. Fenomena ini terjadi karena keberadaan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjadi payung hukum utama dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak.

Selain sinkronisasi antara UU perlindungan guru dan perlindungan anak yang tumpang tindih, dinamika perlindungan guru juga mengalami eskalasi distorsi nilai ketika semua bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, memasuki abad 21, abad di mana digitalisasi memegang kendali. Solove (2004) menekankan pentingnya seluruh umat manusia untuk memahami semua implikasi atas perubahan yang signifikan tersebut. Pernyataan tersebut membawa pemahaman pada kesadaran untuk penyiapan sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dalam bidang pendidikan, pesatnya perkembangan tersebut membawa dampak terhadap pengakuan atas eksistensi guru. Guru dianggap bukan merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan lagi. Para peserta didik dapat menguasai pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru dengan mengandalkan internet maupun media digital lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika wibawa guru di mata peserta didik merosot. Akibat lanjut dari kemerosotan wibawa guru adalah berupa pelecehan profesi guru, kenakalan, dan tindakan menyimpang di kalangan peserta didik yang semakin meningkat.

 

Masalah terkait perlindungan guru versus perlindungan anak

Pemberitaan mengenai kriminalisasi guru semakin marak terdengar. Upaya mendisiplinkan peserta didik di lingkup satuan pendidikan acap kali dibenturkan dengan upaya perlindungan anak. Pasal yang biasanya dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru adalah pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”

Tindakan pemberian hukuman disiplin yang dilakukan oleh guru, yang pada waktu dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) dan UU Perlindungan Anak. Sebagai akibatnya, guru diposisikan dalam keadaan yang dilematis. Di satu sisi, guru dituntut untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pendidik dengan menegakkan disiplin dalam kaitannya dengan upaya pembentukan karakter anak. Di sisi lain, guru memiliki kekhawatiran atas kecenderungan dalam upaya kriminalisasi oleh orang tua peserta didik ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.

Sebagai contoh, masyarakat tentu masih ingat jelas kriminalisasi yang dialami oleh seorang guru di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 2017. Sebagaimana diberitakan oleh detiknews.com, guru tersebut dipolisikan oleh orang tua peserta didik karena mencubit lengan anaknya yang ketahuan bermain ponsel di saat kegiatan belajar mengajar. Contoh kasus ini merupakan satu di antara banyaknya kasus kriminalisasi guru lainnya yang menjadi catatan buruk dalam sejarah perlindungan hukum profesi guru di Indonesia.

Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru memiliki tendensi untuk memilih bersikap kurang peduli atau bahkan tidak peduli terhadap penegakan disiplin. Sikap apatis guru tersebut berimbas pada ketidaktegasan dalam upaya pembentukan karakter peserta didik yang pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kewibawaan guru di mata peserta didik dan orang tua peserta didik. Sebagai konsekuensinya, peserta didik pelanggar disiplin sekolah akan merasa di atas angin sehingga besar kemungkinan akan terjadi pelanggaran-pelanggaran lanjutan. Di sisi guru, jiwa pendidik akan luntur tersapu oleh rasa kekhawatiran terhadap kriminalisasi. Guru memilih untuk memosisikan diri sebagai pengajar saja, bukan pendidik.

Jika yang terjadi adalah demikian, maka pernyataan dari Dr. Daoed Joesoef sebagai pembuka artikel ini akan terbukti, bahwa eksistensi bangsa akan mulai goyah jika pelecehan terhadap kinerja guru dibiarkan terjadi!

 

Solusi atas masalah terkait perlindungan guru versus perlindungan anak

Secara preventif, urgensi upaya sinkronisasi dan integrasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan semakin mendesak. Upaya tersebut bertujuan agar dari segi normatif dan pelaksanaan UU tidak terjadi benturan. Dengan demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, UU Nomor 14 Tahun 2005, Permendikbud Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017, dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 dapat melangkah beriringan di satu jalan, bukannya di jalan masing-masing. Lebih lanjut, diperlukan juga ketegasan sikap dari para pemangku kepentingan untuk mencapai konsensus atas pengkategorian mana tindakan pendisiplinan yang mendidik dan mana yang kategori tindakan kekerasan dan melanggar HAM.

Secara kuratif, mediasi untuk mencapai win-win solution mutlak dilakukan dan semua pihak yang terlibat dalam kasus wajib menahan diri. Mahsunah dkk. (2012) mendefinisikan mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa guru berdasarkan perundingan yang melibatkan guru, asosiasi atau organisasi profesi guru, dan pihak lain sebagai mediator dan diterima oleh para pihak yang bersengketa untuk membantu mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Ketika terjadi kasus yang melibatkan sengketa antara guru dan peserta didik, pihak berwajib yang menerima laporan dari orang tua peserta didik hendaknya berinisiatif untuk mengadakan mediasi dengan mengundang pihak-pihak yang terkait.

 

Peran guru sebagai pendidik nyaris tidak bisa digantikan oleh profesi yang lain. Meskipun di dalam era digital abad 21, di mana peran teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru sebagai pengajar semakin merajarela, sejarah pendidikan di Indonesia telah dan akan terus mencatatkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang diakui peran strategisnya bagi pembangunan masa depan bangsa.

Oleh karenanya, sudah saatnya membangun profesionalisme guru tidak hanya memaksakan guru untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik, melainkan juga memberikan kenyamanan lahir dan batin dalam menjalankan profesinya, yakni berupa pemberian perlindungan hukum profesi guru dari pemerintah, masyarakat, maupun organisasi profesinya itu sendiri. Jika bukan saat ini, lalu kapan lagi?

 

 

Komentar