Bandung,LINTAS PENA
Masyarakat Baduy sangat memegang teguh adat tradisi, kepercayaan, dan patuh terhadap pimpinannya. Keteguhannya dalam mempertahankan tradisi leluhur dianggap jauh dari modernisme, bahkan kerap dianggap tidak mengenal huruf dan angka.
Anggapan bahwa masyarakat Baduy terbelakang disanggah oleh Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS. “Seungguhnya, masyarakat Baduy sangat mengenal bilangan dan aksara yang dapat dihapal berikut nilainya masing-masing.Hal ini terungkap dalam alat berupa kolénjér dan sastra yang dijadikan acuan penanggalannya. “Namun, hanya orang tertentu yang menguasainya, di antaranya Puun, Jaro, dan para sesepuh adat,” kata Elis.
Elis Suryani menjelaskan, bahwa kolénjér merupakan alat perhitungan yang terbuat dari kayu. Alat tersebut diberi lubang yang tidak tembus, berupa titik dan garis yang membentuk kotak tertentu.Jumlah titik-titik dan garis-garis dalam satu kotak mempunyai arti dan tafsiran tersendiri. Demikian pula dengan semua tanda yang digoreskannya tertera ukuran hari yang memiliki nilainya masing-masing, begitu juga dengan pasarannya.
“ Penggunaan penghitungan kolénjér adalah hari Ahad, bernilai 5, sebutannya (Hadma); Sénén = opat ‘empat’ (Nenpat); Salasa = tilu ‘tiga’ (Salu); Rebo ‘Rabu’ = tujuh (Bojuh); Kemis ‘Kamis’ = dalapan ‘delapan’ (Mispan); Jumaah ‘Jumat’ = genep ‘enam’ (Manep); dan Saptu ‘Sabtu’ = salapan ‘sembilan’ (Tupan).
Pasaran dalam perhitungan kolénjér memiliki nilai. Pahing bernilai dalapan ’delapan’ dengan nama sebutannya Papan; Pon = opat ‘empat’ (Ponpat); Wagé = tujuh (Wajuh); Kaliwon ‘Kliwon’ = salapan ‘sembilan’ (Wonpan); dan Manis = lima (Nisma).”paparnya
Makna Kolénjér
Elis Suryani menjelaskan, paduan hitungan nilai hari dan pasarannya dapat diketahui bahwa pekerjaan, maksud, atau keinginan baik tidaknya suatu hajat dilaksanakan. Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Baduy, setiap orang memiliki hari naas atau sialnya masing-masing.
Untuk mengetahui “hari sialnya” dapat dilakukan dengan perhitungan nama orang yang bersangkutan.“Dengan demikian, setiap orang yang bermaksud melaksanakan pekerjaan penting dan besar, seperti pernikahan, berpergian, mendirikan rumah, dan sebagainya selalu harus dicari hari baiknya agar niatnya itu dapat berjalan dengan baik,” tutur Elis.
Sastra
Sementara sastra adalah alat perhitungan yang terbuat dari sebilah bambu yang digunakan untuk menentukan sikap dan tindakan berdasarkan sifat yang terdapat dalam diri manusia.
Pada bagian punggung sastra, yakni pada hinis ‘sembilu’ diberi garis-garis dengan goresan memanjang, terbagi atas 20 bagian dan setiap bagian itu memiliki garis dengan jumlah yang tidak sama, berkisar antara 1 sampai 9 buah garis.
“Pembagian tersebut mengacu kepada aksara Cacarakan (Hanacaraka) yang digunakan dalam perhitungan berdasarkan urutan aksara tersebut, yakni aksara /ha/ sampai /nga/,” terang Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran ini
Urutan pertama dimulai dari ujung pegangan sastra yang dinyatakan dengan garis-garis, dan setiap ruang dibatasi oleh bulatan kecil. Urutan aksara dan jumlah garis menunjukkan nilai dari aksara Cacarakan dimaksud. Misalnya ha nilainya 4; na = 3; ca = 3, ra = 2; ka = 2; da = 3; ta = 3; sa = 2; wa = 4; la = 5; pa = 2; dha = 5; ja = 3; ya = 8; nya = 9; ma = 1; ga = 7; ba = 5; tha = 6; dan nga = 6.
Elis menjelaskan, atas dasar nilai dari setiap aksara dimaksud, siapapun orangnya dapat dihitung dan dicocokkan naktunya berdasarkan maksud dan keinginannya. Selain itu, dapat juga dihitung hari baik untuk melaksanakan pekerjaannya.Demikian halnya dengan hari naas ‘sialnya’, sehingga orang dapat menghindari tindakan tertentu lewat baik buruknya suatu tindakan yang akan dilakukannya.
Peran Sastra
Elis Suryani menambahkan, sastra dapat digunakan untuk beragam keperluan, di antaranya menentukan hari baik untuk melaksanakan perkawinan atau hajatan lainnya dengan cara mencari hari naas “sialnya”. Hal ini dilakukan agar hajatan yang akan berlangsung berjalan dengan selamat dan lancar.
Selain itu, sastra pun digunakan untuk menentukan kegiatan berhuma atau berladang, utamanya untuk mengetahui kapan kegiatan itu bisa dimulai. Hal ini bertujuan agar bisa menghindari salah tindak dan mengurangi resiko yang mungkin akan timbul akibat salah tindak tersebut, sehingga kapan kegiatan itu dimulai perlu diperhitungkan terlebih dahulu dengan cermat.
“Dasar perhitungannya ialah dengan cara menjumlahkan nilai nama dari suami istri yang bertanggung jawab atas kegiatan itu. Untuk huma sérang ‘ladang suci’, maka nama suami istri Girang Serat ‘dalam hal ini pelaksana upacara’ dihitung dan dijumlahkan. Kemudian jumlah aksara ditambah satu, dikurangi oleh jumlah kedua nama suami istri tersebut, sehingga diperoleh angka yang menunjukkan hari naasna ‘sialnya’,” papar Elis.
Minim Terpapar
Elis menjelaskan, kehidupan masyarakat Baduy yang memiliki ciri tersendiri memang tidak bisa lepas dari kehidupan religi, adat, dan tradisi. Religi dimanifestasikan dalam adat istiadat serta tradisi, sehingga tampak kehidupan yang bersifat religi magis.
Ketaatan masyarakat terhadap Jaro dan Puun, rutin mengonsumsi “sembilan” jenis tanaman obat tradisional, serta upaya pencegahan dan pengobatan yang tidak lepas dari perhitungan diyakini memiliki kaitan mengapa masyarakat Baduy, khususnya Baduy Dalam, minim sekali terpapar Covid-19.(REDI MULYADI/rilis)*
Komentar