oleh

Drama PDI Perjuangan: Hipokrisi yang Merusak Demokrasi

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA., pemerhati ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta

KABARNYA Connie Rahakundini telah “mengamankan” beberapa dokumen “penting” yang dimiliki Hasto ke notaris di Rusia. Dokumen-dokumen ini katanya bisa jadi semacam bom waktu yang bisa menggemparkan jagad perpolitikan di Indonesia kalau dibuka ke publik. Ya, kalau dibuka ke publik.

Kenapa mesti “diamankan”? Katanya karena belajar dari peristiwa Kusnadi (staf Hasto) yang buku catatannya Hasto disita oleh KPK saat ia diperiksa disana. Dan diamankannya jauh amat sampai ke Rusia? Hanya Connie yang tahu. Jadi perlu “diamankan” supaya tidak sampai disita KPK.

Dan proyek “pengamanaan dokumen Hasto” ini pun didramatisir juga oleh Guntur Romli (jubir PDIP), katanya isinya tentang berbagai skandal besar di negeri ini. Wuih ngeri! Apakah termasuk skandal korupsi proyek BTS yang melibatkan perusahan milik suami Puan? Khan dirutnya sudah divonis pengadilan dan masuk bui. Kita lihat saja nanti.

Hasto memang punya track-record memiliki rekaman-rekaman “rahasia” yang bisa menggemparkan. Misalnya, belum lama ini ia membongkar rekaman suara Jokowi yang katanya akan menggunakan hukum, akan melakukan pembisikan kepada Ketua KPK, kepada Jaksa Agung dan Kapolri. “Itu harus diklarifikasi oleh Bapak Presiden karena ini berbahaya dalam demokrasi dan penegakan hukum itu”, kata Hasto dihadapan para wartawan pada 17 Agustus 2024 yang baru lalu.

Tapi ternyata pernyataan Presiden Joko Widodo yang dikutip Hasto itu adalah potongan dari pidatonya yang disampaikan secara terbuka di forum Rakornas Forkopimda di Sentul Bogor, 13 November 2019. Hanya di hadapan para wartawan waktu itu Hasto tidak memperlihatkan videonya, tapi cuma memperdengarkan audionya.

Mengenai kelakuannya yang amat memalukan dirinya dan partainya itu Hasto tidak pernah minta maaf kepada para wartawan maupun publik yang pernah ia perdayai. Tak ada rasa malu sedikitpun. PDIP pun bungkam seribu bahasa.

Sekarang jubir PDIP Guntur Romli yang angkat bicara soal dikriminalisasinya Hasto oleh KPK. Dan mengglorifikasi ulah Hasto maupun Connie yang katanya telah “mengamankan” dokumen-dokumen penting ke Rusia. Aneh, kok pakai didramatisir ke Rusia segala. Sudahlah, itu semua cuma upaya mendramatisir persoalan.

Kita kembali ke soal utama. Lempar batu sembunyi tangan, menuduh pihak lain sebagai perusak demokrasi dan konstitusi padahal dirinya sendirilah pelaku utamanya. Konspirasi busuk yang terindikasi dalam keterangan pers Ketua KPK Setyo Budiyanto perihal ditersangkakannya Hasto Kristiyanto.

Ini contoh sempurna di panggung hipokrisi tanpa basa-basi. Kelakuan seperti inilah yang telah merusak makna politik yang sejatinya suci. Politik itu suci, seperti diungkap politisi PDIP Sabam Sirait (Almarhum). Ya suci, karena politik sejatinya adalah segala urusan dalam kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan (bonum commune). Memanusiakan manusia dalam kehidupan sosial.

Hanya saja para politisi yang perilakunya kerap menyimpang. Misalnya, dari keterangan pers Ketua KPK kemarin, kita jadi bertanya kenapa HP Harun Masiku mesti direndam air?

Dari penelusuran pemberitaan di tahun 2020 (sekitar lima tahun yang lalu) bisa didapat cerita seperti ini. Dua orang misterius menyuruh Harun Masiku merendam HP-nya di air (dari pengakuan satpam kantor DPP PDI Perjuangan Nurhasan saat bersaksi dalam persidangan kasus Komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui konferensi video di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 11 Juni 2020).

Ini jadi seperti cerita misteri di novel fiksi karangan Dan Brown, ‘The Da Vinci Code’, dimana banyak kode rahasia yang mesti dipecahkan oleh Prof. Robert Langdon. Makin lama malah makin ribet lantaran kode yang satu dengan lainnya bisa saling menjebak untuk menyesatkan. Ditambah lagi konspirasinya semakin mengooptasi kesana-kemari, bau anyir uang haram yang berkeliaran semakin menyengat.

Dalam kesaksiannya satpam kantor DPP PDIP Nurhasan mengaku didatangi oleh dua pria tegap tak dikenal pada 8 Januari 2020. Sesaat setelah ia pulang dari persiapan Kongres PDIP di Kemayoran. Waktu itu ia baru saja mengambil wudu, lalu mengisi betere HPnya di pos keamanan. Kedua pria tegap itu katanya mencari Harun Masiku.

Paralel waktunya, KPK baru saja menangkap Wahyu Setiawan di Bandara Soekarno-Hatta dan saat itu juga sedang memburu Harun Masiku.

Singkat cerita, kedua pria tegap itu memasukkan nomor Harun Masiku ke HP Xiaomi milik Nurhasan, lalu mendikte satpam Nurhasan untuk bicara dengan Harun Masiku via HP itu. Salah satu diktenya adalah soal perintah merendam HPnya di air. Kemudian melalui pembicaraan via HP itu Nurhasan dan Harun Masiku janjian untuk ketemuan di Jalan Cut Mutia, Jakarta Pusat (tidak jauh dari kantor PDIP di kawasan Menteng juga).

Satpam Nurhasan naik sepeda motor diikuti oleh dua pria tegap tadi, juga dengan sepeda motor. Sesampainya di TKP (Jl Cut Mutia) tak jauh dari Hotel Sofyan, satpam Nurhasan pun menghampiri Harun Masiku yang ada di sebuah mobil. Kemudian Harun Masiku memberi sebuah tas laptop yang kemudian oleh Nurhasan diserahkan kepada dua pria tegap misterius itu.

Tambah misterius kasusnya. Ternyata kedua pria tegap misterius itu tahu nomor HP Harun Masiku. Mereka pun sudah ikut bertemu dengan Harun Masiku di kawasan Cut Mutia, Menteng (dekat Hotel Sofyan). Lokasinya pun tak terlalu jauh dari kantor pusat PDIP. Tapi malah menyuruh satpam Nurhasan yang menghampiri dan menerima tas laptop. Apa ya maksudnya? Dan apa pula isinya?

Yang jelas sekarang ada tas laptop pula (walau entah isinya apa?). Dan tas itu sudah ada di tangan dua pria misterius. Setelah “upacara” serah terima tas laptop (yang entah isinya apa) itu akhirnya semua bubar jalan. Masing-masing entah kemana, kecuali satpam Nurhasan yang katanya kembali ke kantor DPP PDIP.

Memang ini cerita misteri politik dari suatu permainan politik yang misterius. Sekarang sejak Konpers Ketua KPK Setyo Budiyanto kemarin itu mulai disidik kembali.

Misteri pertama mulai dari kenapa Harun Masiku mesti didorong-dorong untuk jadi anggota DPR-RI dengan menyabot jatah orang lain yang berhak? Itu tidak pernah terjawab, selain kata-kata “itu urusan internal partai”.

Mana ada urusan politik perwakilan rakyat jadi “urusan internal partai”? itu misteri kedua. Misteri yang agak aneh (atau norak) karena surat menyurat resmi partai kepada KPU itu ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen partai. Jadi ini jelas urusan resmi partai yang juga jadi urusan publik, terutama puluhan bahkan ratusan ribu konstituen.

Mestinya khan mereka bisa dong menerangkan duduk persoalan kenapa mesti Harun Masiku yang didorong-dorong untuk duduk di kursi parlemen? Namun sayangnya bukannya menerangkan duduk perkaranya malah kedudukan perkaranya jadi makin digelapkan.

Soal wakil rakyat terpilih (sesuai UU dan aturan KPU) jelas bukan ‘urusan internal partai’. Ini menyangkut suara rakyat pemilih yang mesti dihormati. Tapi sayangnya perkara yang mendasar seperti ini saja tidak pernah dijawab dengan gamblang (jelas dan terbuka). Kenapa?

Ya, kita ngotot kembali ke soal misterius pertama, kenapa mesti Harun Masiku? Siapa sih dia? Apa pentingnya seorang Harun Masiku mesti didudukan di parlemen? Apa lagi dengan menyabot hak rekan separtainya sendiri yang sudah dilantik? Mengapa? Apakah ini juga termasuk mafia-politik? Entahlah, masih gelap. Semoga saja kasus ini bisa terkuak tuntas. Tidak seperti HP Harun Masiku yang direndam air.

Banyak pengamat sudah tahu sejak lama bahwa di dalam tubuh partai ada persaingan antara kedua saudara tiri, Puan Maharani versus Prananda Prabowo. Masing-masing pihak tentu punya para loyalisnya.

Kabarnya, kelompok Prananda dengan Hasto bersama para sekondannya adalah yang agresif “menyerang” Jokowi. Di sisi lainnya kelompok Puan bersama Bambang Pacul dan kawan-kawan adalah yang lebih “lunak” alias mendiamkan sambil sesekali membela dengan pernyataan “jangan melawan orang baik”.

Setelah diumumkan secara resmi bahwa Jokowi dipecat dari PDIP dan fakta adanya persaingan di tubuh parpol banteng yang mewarnai era suksesi kepemimpinan, maka semakin tersingkap pula alasan mengapa Jokowi tidak mengembalikan KTA-nya selama ini. Walaupun ini juga merupakan dugaan kuat, karena Jokowi tidak pernah mengatakannya dengan jelas,

Dugaan kuatnya adalah bahwa selama ini Jokowi menahan diri untuk tidak menyerahkan KTA-nya demi memberi kesempatan kepada PDIP agar bisa meminta kepadanya untuk jadi “solusi” (walau sementara waktu) agar bisa jadi Ketum agar kemelut “persaingan antar dua saudara tiri” sebagai pewaris aset politik besar berupa parpol banteng bisa dimungkinkan untuk diredam dan sebisa mungkin dihilangkan.

Betapa besar dan luas hati kenegarawanan Jokowi kalau cerita ini benar. Ia sama sekali tidak mementingkan dirinya, tapi semata memandang realitas bahwa partai ini biar bagaimana pun adalah asset bangsa yang eksistensinya nyata (riil) dalam kancah politik nasional. Paling tidak dalam lima tahun kedepan. Bahkan kemungkinan besar satu atau dua dekade kedepan. Sehingga harus diselamatkan.

Tapi faksi keras kepala tidak tinggal diam. Ungkapan Jokowi mau menghancurkan PDIP ini terdengar keluar dari mulut Deddy Sitorus, salah seorang petinggi partai banteng. Dalam wawancaranya dengan KompasTV ketika ditanyakan tentang hubungan (komunikasi) Jokowi dengan PDIP atau terutama dengan Bu Mega sejauh ini, dijawabnya: “Hubungan bagaimana, orang cita-cita dia menghancurkan PDIP kok masih ada hubungan dari mana?” (Wawancara KompasTV dengan Deddy Sitorus, Maret 2024).

Deddy Sitorus dan Hasto Kristiyanto adalah dua petinggi dari parpol besar, tapi sayang tidak punya ketinggian cara pandang dan kebesaran hati untuk menjernihkan persoalan kepada masyarakat. Siapa pun yang cermat mengikuti langkah politik Jokowi bisa dengan jujur melihat upayanya membangun koalisi besar adalah modal untuk membawa Indonesia lepas dari jebakan “middle-income trap”.

Persatuan Indonesia, adalah “conditio sine qua non” untuk memanfaatkan bonus demografi menjelang era keemasan di tahun 2045. Prabowo-Gibran bakal terus menggaungkan tema persatuan ini.

Jakarta, Senin 30 Desember 2024