Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Dosen Departemén Sejarah dan Filologi FIB Universitas Padjadjaran)
KEARIFAN lokal budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era milenial saat ini, unsur budaya tersebut, apabila tidak dipelihara dan dirawat oleh generasi penerusnya, niscaya akan musnah ditelan zaman. Padahal kearifan lokal sebagai warisan nenek moyang masa lampau, memiliki nilai luhur yang sangat berharga, karena mengandung ide, gagasan, pandangan hidup, dan unsur penting lainnya yang masih eksis dan dimanfaatkan di masa kini.
Mantra adalah salah satu kearifan lokal budaya Sunda yang di era milenial saat ini masih eksis dan dimanfaatkan meskipun dalam bentuk yang berbeda, disesuaikan dengan perkembangan zamannya. Eksistensi mantra di masa kampanye terkadang sering dihubung-dihubungkan dengan istilah Dukun Politik. Masih terdengarkan istilah dimaksud di era milenial sekarang? Jawabannya bisa ya bisa juga tidak.
Seiring semakin merebaknya pencalonan pemilihan anggota legeslatif, partai, maupun pemilihan presiden, pemanfaatan mantra semakin eksis. Meskipun tentu saja ada yang pro ada juga yang kontra. Masalah mantra di masa kampanye ini cukup menarik untuk ditelisik yang tidak bisa kita napikan keberadaannya. Kita bisa menyaksikan berbagai jargon, poster, baliho, maupun spanduk yang terpampang di sepanjang jalan protokol. Semua media dimaksud sebenarnya secara visual maupun verbal esensinya menyiratkan adanya unsur ‘pemikat’ dan ‘pembujuk’, agar dilihat, dikenal, lalu dipilih, tetapi dikemas secara menarik melalui Alat Peraga Kampanye. Sadar atau tidak, komunikasi visual & verbal itu berkaitan dengan Mantra.
Apa itu Mantra? Hasil penelitian (Sumarlina, 2012 & 2023), ada kurang lebih 76 buah manuskrip yang secara khusus berupa Mantra dan kumpulan doa atau uraian yang pada hakikatnya lebih bersipat Mantra. Apa keterjalinannya dengan kampanye di era milenial ini? Andai kita simak pengertian mantra, 1. perkataan, ucapan, media, dan sejenisnya, baik verbal maupun nonverbal, yang mendatangkan daya gaib (misal menyembuhkan, mendatangkan celaka, memikat, membujuk); 2) susunan kata berunsur puisi (rima, irama, diksi, citraan, dan majas) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (bandingkan Poerwadarminta, 1988).
Mantra atau magic bisa dimaknai semua tindakan manusia (atau abstensi dari tindakan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. (Frazer, dalam Sumarlina, 2012). Mantra meliputi tradisi lisan dan tradisi tulis, seperti terkuak lewat beragam manuskrip. Mantra terdiri atas tujuh macam: ajian, asihan, jampé, jangjawokan, pélét, rajah, dan singlar, yang dibedakan atas white magic dan black magic, sesuai dengan kegunaannya, yang juga disesuaikan dengan konteksnya, yang meliputi: isi, tujuan, nu dipuhit ‘yang diseru’, serta pameuli ‘syarat yang harus dilaksanakan’ yang berkaitan dengan ritual. Semua unsur ini tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Keberadaan mantra sudah dikenal sejak abad ke-16 M., dalam manuskrip beraksara dan berbahasa Sunda buhun ‘kuno’, berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian (kropak 421), Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, kropak 409, kropak 413, dan kropak 414 juga manuskrip zaman peralihan/klasik, dan zaman modern yang berbeda aksara dan bahasanya. Adanya gejala seputar kepercayaan terhadap ‘mantra’, yakni masyarakat pengamal dan bukan pengamal mantra, baik secara aktif maupun pasif menerima atau menolak mantra. Pengamal maupun bukan pengamal mantra sama-sama penganut Islam (kecuali Masyarakat Kanekes Baduy, sebagai penganut Sunda Wiwitan). Mantra di Baduy dipercaya secara turun temurun oleh masyarakatnya hingga kini. Bagi para pengamal mantra, membaca mantra sama dengan membaca ‘doa’, tapi belum tentu bagi yang bukan pengamal mantra.
Secara pragmatis diakui bahwa mantra masih eksis dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (mantra pengobatan), dan mantra yang digunakan oleh Masyarakat Baduy. Pembacaan Mantra bagi masyarakat Baduy menyatu dalam adat istiadat, tradisi, dan kepercayaan mereka, karena mempelajari jajampéan ‘mantra’ untuk menyembuhkan penyakit atau untuk keperluan berdagang dan bercocok tanam bagi mereka adalah ‘sunnah’ hukumnya (Sumarlina, 2012 & 2023).
Esensi dukun politik di masa kampanye, karena adanya keyakinan & kepercayaan terhadap para ‘dukun’ yang dimintai pertolongan oleh ‘seseorang’, karena dukun politik tersebut dianggap memiliki kekuatan gaib yang dihasilkan di luar kemampuan manusia, yang dilatarbelakangi ketidakmampuan dan ketidakberdayaan manusia untuk menggapai tujuan yang diinginkannya, yang tidak terlepas dari kekuatan Sang Pencipta. Selain itu, kekurangpercayaan diri serta tidak berdaya mengontrol diri dan akal sehatnya. Mereka menganggap bahwa ‘orang pintar’, mampu membantunya lewat ‘kekuatan gaib’. Dengan harapan dapat meraup suara terbanyak secara instan. Jika nalar kita berjalan, tidak mungkin ‘seseorang’ mampu mengumpulkan suara dengan mudah tanpa berkiprah dan bersosialisasi dengan konstituennya. Saat ini, kita harus bersikap lebih bijak. Antar pendukung paslon harus mampu menjaga kerukunan, kesatuan & persatuan bangsa, agar masyarakt Indonesia tetap selaras, harmonis serta damai selamanya. Semoga!