Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom
LAYAR TANCAP pertama kali dikenal di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Hiburan yang disajikan dalam tayangan film juga dijadikan sebagai alat propaganda para penjajah untuk dapat menduduki Indonesia, serta sebagai media penyuluhan terhadap penyakit yang sedang merajalela di nusantara saat itu. Pada tahun 1901 hingga 1942, orang Jepang menggunakan layar tancap untuk menyampaikan ideologi mereka (Hasan, 2021). Bioskop di Indonesia mulai dibangun pada tahun 1960an, yang beroperasi berdasarkan bisnis komersial. Sementara itu, tidak sedikit masyarakat saat itu yang ingin menonton film namun terkendala biaya yang mahal. Hingga mulai bermunculan penyedia layar tancap yang menawarkan layanan pemutaran film, dengan tarif lebih murah. Masyarakat yang minim hiburan menjadikannya sebagai alternatif menikmati film.
Setelah Indonesia merdeka, layar tancap tetap menjadi primadona. Layar tancap merupakan salah satu media distribusi film Indonesia. Beragam film aksi, komedi hingga horor dihadirkan melalui layar tancap dari kota hingga pelosok desa. Layar tancap juga sering dijadikan media sosialisasi program pemerintah, seperti Keluarga Berencana (KB). Bahkan ketenaran layar tancap juga mengudara hingga mancanegara. Di Amerika Serikat, layar tancap bahkan diterapkan di bioskop dalam bentuk drive in theater, di mana penonton dapat menyaksikan layar tancap dari dalam mobilnya (Bhayangkara, 2018).
Pemutaran film di ruang terbuka bukanlah hal asing dalam budaya perfilman di Indonesia. Sebaliknya, film telah menjadi bagian penting dari budaya sinema, yang ditanamkan di Indonesia, baik secara organik maupun politis. Secara organik, layar tancap telah menjadi bagian penting dalam acara sosial dan budaya, terutama di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Pada masa Orde Baru terdapat operator layar tancap dengan proyektor film, tiang kapal, dan layar yang dibawa dengan truk terbuka. Tiang-tiangnya tertancap di tanah dan layar terbentang di antara tiang-tiang itu. Istilah bahasa Indonesia untuk bioskop terbuka ini, layar tancap, secara harfiah berarti “layar yang menempel di tanah”, berasal dari tiang-tiang yang tertancap dan layar yang membentang.
Pada masa Orde Baru dan hingga saat ini, layar tancap telah menjadi daya tarik bioskop utama di pedesaan dan pinggiran kota untuk acara-acara sosial dan upacara-upacara sebagai bagian dari hiburan rakyat. Film yang diputar biasanya dalam format seluloid 16 mm (atau terkadang 35 mm), dengan pemilihan film dilakukan oleh peserta pameran, terkadang berdasarkan permintaan dari pemilik acara. Pada masa Orde Baru, layar tancap ini menjadi medium penting bagi pemerintah Orde Baru untuk mempublikasikan materi audiovisual yang mereka anggap penting untuk dikomunikasikan di pedesaan.
Di awal milenium baru, layar tancap kembali hadir dalam suasana perkotaan, sebagai nostalgia, di Jakarta International Film Festival (JIFFest) pada tahun 2013. Pemutaran di udara terbuka sudah ada pada edisi JIFFest 2008 sebagai bagian tambahan, namun pada tahun 2013, format tersebut menjadi format utama JIFFest, berhasil menarik sekitar 4.000 penonton. Format ini berlanjut pada tahun 2014, dan sejak itu, bioskop terbuka menjadi salah satu acara bioskop yang lebih sering diadakan di perkotaan (terutama Jakarta dan pinggiran kota), sebagai alternatif mode pemutaran film di bioskop. Berbagai organisasi mulai menggunakan format bioskop terbuka untuk memutar filmnya, seperti Kineforum, klub bioskop independen yang dikelola Dewan Kesenian Jakarta.
Kembalinya bioskop terbuka belakangan ini berbeda dengan layar tancap gaya lama karena beberapa alasan (Sasono, 2019). Pertama, acara bioskop terbuka yang baru-baru ini diprogram dengan cermat yang bertujuan untuk memenuhi selera penonton kelas menengah, sedangkan layar tancap model lama ditargetkan untuk penonton kelas bawah. Acara bioskop terbuka baru-baru ini diselenggarakan oleh organisasi komunitas film seperti JIFFest, Kineforum dan BEKRAF (Badan Kreatif Indonesia) yang mempekerjakan seorang programmer profesional yang berpengalaman dalam pemrograman untuk festival film, klub film atau acara terkait film lainnya. Gaya layar tancap lama sebagian besar mengandalkan ketersediaan film, dibandingkan peserta pameran yang secara proaktif memperolehnya, dan sebagian besar menjadi tempat terbentuknya selera alternatif terhadap film-B dibandingkan dengan film-film kontemporer Indonesia berkualitas.
Selanjutnya, Sasono (2019) mengungkapkan bahwa bioskop terbuka baru-baru ini dipentaskan dengan hati-hati sebagai event dengan menggunakan strategi hubungan masyarakat yang baik dan seringkali diluncurkan di pusat perbelanjaan atau tempat lain untuk menarik pengunjung kelas menengah, sedangkan layar tancap gaya lama adalah acara yang lebih organik yang sebagian besar diadakan untuk masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan biasanya berlangsung di kampung atau desa pinggiran kota sebagai bagian dari upacara seperti pernikahan atau khitanan. Layar tancap gaya lama juga menghasilkan prestise sosial bagi orang-orang yang mengadakan upacara tersebut, sedangkan bioskop terbuka saat ini adalah acara bioskop yang lebih bernostalgia dalam format udara terbuka, terkadang dipromosikan dengan jargon “hiburan alternatif berkualitas tinggi”. Singkatnya, layar tancap gaya lama lebih mirip dengan acara sosial untuk mengumpulkan orang-orang yang tinggal di lingkungan sekitar untuk menunjukkan kebanggaan sosial—terutama fokusnya pada kelas pekerja. Sebaliknya, bioskop terbuka saat ini lebih cenderung menjadi fenomena kelas menengah yang dipenuhi nostalgia dan gagasan pelestarian warisan budaya.
Masa keemasan layar tancap kini berangsur memudar karena tergerus gempuran digitalisasi. Teknologi lama tak lagi dilirik para sineas muda yang lebih memilih format digital. Perlahan tapi pasti, format film 35 mm mulai ditinggalkan oleh para penggemarnya, seiring dengan beralihnya industri film dari bisnis ini. Namun nyatanya masih ada segelintir masyarakat yang masih mempertahankan tradisi klasik tersebut. Bagi mereka, kecintaan terhadap layar tancap membuat gairah mereka kembali terpacu demi melestarikan budaya yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Layar tancap tidak mati, hanya saja kini pangsa pasarnya beralih ke pinggiran. Para pengusaha layar kaca yang tersisa kini menyasar pedesaan pinggiran kota, khususnya di Pulau Jawa, menyediakan hiburan bagi masyarakat yang masih jauh dari akses bioskop.
****Rangga Saptya Mohamad Permana adalah dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program S-3 Film, Media, Communications and Journalism Monash University, Australia. Penulis biasa berkorespondensi melalui alamat email ranggasaptyamp@gmail.com.
REFERENSI
Bhayangkara, C. S. (2018). Upaya Melestarikan Layar Tancap dari Kepunahan. Diambil 21 Juni 2022, dari https://nasional.okezone.com/read/2018/04/14/337/1886634/upaya-melestarikan-layar-tancap-dari-kepunahan
Hasan, I. (2021). Layar Tancap yang Melegenda, Sejarah Industri Pemutaran Film di Indonesia. Diambil 21 Juni 2022, dari https://www.merdeka.com/travel/layar-tancap-yang-melegenda-sejarah-industri-pemutaran-film-di-indonesia.html
Sasono, E. (2019). Publicness and the public in contemporary Indonesian documentary film cultures. King’s College London.
Komentar