oleh

Figur Pemimpin Zaman Bihari

Oleh: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS.

GENDERANG  telah ditabuh. Spanduk, banner, baliho, bahkan beragam photo menghiasi media sosial. Memang, suhu politik baru-baru ini semakin memanas. Beragam hoax semakin merajalela. Masyarakat  harus mampu memilah dan memilih, mana berita yang benar dan tidak benar. Jangan mudah terpengaruh atau terhasut. Sejak dulu, orang Sunda memiliki budaya damai, sebagaimana tersirat dan tersurat  lewat naskah dan prasasti.

Figur seorang pemimpin ideal menjadi mencuat  manakala dikaitkan dengan jabatan  yang akan disandangnya. Kesan  seorang pemimpin  tidak terlepas dari perilaku dan sikap, serta karakter yang dimilikinya. Seorang pemimpin dituntut berperilaku bijak, arif, dan saleh, sebagaimana terungkap dalam naskah Sanghyang Hayu. Figur seorang pemimpin harus  sehat-kuat serta senantiasa bertutur dengan hati nurani, selalu menjaga lingkungan dengan menyelaraskan & mengharmonisasikan antara bumi  dan angkasa,  juga  keduanya yang diinterpretasikan lewat hubungan antara sesama manusia, dengan alam,  dan hubungan dengan Tuhannya. Setiap langkah dan tindakannya harus berdasarkan penglihatan, ucapan, dan pendengaran  yang dilandasi hati nurani, dalam arti terjalinnya kesesuaian antara kata dan perbuatan, penuh daya&energi, berdasarkan sabda atau ucapan serta itikad yang baik dan iklas,  yang kesemuanya berkelindan erat dan berhubungan satu sama lain, yang membangun sikap dan karakter serta figur seorang pemimpin ideal.

Terlintaskah dalam benak para calon pemimpin untuk ‘nyaliksik diri’ ‘introspeksi’, apa yang pernah dan akan dilakukannya jika sudah  terpilih? Pemimpin harus saciduh metu saucap nyata mengimplementasikan janji-janjinya. Pemimpin itu ‘abdi’ negara sekaligus abdi masyarakat. Sikap pemimpin sebagai “abdi” lah, yang harus disadari oleh setiap pemimpin. Sebelum menjadi pemimpin yang baik, sebaiknya pernah merasakan menjadi ‘abdi’ terlebih dahulu. Itulah yang diungkap naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), yakni mulah luhya  ‘jangan mudah mengeluh’, mulah kuciwa ‘jangan mudah kecewa’, mulah ngontong dipiwarang ‘jangan sulit diperintah, mulah hiri ‘jangan iri’, dan mulah dengki ‘jangan dengki’. Jangan berharap menjadi pemimpin yang baik sebelum merasakan menjadi abdi yang baik.

Pemimpin harus mampu ngretakeun janma réya dan ngretakeun bumi lamba ‘memerdayaan dan menyejahterakan orang banyak serta alam dunia’. Segala pekerjaan harus senantiasa diiringi ketulusan hati. Tanpa keikhlasan,  akan mengarah kepada ‘keserakahan’.  Keserakahan harus dihindari oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus mampu menjauhi empat karakter negatif, seperti babarian ‘mudah tersinggung’, egois, dan tidak panceg haté. Pundungan ‘mudah merajuk’, Humandeuar  ‘berkeluh kesah’, Kukulutus ‘menggerutu’, tidak bertanggungjawab, dan ‘munafik’. Di samping itu, seorang pemimpin pun harus menjauhi empat watak manusia yang salah, yang disebut  Catur Buta, yaitu burangkak, mariris, maréndé, dan wirang (SSK).

Amanat Galunggung (AG) berkaitan dengan figur pemimpin zaman bihari menjelaskan empat larangan bagi seorang pemimpin, yakni mulah kwanta ‘jangan berteriak’, mulah majar laksana ‘jangan menyindir’, mulah madahkeun pada janma ;jangan menjelekkan orang lain’, dan mulah sabda ngapus ‘jangan berbohong’. SSK menjelaskan bahwa pemimpin harus mampu menjaga dasakreta sebagai perwujudan dasaindra, yakni harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, badan, dan aurat sejalan dengan QS Al Araaf 179.

Kepemimpinan Raja Sunda bihari ‘dahulu’ sebenarnya sudah ada sejak abad XVI M.,  sebagaimana tampak pada era globalisasi saat ini, yang sudah diimplementasikan sebelum istilah ‘Trias Politica’nya Montesque muncul. Istilah eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang dikenal dengan sistem pembagian kekuasaan, seperti dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dan Fragmen Carita Parahiangan abad ke-16 M., disebut Tri Tangtu di Buana  ‘tiga unsur penentu kehidupan di dunia’, terdiri atas prebu, rama dan resi. Prebu, pemimpin roda pemerintahan (eksekutif atau  pemerintah, dalam hal ini presiden) yang harus ngagurat batu ‘berwatak teguh’.  Rama, golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah ‘berwatak menentukan hal yang mesti dipijak’.  Resi,  golongan yang bertugas memerdayakan hukum agama dan darigama ‘negara’ (yudikatif,  dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai  ‘berwatak menyejukkan dalam peradilan’.

Seorang pemimpin dituntut memiliki sifat Dasa prasanta sebagaimana disebutkan dalam  Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), yakni: Guna ‘bijaksana’, Ramah  ‘bijak’, Hook  ‘kagum’, Pésok  ‘memikat hati’, Asih  ‘sayang’, Karunya ‘iba’, Mupreruk ‘membujuk’, Ngulas  ‘memuji dan mengoreksi’, Nyecep ‘membesarkan hati’,  Ngala angen ‘mengambil hati’. Seseorang digelari pemimpin, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut  pangimbuhning twah ‘pelengkap kharisma’, yakni Emét ‘tidak konsumtif’. Imeut  ‘teliti, cermat’. Rajeun  ‘rajin’. Leukeun  ‘tekun’. Paka Pradana ‘beretika’. Morogol-rogol ‘beretos kerja tinggi’. Purusa ning Sa ‘berjiwa pahlawan’. Widagda  ‘bijaksana’. Gapitan  ‘berani berkorban’, Karawaléya  ‘dermawan’, Cangcingan  ‘terampil’, serta  Langsitan  ‘cekatan’.

Seorang Pemimpin harus bercermin kepada élmu patanjala ‘ilmu wujud air’  (AG Verso VI & III), yakni: mulah kasimuratan ‘jangan mudah terpengaruh’, mulah kasiwuran kanu miburungan tapa ‘jangan peduli terhadap godaan, dan mulah kapidéngé kanu carék goréng ‘jangan dengarkan ucapan yang buruk’. Pemimpin yang mulya harus siniti ‘bijak’, siniyagata ‘benar’, siaum ‘adil dan takwa’, sihooh ‘serius’, sikarungrungan ‘simpatik’, semuguyu ‘ramah’, téjah ambek ‘rendah hati’, dan guru basa ‘mantap bicara’.

Figur Pemimpin di masa lampau harus  cageur (AQ), bageur (EQ), bener (SO), pinter (IQ), singer  (PQ), teger (RQ), wanter (ScQ), dan tajeur (ExA). Konsep Parigeuing berbasis kearifan lokal, bagi seorang pemimpin menurut Charliyan (2015), harus mampu berperan sebagai leader (satu pikiran, perkataan, dan perbuatan),  manajer (kemampuan manajerial), entertainer (human relations), entrepreneur (jiwa kewirausahaan), commander  (pendorong),  designer (perancang ideal), father (kebapakan), servicer (pelayan yang baik),  dan teacher (guru/menjadi tauladan). Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri  dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, yang akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai  “master/tokoh”, yang mampu memerdayakan, mencerdaskan, serta menyejahterakan kehidupan orang banyak, yang disegani, dikagumi, dan dicintai rakyatnya “ngretakeun urang réya”, dan mampu “ngretakeun bumi lamba”  ‘menyejahterakan alam dunia’. Semoga!

 

Komentar