oleh

Gambaran Umum mengenai Kondisi Festival Film Dokumenter di Indonesia

Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom.

DALAM beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki banyak festival film yang rutin diadakan setiap tahunnya, baik skala nasional maupun regional, khususnya di Pulau Jawa. Jika berbicara tentang komunitas film di akar rumput, Pulau Jawa masih menjadi episentrum komunitas film Indonesia. Setidaknya terdapat 93 komunitas sineas di pulau ini hingga tahun 2018. Komunitas tersebut paling banyak berada di Jawa Barat yang berjumlah 35 komunitas, ditambah Yogyakarta yang memiliki 20 komunitas (Pusparisa, 2021).

Di Pulau Jawa sendiri, beberapa festival film telah lama diselenggarakan dan rutin diadakan setiap tahunnya, baik festival film regional maupun internasional. Beberapa di antaranya adalah Festival Film Bandung (FFB), Festival Film Dokumenter dan Eksperimental Internasional Jakarta atau Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival (ARKIPEL), Festival Film Purbalingga (FFP), Malang Film Festival (MAFI Fest), dan festival film yang sering disebut sebagai barometer festival film di Indonesia yaitu Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa festival film di Indonesia yang secara khusus memutar dan mempertandingkan genre atau tema tertentu, termasuk Q! Film Festival, Fantastic Film Festival, Festival Film Animasi Indonesia, Festival Film Anti Korupsi, dan beberapa festival film yang khusus menayangkan film dokumenter, yaitu Denpasar Documentary Film Festival, Solo Documentary Film Festival dan Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta. Tak pelak, festival film yang digelar di Pulau Jawa turut menambah semarak dinamika perfilman di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Setidaknya ada tiga festival film tertua dan terbesar di Indonesia, yaitu Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ), dan Festival Film Dokumenter (FFD). Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota terdepan dalam penyelenggaraan festival film (Shabana, 2019).

Jika dibandingkan dengan festival film yang menayangkan dan mempertandingkan film-film dari berbagai genre, atau bersifat generalis dan tidak fokus pada satu genre saja, maka sangat sedikit festival film di Indonesia yang hanya menayangkan film dokumenter. Dalam kalender festival film Indonesia yang disusun oleh Sri Ratna Setiawati dan diterbitkan pada tahun 2019, dari 70 festival film yang terdaftar, hanya ada dua festival film yang khusus menayangkan film dokumenter, yaitu Denpasar Documentary Film Festival dan Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta (Yazid, 2019).

Faktanya, perkembangan festival film dokumenter di dunia sudah mencapai taraf yang signifikan, dengan banyaknya festival film yang khusus menayangkan film dokumenter dan sudah berdiri sejak lama. Misalnya Leipzig, Sunny Side of the Doc, International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), CPH:Docs, Silver Docs, Sheffield Doc/Fest, Hot Docs, dan Visions du Reel (Top 10 Documentary Film Festivals, 2013). Faktanya, Amerika Serikat memiliki 25 festival film dokumenter yang tersebar di seluruh negeri (List of documentary film festivals, 2022). Namun hal tersebut belum terjadi di Indonesia. Jumlah festival yang khusus menayangkan film dokumenter masih belum sebanding dengan jumlah festival film lainnya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa di Indonesia festival film yang khusus menayangkan film dokumenter jumlahnya sedikit dan tidak sebanyak festival film generalis yang tidak berdasarkan genre tertentu? Beberapa penyebab yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi antara lain adalah kurangnya film dokumenter yang diproduksi (Annur, 2021), penelitian yang memakan waktu dan mahalnya biaya produksi film dokumenter (Prass, 2021), sedikitnya jumlah penonton film dokumenter dibandingkan film fiksi dan bertema populer (Jumlah penonton film Indonesia berdasarkan genre, 2017), film dokumenter yang dinilai kurang menghibur (Santosa, 2022), sulitnya mencari sponsor festival film dokumenter (Wijayanti, 2022), film dokumenter yang belum menjadi budaya tontonan di Indonesia—dengan kata lain pasarnya belum terbentuk (Wirastama, 2018), film dokumenter dinilai kurang/tidak mempunyai prospek bagus secara finansial (Film Dokumenter: Ungkapan Menarik dari Nurani, 2021), dan apa yang mungkin terjadi—kurangnya informasi mengenai pentingnya film dokumenter sebagai media edukasi dan informasi serta ketidaktahuan masyarakat terhadap festival film dokumenter yang diselenggarakan; dengan kata lain, kurangnya publikasi.

Di tengah terbatasnya festival film yang khusus menyediakan wadah bagi film dokumenter di Indonesia, FFD seolah menjadi “single player” festival film bergenre dokumenter di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Memang ada festival film lain yang mengusung genre khusus dokumenter, misalnya Denpasar Documentary Film Festival dan Solo Documentary Film Festival, namun dari segi cakupan dan durasi kesinambungannya, kedua festival ini belum bisa dikatakan mampu menyaingi FFD yang konsisten berjalan sejak tahun 2002 dan sukses digelar setiap tahunnya.

FFD merupakan festival film dokumenter pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang fokus pada pengembangan film dokumenter sebagai media ekspresi dan ekosistem pengetahuan, melalui pameran, edukasi, dan pengarsipan (Festival Film Dokumenter, 2021). Festival ini sering dijadikan referensi untuk mengetahui perkembangan film dokumenter terkini di Indonesia. FFD merupakan bagian dari 15 festival lainnya bernama Jogja Festival yang bertujuan menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Festival Dunia. Jogja Festival sendiri merupakan sarana untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan destinasi pariwisata. Melalui berbagai bentuk workshop seperti produksi hingga kritik film, FFD melahirkan aktor-aktor film yang berkontribusi terhadap perkembangan ekosistem film dokumenter di Indonesia dan Asia Tenggara. FFD juga sering menjadi referensi bagi festival film luar negeri yang ingin menginisiasi film dokumenter Indonesia di festivalnya (Yazid, 2019).

Berawal dari ide yang lahir dari perbincangan ringan sekelompok anak muda, FFD mencoba menggali potensi mentah perfilman Indonesia: media dokumenter. Ciri-ciri tertentu yang membedakan film dokumenter dengan produk audiovisual lainnya adalah ia mempunyai tempat yang signifikan sebagai media pendidikan dan media refleksi diri yang melampaui ruang dan waktu. Di tengah derasnya arus media massa, film dokumenter mempunyai peran tersendiri sebagai media yang independen dan aspiratif (Festival Film Dokumenter – Yogyakarta Documentary Film Festival, 2020).

Melihat kondisi-kondisi tersebut, diperlukan peran aktif dan upaya yang serius dari berbagai instansi terkait, terutama para sineas yang berkecimpung di dunia film Indonesia, untuk memberikan kesadaran akan pentingnya peran film dokumenter sebagai medium edukasi yang dapat merekam kondisi sosial-budaya masyarakat dari waktu ke waktu. Beberapa fungsi yang diemban oleh film dokumenter seperti yang telah disebutkan di atas menjadikan film dokumenter bukan hanya berfungsi sebagai media informasi belaka, namun jika dikemas secara menarik dengan disertai unsur estetika yang baik, film dokumenter akan dapat bersaing dengan film-film bergenre lain yang telah lebih dulu populer di Indonesia. Dengan munculnya kesadaran tersebut, niscaya produksi film-film dokumenter lambat laun akan meningkat, dan hal tersebut dapat berimplikasi pada perkembangan festival-festival film dokumenter di Indonesia, baik itu dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.

REFERENSI

Annur, C. M. (2021). Ada 3.423 Produksi Film di Indonesia pada 2020, Iklan Terbanyak. Diambil 19 Juni 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/15/ada-3423-produksi-film-di-indonesia-pada-2020-iklan-terbanyak

Festival Film Dokumenter. (2021). Diambil 19 Juni 2022, dari https://festagent.com/en/festivals/dokumenter_filmfest

Festival Film Dokumenter – Yogyakarta Documentary Film Festival. (2020). Diambil 19 Juni 2022, dari https://filmmakers.festhome.com/en/festival/festival-film-dokumenter

Film Dokumenter: Ungkapan Menarik dari Nurani. (2021). Diambil 19 Juni 2022, dari https://mediaindonesia.com/humaniora/432277/film-dokumenterungkapan-menarik-dari-nurani

Jumlah penonton film Indonesia berdasarkan genre. (2017). Diambil 19 Juni 2022, dari https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jumlah-penonton-film-indonesia-berdasarkan-genre-2017-1517572717

List of documentary film festivals. (2022). Diambil 20 Juni 2022, dari https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_documentary_film_festivals

Prass, A. B. (2021). Refleksi 20 Tahun Festival Film Dokumenter Antara Keberdayaan dan Kegigihan. Diambil 19 Juni 2022, dari https://www.krjogja.com/hiburan/film-dan-selebrita/refleksi-20-tahun-festival-film-dokumenter-antara-keberdayaan-dan-kegigihan/

Pusparisa, Y. (2021). Mayoritas Komunitas Film Indonesia Ada di Jawa. Diambil 8 Maret 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/30/mayoritas-komunitas-film-indonesia-ada-di-jawa

Santosa, I. (2022). Seputar Film Dokumenter Kekinian dan Cara Membuatnya. Diambil 19 Juni 2022, dari https://inspirensis.id/artikel/seputar-film-dokumenter-kekinian-dan-cara-membuatnya/

Shabana, A. (2019). Peran Strategis Festival Film bagi Publik. In R. Lifi (Ed.), Direktori Festival Film Indonesia dan Dunia (Edisi Revisi) (hal. xxv–xxxv). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Top 10 Documentary Film Festivals. (2013). Diambil 20 Juni 2022, dari https://raindance.org/10-top-documentary-film-festivals/

Wijayanti, D. T. (2022). FFD | Interview. Diambil 19 Juni 2022, dari https://ffd.or.id/category/interview/

Wirastama, P. (2018). Kenapa Indonesia Tidak Bikin Film Dokumenter Bagus? Diambil 19 Juni 2022, dari https://www.medcom.id/hiburan/eksklusif/MkMnRBVK-kenapa-indonesia-tidak-bikin-film-dokumenter-bagus

Yazid, N. (2019). Direktori Festival Film Indonesia dan Dunia (Edisi Revisi). (R. Lifi, Ed.). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

BIODATA PENULIS:

Rangga Saptya Mohamad Permana adalah dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program S-3 Film, Media, Communications and Journalism Monash University, Australia. Penulis biasa berkorespondensi melalui alamat email ranggasaptyamp@gmail.com.


 

Komentar