Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
BEBERAPA skenario pencapresan mulai diujicoba dalam wacana ruang publik. Hipotesa-politik yang perlu dicek-ombak, kira-kira begitulah.
Skenario Prabowo-Puan (Gerindra-PDIP), yang saat ini sedang diuji opini publiknya melawan popularitas Ganjar Pranowo (PDIP), ibaratnya sedang masuk tungku pengujiannya.
Atau… bisa saja kalau nanti popularitas Ganjar begitu meroket lantaran awalnya telah dipersepsi “terzolimi” oleh faksi Puan, malah bakal berpasangan dengan Puan.
Jadinya pasangan GaPura (Ganjar Puan Maharani). Lalu Prabowo gimana? Ya bisa saja jadi saingan, berpasangan dengan tokoh lain lagi.
Soal syarat 20% kursi parlemen untuk bisa mengajukan pasangan capres-cawapres, bisa saja PDIP lalu beralih ke parpol lain yang setuju dengan pasangan GaPura itu.
Yang jelas, partai macam Gerindra, Golkar, PKS, Demokrat, PKB dan Nasdem tak bakal cuma tinggal diam sambil menunggu arahan PDIP. Mereka juga punya agenda, kepentingan dan strateginya masing-masing. Cair konstelasinya, dan cair pula kesepakatan (deal) tentang berapa dan kapan cairnya… paham khan? Cair…cair…
Sementara di pihak lain ada figur macam Anies Baswedan yang memang ambisius, ia terus menerus memainkan isu – apa pun itu – tak peduli baik atau buruk (kebanyakan sih buruk), asal saja namanya bisa terus dibicarakan publik. ‘Notorious’ istilahnya.
Baru-baru ini bukannya ngurus DKI Jakarta tapi Anies malah sibuk dengan agenda Bela-Palestina. Apa hubungannya dengan tupoksi gubernur Jakarta? Entahlah! Mungkin hanya Rizieq dan Neno yang mampu menjelaskan.
Lainnya ada nama-nama seperti Risma (PDIP), Airlangga (Golkar), Giring (PSI), Ridwan Kamil, LaNyala Mataliti, Erick Thohir, Sandi Uno, AHY, Khofifah, Mahfud MD, Moeldoko, Susi Pudjiastuti, dan lain-lain.
Sekarang masih sangat cair, tahun depan (2022) baru bakal agak mengental, dan masuk ke tahun 2023 seyogianya semakin padat. Pilpres dan pileg sendiri baru akan terjadi sekitar bulan Maret-April 2024. Lalu ada juga perhelatan besar Pilkada Serentak, rencananya di bulan November 2024.
Beberapa survei awal ini memang telah mengindikasikan beberapa nama, namun itu semua masih tinggi tingkat volatilitasnya. Semua masih bergerak, bermanuver ke segala arah. Arah angin politik pun tak lepas dari gerak kipas para bohir-mafia 3C (Cendana, Cikeas, Caplin), jangan lupakan itu.
Belum lagi kemungkinan muncul nama-nama baru yang bisa saja meroket popularitas serta elektabilitasnya di paruh kedua tahun 2023.
Seperti nama Gibran Rakabuming yang mulai ditiup-tiup oleh sementara kalangan. Juga Giring Ganesha yang sementara ini survei elektabilitasnya de-facto di atas Puan Maharani. So why not?
Ada waktu 2 tahun lebih untuk unjuk gigi dan sekaligus merebut panggung politik. Semuanya mungkin dalam politik bukan?
Kalau persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak itu perlu sekitar 20 bulan, maka tahapan persiapan (administrasi dan teknis) sudah mesti dimulai tahun depan (2022) sekitar bulan Juli-Agustus. Artinya semua pihak sudah mesti ancang-ancang.
Karena itu bisa kita pahami kalau parpol dan instansi pemerintahan sudah mulai pasang kuda-kuda. Poles memoles jagonya sudah dimulai. Hipotesa ‘pairing’ (pasangan) pun sudah mulai digatuk-gatukan. Kalau si Polan dengan si Polin, kira-kira gimana ya?
Yang lagi ramai memang fenomena Ganjar Pranowo. Apakah dia si Satria Piningit? Hmm… jawaban paling diplomatis ya, “Dalam politik semua itu mungkin.”
Begitulah masyarakat kita dalam kancah pilpres, ia yang dipersepsi “terzolimi” bakal malah terdongkrak popularitasnya (bahkan elektabilitasnya).
Walau belakangan baru ketahuan ternyata kapabilitasnya tak seperti yang diharapkan. Seperti kejadian-kejadian yang terdahulu.
Dulu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dizolimi rezim orba, sampai akhirnya pecah dan terbentuklah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dan Megawati Soekarnoputri dipersepsi oleh publik sebagai pihak yang terzolimi.
Maka ia mendapat simpati publik, PDI Perjuangan pun menang pileg. Namun poros tengahnya Amien Rais dan kawan-kawan bermain di tengah euphoria reformasi, maka akhirnya Gus Dur yang jadi Presiden.
Dikiranya Gus Dur bisa diatur-atur, nyatanya tidak. Malah Gus Dur tegak lurus dengan Pancasila dan logika akal sehat. Politik jujur dan hati nurani Gus Dur mendapat arus tentangan yang amat kuat dari gerombolan politik kaum oportunis. Pembunuhan karakter dan berbagai siasat licik dihalalkan dan dilancarkan.
Amien Rais dan persekongkolannya membuat rencana untuk ‘Menjerat Gus Dur’ dengan konspirasi politik licik oknum geng anak menteng, sisa orba, dan kaum oportunis lainnya.
Dengan begitu baru kemudian Megawati Soekarnoputri bisa menduduki Istana Negara di sisa masa jabatan yang ditinggalkan Gus Dur.
Tanpa prestasi dan malah terkesan arogan oleh publik lantaran ‘perseteruan’ politiknya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang memang pandai juga memainkan peran terzolimi membuat SBY bisa melenggang ke Istana Negara.
Bahkan dua periode bisa diraihnya lewat politik pencitraan yang luar biasa apik. Sampai akhirnya kampanye “Katakan Tidak Pada(hal) Korupsi!” membuat citra dirinya dan Partai Demokrat terpuruk.
Pasca SBY, antena politik publik pun terpasang peka, mencoba mendeteksi siapa satrio piningit yang bisa memimpin Indonesia berikutnya.
Maka parpol pun berlomba-lomba untuk mengelus-elus jagonya.
Kala itu figur Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama begitu menonjol di blantika politik ibu kota. Banyak kontroversi lantaran gebrakan-gebrakan Jokowi-Ahok yang memang luar biasa. Disrupsi peta perpolitikan Jakarta bergema kuat, spektrumnya menerobos terus merambah arena politik nasional.
Walau sempat ada perbedaan pandangan antara Faksi Megawati dan Faksi Taufik Kiemas di internal PDIP soal cagub DKI Jakarta tahun 2012, namun untuk soal capres di tahun 2014 kedua faksi internal PDIP itu sepakat dengan nama Jokowi.
Lantaran memang popularitas Jokowi mutlak teratas, sehingga PDIP tak punya pilihan lain dan Megawati mesti mengalah daripada babak belur sendiri. Jokowi pun tebukti sukses selama 2 periode kepemimpinannya.
Jokowi menang tanpa perlu dipersepsi sebagai pihak yang terzolimi. Ia menang lantaran prestasi dan rekam jejak, serta persepsi publik yang melihat figur Jokowi sebagai representasi dan personifikasi rakyat itu sendiri, di luar jejaring geng menteng.
Referensi politik nasional sekarang sudah punya standar acuan baru. Benchmark-nya sudah beda dengan rezim-orba maupun rezim-reformasi (rezim-mangkrak?).
Menuju 2024, apa yang mesti kita pahami dan siapkan?
Dalam suatu kontestasi memang selalu ada nuansa persaingan. Tapi persaingan antar kontestan, ini lebih mirip seperti kontes Miss-Universe, adu-kecakapan, adu-kecantikan. Persaingan adu-pandai. Bukan pertandingan adu-bunuh seperti para gladiator di arena pasir Colloseum yang berdarah-darah itu.
Jadi para kontestan tak perlu saling bunuh (bunuh karakter misalnya), tapi tunjukan saja prestasi diri dan kompetensinya lewat gagasan, kerja politik nyata dan komitmen yang bulat terhadap moral politik.
Kita semua sebagai penonton dan pemilih, bukan untuk memilih siapa yang menang dalam arena adu-bunuh, tapi memilih dengan cerdas yang lebih unggul dalam adu-konsep, adu-rekam-jejak, adu-visi dan program. Mana yang lebih atau paling cerdas, mana yang paling cantik performa dan kinerjanya selama ini.
Tugas kita adalah mempertajam intuisi politik dan kecerdasan dalam mengambil sikap politik. Tidak memberhalakan partai atau orang tertentu, tapi memakai rasionalitas yang kewarasan. Jadi bagaimana? Kita pakai kriteria saja.
Kriteria paling mendasar tentu dasar dan falsafah negara, Pancasila. Sikap dan pandangan politiknya yang Bhinneka Tunggal Ika serta taat pada UUD’45, setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang di luar itu? Reject saja.
Kriteria lainnya tentu lebih teknis, soal kepandaian, kesehatan, track-record, keberanian, leadership (kepemimpinan diri, di keluarga dan di organisasi). Menjunjung meritokrasi dan transparansi, tak ada yang perlu ditutupi terutama soal pengelolaan anggaran.
Sampai komitmennya untuk tidak bermain dalam politik-uang (money-politics), serta KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Nepotisme itu artinya perkoncoan atau politik dinasti.
Banjarmasin, 27/05/2021