oleh

Gejala Konflik Kepentingan di Kementerian Menghambat Pemulihan Ekonomi Nasional? Kasus Tender LSU di Kemenparekraf

Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)

INDUSTRI PARIWISATA sebetulnya boleh dibilang adalah pelopor pemulihan ekonomi. Bagaimana bisa? Ya sederhana saja, pergerakan manusia (social movement) bakal memicu pergerakan uang, barang dan jasa.

Industri yang paling berkepentingan dengan pergerakan orang ya industri pariwisata. ‘Its triggering effect is tremendously significant’. Efek multiplikasi industri pariwisata bisa kemana-mana.

Mulai dari jutaan pelaku UMKM sampai ke industi konstruksi, transportasi, jasa perbankan dan tentu saja industri kreatif.

Namun pandemi Covid-19 ini telah memaksa penghentian gerak manusia (social movement) ini. Patuhi 3M (mencuci tangan, pakai masker, dan menjaga jarak) sebisa mungkin di rumah saja. ‘Work from home’, hampir segalanya dilakukan dari rumah saja.

Pola pergerakan orang pun diupayakan oleh Kemenparekraf agar mengikuti harmoni zonasi, artinya pergerakan antar zona hijau sih oke oke saja, kalau antara zona yang berbeda warnanya (merah, kuning, oranye) ya mesti mengikuti protokol tertentu. Inilah agaknya konsep ‘travel corridor arrangement’ yang sedang diupayakan Menteri Sandiaga Uno.

Kita pun sadar bahwa stagnasi mobilitas manusia – dalam jangka waktu lama – bakal membahayakan perekonomian nasional.

Maka beberapa langkah strategis dan taktis pun diambil, diantaranya soal sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, & Environment Sutainability) di tempat-tempat yang bakal dikunjungi orang, seperti resto, hotel, motel, spa, dan sebagainya. Jumlahnya tentu amat sangat banyak, bisa ribuan bahkan puluhan ribu (atau malah jutaan?) titik.

Ini untuk menjamin ‘travel corridor arrangement’ itu tadi berlangsung secara aman secara protokol kesehatan. Sehingga pertumbuhan ekonomi nasional yang dipicu dari pergerakan (mobilitas) orang pun bisa bergulir kembali, bahkan sebisa mungkin diakselerasi.

Yang jadi masalah adalah sekarang bagaimana menyertifikasi ribuan bahkan puluhan ribu (atau malah jutaan?) titik kunjungan orang-orang itu? Siapa yang mesti melakukan sertifikasi? Dan bagaimana menunjuk badan (lembaga) yang bakal melakukan sertifikasi itu?

Tantangannya adalah, jumlahnya titiknya sangat banyak, dan mesti dilakukan secepat mungkin tanpa mengorbankan kualitas sertifikasi itu sendiri.

Kalau bisa – idealnya – ya melibatkan banyak LSU (Lembaga Sertifikasi Usaha) yang kompeten supaya hasil kerjanya bisa dipertanggungjawabkan.

Selain itu, dengan pelibatan banyak LSU yang kompeten diharapkan juga bisa terjadi efek pemerataan proyek pemerintah ke banyak pelaku usaha nasional. Tidak bersifat monopolistik, apalagi kalau proyek tendernya itu pekat berbau kongkalikong.

Seperti yang dilaporkan SintesaNews.Com dalam laporannya tanggal 7 Juni 2021 yang menyebutkan bahwa ternyata tercium adanya indikasi kejanggalan dalam proses tender penunjukkan LSU di Kemenparekraf.

Sucofindo adalah pemenang tender 71 miliar rupiah di tahun lalu (2020) dengan “mengalahkan” sekitar 40 perusahaan LSU lainnya.

Lalu, berapa titik usaha yang sudah disertifikasi oleh Sucofindo di tahun 2020 itu?

Data website https://chse.kemenparekraf.go.id/ tercantum hanya 5.863 pelaku usaha pariwisata di 34 provinsi yang sudah mendapat sertifikasi CHSE. Walau sebelumnya dikabarkan bahwa Kemenparekraf sudah menyertifikasi 6.776 pelaku usaha.

Artinya, dengan anggaran 71 miliar di tahun 2020, dihabiskan sekitar 12 juta rupiah untuk menyertifikasi 1 unit pelaku usaha. Hitungannya ya dari 71 miliar rupiah dibagi 5.863 titik.

Tapi point-nya sesungguhnya bukan cuma di situ, yang jauh lebih penting adalah bagaimana supaya bisa sungguh-sungguh terjadi di setiap titik usaha di seantero Nusantara ini bisa disertifikasi dan kondisi riilnya benar-benar selaras dengan protokol CHSE.

Kita pun sadar bahwa sertifikasi yang baik (kompeten dan jujur) adalah sangat penting untuk merebut kembali kepercayaan publik, nasional maupun internasional.

Hal inilah yang sesungguhnya mesti dipertimbangkan oleh Kemenparekraf agar bisa dengan cepat dan tetap bermutu bisa menyapu bersih target kuantitatif dan kualitatif dari ‘travel corridor arrangement’ itu.

Salah satu cara yang bisa diusulkan adalah dengan tidak menunjuk LSU secara tunggal (yang berbau monopolistik) dan pada kenyataannya “cuma” bisa menyertifikasi beberapa ribu titik kunjungan saja.

Mengapa tidak menunjuk beberapa (atau sebanyak mungkin) LSU yang kompeten juga? Lewat proses tender transparan dan proses seleksi yang professional agar LSU yang terpilih adalah yang memang bisa dipertanggungjawankan kompetensinya. Sehingga lewat tender tahun 2021 yang lebih baik prosesnya bisa menghasilkan kinerja sertifikasi yang lebih moncer lagi.

Kita sangat mendukung berbagai program insentif pemulihan ekonomi yang diinisiasi oleh administrasi Presiden Joko Widodo. Dimana Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) sudah pontang-panting di garda terdepan meluncurkan berbagai program yang diharapkan bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional.

Seyogianya, orkestrasi Jokowi-SMI ini bisa diselarasi juga oleh para menteri lainnya. Kompak dan solid mengakselerasi pemulihan ekonomi ini.

Ingatlah bahwa mayoritas (sekitar 99,99%) dari jumlah pelaku perekonomian nasional adalah sektor UMKM dan Koperasi. Data KemenkopUKM (tahun 2017-2018), menunjelaskan bahwa UMKM yang 99,99% itu terdiri dari: Usaha Mikro 98,68% (63,4 juta unit usaha), Usaha Kecil 1,22% (783 ribu unit usaha), Usaha Menengah 0,09% (61 ribu unit usaha).

Adapun kontribusi UMKM kepada PDB adalah 61%. Terdiri dari kontribusi Usaha Mikro 37,7%, Usaha Kecil 9,6%, Usaha Menengah 13,7%. Sedangkan pelaku ekonomi besar yang jumlahnya sekitar 5550 unit usaha itu berkontribusi 38,9%-nya.

Data angka itu gamblang menunjukkan bahwa perhatian pemerintah dan kita semua semestinya tertuju pada para pelaku UMKM ini. Karena fokus dari pembangunan itu pada esensinya adalah Manusia Indonesia, yang tersebar di jutaan unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ini.

Kita berharap, jangan sampai proses tender di Kemenparekraf hanya sekedar jadi dagelan tidak lucu yang ujungnya hanya untuk “bancakan berjamaah” oknum (BUMN dan Kementerian). Semoga saja tidak ya, Amin.

Ini situasi krisis, sangatlah diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam strategi dan kerja keras yang nyata. Nyata bagi para pelaku ekonomi yang mayoritas, yaitu para UMKM.

Konflik kepentingan hanyalah menghambat bahkan bisa menggagalkan proses percepatan pemulihan ekonomi nasional. Demikian.

Banjarmasin, 07/06/2021