oleh

Gorengan Oposisi Soal Turun Kelas GDP Ternyata Tidak Laku!

Oleh:  Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)

BERITA heboh bagi oposisi, “RI Turun Kelas! Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Bawah.” Begitu memang tajuk berita yang dikutip dari rilis Bank Dunia (World Bank). Dari negara yang tadinya (2019) berpendapatan USD 4.050,- /kapita turun jadi USD 3.870,- /kapita di tahun 2020 lalu.

Fenomena yang sebetulnya sama sekali tidak mengejutkan ini sontak digoreng-goreng oleh sementara kalangan yang memang dari dulu motifnya adalah mendiskreditkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sayang sekali, mereka kehilangan perspektif, dan tentunya juga kasihan sekali lantaran gorengan mereka tak mendapat respon apa-apa dari masyarakat. Alias tidak laku! Mengapa?

Ya lantaran hidup itu dijalani dalam realitas, bukan semata-mata disetir oleh agitasi murahan macam itu. Realitasnya masyarakat luas sadar sepenuhnya bahwa pemerintahan yang ada sekarang – secara umum – sedang bekerja mati-matian untuk mengatasi pandemi ini bersama dengan rakyat (yang mayoritas waras dan kooperatif).

Pandemi ini Mondial sifatnya, dan menerpa semua tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih. Dan semua paham betul akan hal ini. Justru masyarakat waras melihat bahwa mereka yang tidak kooperatif dengan kebjiakan pemerintahlah yang kerap mengacaukan program penanganan Covid-19 ini.

Entah dalam bentuk propaganda murahan macam ‘negara-gagal’ atau ajakan boikot PPKM maupun memperkuda isu agama (penutupan tempat ibadah) demi memancing keributan dan kerusuhan disana-sini.

Memang sih ada juga oknum-oknum (pejabat maupun dari parpol) yang kurang ajar menilep duit rakyat yang seyogiannya diperuntukan bagi bantuan sosial. Terhadap itu semua Kepolisian, KPK dan Kejaksaan sudah, sedang dan akan terus bekerja membasmi hama kemanusiaan seperti ini.

Untuk melihat persoalan dalam timbangan yang lebih adil, selain soal pendapatan per kapita, dalam perspektif ekonomi ada indikator lain yang juga cukup penting untuk disikapi. Yaitu soal Gini Ratio, yang ini mengukur kesenjangan atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Ukurannya sederhana saja, Indonesia memakai angka antara 0 sampai 1. Semakin mendekati 0 artinya semakin merata pendapatannya, dan sebaliknya semakin mendekati 1 ya semakin timpang. Bank Dunia memakai indeks angka 1 – 100. Dalam ukuran ratio ya sama saja sebetulnya.

Begini rumusan teknisnya, GR = 1-∑fi[Yi+Yi-1], dimana fi = jumlah persen (%) penerima pendapatan kelas ke i. Lalu, Yi = jumlah kumulatif (%) pendapatan pada kelas ke i. Maka, nilai GR terletak antara 0 – 1. Soal teknis ini tak perlu dipusingkan, biarlah diurus oleh BPS saja.

Gampangannya, bila GR = 0, maka ketimpangan pendapatan merata sempurna, artinya setiap orang menerima pendapatan yang

sama dengan yang lainnya. Utopiskah? Atau malah komunis banget? Hehe..

Sedangkan bila GR = 1 artinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja. Ngeri khan? Amit-amit jabang bayi.

Ukuran ini melengkapi indikasi soal pendapatan per kapita. Gini Ratio, ini nampaknya lebih dekat (atau patut diduga ada semacam proximity) dengan pemicu kecemburuan sosial yang potensial bisa membakar amuk massa, jika saja tidak disikapi dengan benar.

Kalau begitu, lalu dimana posisi Gini Ratio Indonesia? Juga jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Perbandingan ini penting juga supaya kita tidak myopic (rabun) dalam menilai suatu keadaan sosial-politik-ekonomi. Apalagi dalam era globalisasi (tentang memudarnya batas-batas antar negara).

Mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Gini Ratio per September 2020 adalah sebesar 0,385. Memang masih jauh dari angka 1. Tapi angka ini sebetulnya peningkatan 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio per Maret 2020 yang sebesar 0,381. Dan peningkatan 0,005 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio per September 2019 yang sebesar 0,380.

Lalu dimana posisi Indonesia dibanding dengan beberapa negara lainnya? Khususnya di sekitar Kawasan ASEAN dan beberapa negara lainnya.

Begini. Data Bank Dunia (walau tahun acuannya tidak sama, dan beberapa negara tidak terdeteksi angkanya) menunjukan profil sebagai berikut (Bank Dunia memakai indeks angka 1 – 100),

Indonesia 2019: 38,2 ; Malaysia 2015: 41,1 ; PNG 2009: 41,9 ; Filipina 2018: 42,3 ; Thailand 2019: 34,9 ; Timor Leste 2014: 28,7 ; Vietnam 2018: 35,7 ; India 2011: 35,7 ; Bangladesh 2016: 32,4 ; China 2016: 38,5

Sekedar referensi untuk para penggemar sepakbola, indeks Gini Ratio di empat negara yang baru menyelesaikan final Piala Eropa dan Copa America adalah: Italia 2017: 35,9 ; Inggris 2017: 35,1 ; Argentina 2019: 42,9 ; Brazil 2019: 53,4.

Sedangkan negara super power Amerika Serikat di tahun 2018: 41,4. Angka-angka ini bisa ditelusuri di situs World Bank (Bank Dunia) kapan saja dan dari mana saja, asalkan ada sambungan internet.

Sementara acuan GDP (Gross Domestic Product) atau ukuran besaran ekonomi yang secara teknis rumusannya: GDP = C+I+G+(X-M) yang mengukur besaran C = konsumsi, I = Investasi, G = Government spending, X = Export dan M = Import, adalah merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara.

GDP menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit perekonomian. Singkatnya, GDP adalah salah satu metode menghitung pendapatan nasional.

Amerika Serikat misalnya, GDPnya adalah yang terbesar (nomor 1) di dunia, dengan USD 22.675,27 Miliar. Namun jika dihitung per kapitanya, AS (USD 68.309) menduduki urutan ke-5 setelah Luxembourg (USD 116.921) disusul Switzerland (USD 94.696), Irlandia (USD 94.556) dan Norwegia (USD 81.995). Begitu menurut IMF Projected Outlook April-2021.

Sedangkan finalis Copa America, Argentina dan Brazil yang indeks Gini Rationya masing-masing di angka 42,9 dan 52,4 (lebih tinggi dari Indonesia yang 38,2) punya GDP per kapita di angka: Argentina (USD 9.122) urutan ke-76 dan Brazil (USD 7.011) urutan ke-87 ranking dunia.

Tentu saja kita juga paham bahwa situasi sosial-ekonomi-politik suatu negara juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain: tingkat literasi (pendidikan, kecerdasan), kesehatan (nutrisi), kondisi demografi, iklim dan geografi (continental verus archipelago), distribusi jumlah penduduk, kondisi infrastruktur dan lain sebagainya.

Oleh karena itulah kita mesti membiasakan diri untuk bisa lebih cermat, tidak gampangan terprovokasi agitasi murahan yang tidak bermutu. Apalagi jika motifnya cuma sakit hati, kebencian, asal omong dan asal menjelekan saja. Mesti membaca data, dan membacanya pun dengan daya kritis.

Selanjutnya, dalam melihat Gini Ratio nasional kita pun masih dituntut untuk menyelam lebih dalam lagi. Melihat jeroannya, seperti misalnya untuk Gini Ratio perkotaan, dimana pada September 2020 tercatat sebesar 0,399. Angka ini naik dibanding Gini Ratio Maret 2020 sebesar 0,393 dan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,391.

Sedangkan Gini Ratio di kawasan pedesaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,319. Angka ini naik dibanding Gini Ratio Maret 2020 sebesar 0,317 dan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,315.

Belum lagi jika kita merincinya menurut wilayah, dimana angka di perkotaan tercatat sebesar 17,08% yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan rendah. Sementara di kawasan pedesaan, angkanya tercatat sebesar 20,89% yang berarti tergolong dalam kategori ketimpangan rendah. Begitu kata cerdik pandai di BPS.

Jika kita mengacu pada ukuran ketimpangan dari Bank Dunia, dimana distribusi pengeluaran pada kelompok 40% terbawah adalah sebesar 17,93%, maka hal ini artinya pengeluaran penduduk pada September 2020 berada pada kategori tingkat ketimpangan yang rendah.

Sekali lagi, Gini Ratio ini mengindikasikan pemerataan pendapatan secara nasional. Dan sudah dikatakan tadi, bahwa indikator ini ada kedekatannya dengan soal-soal kecemburuan sosial yang potensial memicu kerusuhan sosial, jika ada yang memprovokasinya tentu saja.

Dengan Gini Ratio di angka 38,2 (menurut Bank Dunia, tahun 2019) atau 0,38 menurut BPS per September 2019, maka dimana klasifikasi Indonesia?

Begini, jika dibawah 0,4 dibilang ‘tingkat ketimpangannya rendah’. Jika di antara 0,4 sampai 0,5 maka kelasnya adalah ‘tingkat ketimpangan sedang’. Di atas 0,5 termasuk kelas berat, ‘tingkat ketimpangan tinggi’.

Maka dengan indeks di 3,8 Indonesia masih termasuk negara dengan tingkat ketimpangan yang rendah. Namun tetap mesti waspada, lantaran tidak jauh dari angka 0,4. Walau kita masih lebih baik dibanding Argentina (yang juara Copa America) dengan indeks 42,9, atau runner-up Brazil yang indeksnya 53,4.

Jadi memang, membaca realitas sosial lewat indikasi angka-angka itu mesti amat sangat kritis. Dalam perspektif ekonomi, selain angka GDP, lalu GDP/Kapita, ada pula indikasi pemerataannya lewat indeks Gini Ratio. Selain faktor-faktor lain yang tadi sudah disinggung di atas.

Yang penting kita sadari bersama, bahwa pandemi ini bukan Cuma urusannya pemerintah saja, bukan cuma perkaranya para nakes dan pasiennya. Tapi tanggung jawab kita semua.

Artinya, tanggung jawab kita untuk menaati prokes secara pribadi dan kelompok kita, namun terlebih dari itu juga waspada terhadap anasir-anasir yang mau memanfaatkan potensi gelombang keresahan sosial yang ada untuk kepentingan egoistiknya sendiri.

Waspadalah… waspadalah!!!

“The problem of the world is that the intelligent people are full of doubts while the stupid ones are full of confidence.” – Charles Bukowski

15/07/2021