SEBUAH pengalaman baru yang berkesan menjadi bagian dari kontestasi politik kali ini. Walaupun hanya terlibat secara informal karena anggota keluarga terdekat ikut dalam kontes. Bagaimana tidak, belum pernah ada dari keluarga saya yang memilih politik sebagai karir. Terlebih ayah saya (Abah) yang notabene anggota POLRI. Tidak ada terbersit sedikitpun untuk terlibat dalam kontes politik.
Tapi jalan hidup tak ada yang tahu. Tiba-tiba setahun sebelum masa pensiun, beliau dipinang salah satu partai yang termasuk besar di negeri ini. “Rayuan” untuk membuat tanah kelahiran untuk bisa menjadi lebih baik terlalu menggoda untuk diabaikan. Saya mengenal beliau sebagai seorang nasionalis sejati. Mungkin memang begitu seharusnya seorang prajurit saya pikir. Sehingga saya tahu betul mengapa pinangan ini beliau terima dengan mudah. Tak mungkin beliau melepaskan kesempatan ini. Maka dengan sedikit tergesa-gesa dan diawali bismillah, beliau mengundurkan diri dari keanggotaannya di POLRI yang selama ini membesarkan namanya.
Bila ada yang sering bercakap-cakap dengan beliau selain saya, maka pasti tahu, apapun subjek pembicaraan, pasti ujungnya akan “berakhir” dengan pembahasan budaya sunda. Apakah itu mengenai betapa agungnya nilai kepahlawanan, tata krama, keragaman budaya, bahkan kaitannya dengan agama yang kami yakini selama ini. Saya kadang heran kok bisa sampai hapal sedetil itu. Dari mulai silsilah hingga hikayat-hikayat sunda.
Dunia politik ini merupakan hal baru bagi kami. Selama saya mengingatnya, selama itu pula yang saya tahu beliau tidak bisa terlibat dan harus netral terhadap semua issue politik. Sehingga keterlibatannya kali ini bisa dibilang minim persiapan. Dari mulai tidak pernah dengan sengaja membangun popularitas yang mau tak mau kita tahu sangat berperan dan juga persiapan logistik lainnya. “Hanya” bermodal restu orang tua dan semangat untuk bisa berbakti pada tanah kelahiran maka beliau maju sebagai Cawagub Jabar 2018.
Beliau adalah anchor of the family. Dimana biasanya kami mencari pegangan dan arahan dalam berbagai hal. Tak jarang kami masih ragu dan takut dengan pilihannya. Setiap kali ditanya, “Bah, gimana kalo ga kepilih?” Beliau pasti menjawab. “Justru gimana kalo kepilih” , maksud beliau justru tanggung jawabnya lebih berat bila terpilih. Bila tidak, masih banyak cara untuk berbakti pada tanah air, ini hanyalah satu dari sejuta pilihan, seperti pesan Ibundanya.
Singkat cerita, hari pemilihan pun tiba. Kami semua tidak berdoa untuk menang, tapi berdoa untuk yang terbaik. Optimisme jelas ada, tapi semua kami serahkan pada Yang Maha Kuasa.
- ••
Seperti semua tahu, hasil perhitungan suara tidak berpihak pada kemenangan beliau dalam kontes ini. Kekecewaan pasti ada. Sayapun kecewa. Saya yang nyata berusaha untuk tidak terlalu berharap karena bersaing dengan tokoh-tokoh yang juga saya kagumi dan tahu sudah lama melakukan persiapan untuk ini pun tidak bisa mencegah bahwa kesedihan itu ada.
#intermezzo
Bahkan salah satu kontestan sempat bersilaturahim beberapa tahun yang lalu untuk meminta dukungan dari keluarga ayah saya yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat untuk maju ke ranah Pilgub. Keluarga kami pun mendukung penuh tanpa pernah mengira akan ikut berlaga dalam kontes yang sama. Kami sempat kaget dan akhirnya tertawa (bukan nyinyir) “euleuh kumaha atuh kalahka jadi lawan.. ah wayahna weh da kumaha deui 😂😂🤦🏻♀”
Melihat hasil quickcount yang tidak memberi harapan untuk kemenangan, saya dan keluarga memutuskan untuk bergegas berkemas dan menemui beliau. Takut beliau luput dalam kekecewaan dan membutuhkan support kami sebagai keluarganya yang terdekat (ataukah sebaliknya?). Perjalanan Bandung-Tasikmalaya terlama yang saya rasakan.
Ternyata sesuai dugaan. Begitu saya sampai ke kediaman, beliau sedang berbincang-bincang saja dengan rekan-rekannya. Ternyata yang lebih membutuhkan perjalanan ini adalah saya, bukan Abah. Seperti sebelumnya, saya pun mencium tangannya dan bertanya “Gimana bah?”, sambil menahan air mata. Beliau menjawab dengan tenang “Ah, yauda, tenang aja gapapa”. Entah mantra apa yang mengenai saya, melihat beliau santai, saya pun seketika tenang dan lega.
Saya pernah melihat bagaimana beliau menahan sakit fisik yang semua orang pasti tahu itu sakit, tapi tak sedikitpun raut mukanya menunjukkan sakit. Hanya seperti terdiam dan dengan tatapan lurus menahannya. Tak ada kernyitan apalagi airmata. Saya saat itu hanya berpikir “Thats how a soldier suppose to be”. Sehingga dalam situasi seperti ini kadang saya tak tahu apakah dia menahan sedih atau memang tegar. Dan kadang tak mau tahu, karena memang beliaulah sang “Anchor”. Jadi saya telan saja bulat-bulat ketegaran itu.
Kami mengobrol sampai malam. Evaluasi semua yang terjadi dan sedikit cerita-cerita tak terduga (bagi saya) mengenai bagaimana kontes politik itu tak sesederhana mencoblos dan menghitung kertas suara. Sehingga tak terasa, saya tak lagi ingat tentang menang kalah. Seluruh perjalanan dan pengalaman ini akan kami ingat sebagai pengalaman dan pengetahuan baru yang berkesan.
Selama perjalanan, ada datang berbagai dukungan dari banyak pihak (berbagai cacian pun ada tapi hanya komen-komen di medsos yang Abah saya bilang tak usah dihiraukan 😂). Dukungan datang dengan berbagai alasan. Ada yang memang mengikuti dan mengagumi sosok Abah, ada pula yang mendukung karena tali persaudaraan dan pertemanan. Apapun alasannya, semua menjadi tali silaturahim baru yang saya harap tidak terputus begitu saja.
Saya juga sempat terharu keika tahu para rekan pengawal pribadi yang selama ini menemani abah berkampanye ke pelosok Jawa Barat, sempat menangis karena kecewa. “Kasihan Abah, katanya. Tidur juga cuman sempet di mobil. Sakit juga ga pernah mau banyak yang tahu.. cuman pengen mimpin Jabar dengan baik”.
Tapi kita bukanlah penentu. Kecewa itu manusiawi, yang terbaik hanya الله yang tahu. Maka harus kita terima keputusanNya menyelamatkan kita semua dari segala yang belum menjadi baik untuk umatNya.
Kita semua pemenang, terutama Abah di hati Ajeng.
Your daughter,
-Ajeng Rahma Charliyan-
Komentar