Oleh : Hendri Hendarsah (ASN MTs Negeri 2 Kota Tasikmalaya)
KETIKA berbicara antropologi tidaklah salah ketika asumsinya akan berbicara tentang manusia, perilaku, adat istiadat, budaya dan peradaban. Karena antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dari keragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi dan nilai-nilai) yang dihasilan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. (Saebani Ahmad : 2012). Antropologi secara fisik, maka akan berbicara tentang manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan sebagai budaya, maka kajiannya terkait manusia sebagai mahluk sosial (berbudaya).
Madrasah yang merupakan lingkungan akademis yang mana didalamnya ada guru, staff dan siswa. Yang paling penting yang merupakan ciri utama madrasah adanya guru dan siswa yang merepresentasikan adanya hubungan saling bertukar informasi dan pengetahuan. Pandangan antropologi, guru dan siswa memiliki berbagai macam karakteristik dalam menjalankan perannya masing-masing. Siswa di madrasah yang memiliki latar belakang heterogen dan memiliki tujuan yang berlainan satu sama lain, sangatlah menarik perhatian dan pembahasan dalam perspektif antropologi. Dalam hal ini tentu lingkungan madrasah yang didalamnya terjadi pertukaran informasi dan kegiatan akademis guna tercapainya tujuan masing-masing individu.
Madrasah “Warna Kehidupan”
Madrasah adalah rumah kedua bagi para siswa. Pandangan antropologi, ini memberikan suatu asumsi bahwa madrasah bagian dalam proses perubahan siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya, yang lambat laun memberikan dampak perubahan perilaku siswa itu sendiri. Saebani Ahmad (2012) memberikan batasan tentang perubahan sosial yaitu sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola-polanya didalam masyarakat. Perubahan ini terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Ditinjau dari antropologi, siswa sebagai manusia memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan. Manusia melalui akal budi yang dimilikinya dapat membuat kebudayaan, dan hampir setiap tingkah lakunya adalah kebudayaan. Manusia memiliki empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu penganut kebudayaan, manipulator kebudayaan, pembawa kebudayaan dan pencipta kebudayaan.
Kebudayaan juga dapat mempengaruhi kepribadian manusia. Kita bisa perhatikan siswa dan guru memiliki kebudayaan berbeda-beda dan memiliki kepribadian yang berbeda pula. Dalam antropologi hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian dijelaskan dalam beberapa teori, yaitu 1) Teori Empirisme atau Environmentalisme; Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan kepribadian manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. 2) Teori Nativisme atau Naturalisme; Teori nativisme disebut aliran negativisme atau pesimisme. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sejak lahir telah memiliki kemampuan asli atau bakat yang bersifat naturalisme dan berkembang dengan sewajarnya. Teori ini percaya kepribadian manusia banyak ditentukan oleh berbagai faktor yang dibawa sejak lahir. 3) Teori Konvergensi; Teori ini memadukan faktor bawaan sejak lahir dan faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan kepribadian manusia.
Tentunya kalau dilihat dari ketiga teori diatas, maka perubahan budaya dan perilaku siswa dan guru di madrasah bisa mengarah kepada perubahan yang lebih baik ataupun sebaliknya. Maka selayaknya madrasah sebagai institusi memberikan ruang gerak baik guru dan siswa untuk melakukan suatu perubahan kearah yang lebih baik dengan menghadirkan madrasah yang nyaman, tentram, ramah anak dan ramah lingkungan sehingga pencapaian tujuan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani tercapai secara maksimal.
Mengajar dengan Cinta dan Kasih Sayang
Manusia yang memiliki rasio dan perasaan, tentunya secara alamiah mengharapkan kepuasan bathin yang maksimal dalam upaya pencapaian tujuan-tujuannya. Kehadiran siswa di madrasah memberikan instrumen sebuah identitas madrasah, begitupun guru, karena keduanya memiliki tujuan sama mulia yaitu menuntut ilmu.
Tujuan pendidikan nasional kita setidaknya memberikan gambaran yang jelas bahwa pendidikan nasional bertujuan membentuk peserta didik yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Ketiga dimensi tersebut tentunya harus menjadi tujuan yang harus dikedepankan oleh semua unsur terkait, sehingga amanat undang-undang sistem pendidikan nasional dapat tercapai sesuai dengan harapan. Dalam impelemntasinya, maka dalam sebuah madrasah harus menghadirkan pendidikan yang humanis yang memberikan ketenangan kepada para peserta didiknya. Maka salah satu ikhtiarnya yaitu guru bisa memberikan pengajaran dengan penuh kasih kasayang kepada para peserta didiknya. Guru memberikan perhatiannya secara adil kepada seluruh siswa. Memberikan motivasi kepada siswa berprestasi dan memotivasi kepada siswa yang belum meraih prestasi secara proporsional. Ungkapan guru yang selalu “di gugu dan ditiru” sebagai pahlawan tanpa tanda jasa senantiasa melekat dalam kepribadian guru. Ilmunya yang selalu dinantikan dan kehadirannya selalu ditunggu di dalam kelas.
Mengajar dengan cinta yang dilandasi kasih sayang kepada peserta didik setidaknya memberikan kenyamanan, ketenangan kepada peserta didik sehingga madrasah betul-betul menjadi rumah kedua bagi siswa dalam mengembangkan karakter/kepribadian menuju manusia yang berakhlakul karimah yang memiliki kecerdasan akademik maupun sosial. Pada akhirnya Madrasah adalah sebuah pilihan utama bagi para orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya dalam menimba ilmu Sains dan Agama. SEMOGA.(***
Komentar