Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran & Ketua Harian Lintas Budaya Nusantara se Indonesia)
MASYARAKAT ADAT sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang masih pengkuh dan taat memegang adat serta tradisi yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka hidup basajan ‘sederhana’, tentram, dan damai. Jauh dari hingar bingar keramaian serta kemewahan duniawi. Masyarakat adat yang ada di Jawa Barat dan Banten, seperti masyarakat adat Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Kuta, Sirnarresmi, Ciptagelar, maupun masyarakat adat Baduy (khususnya masyarakat adat Baduy Dalam), seakan-akan tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi.
Ketentraman masyarakat adat bukan berarti tidak memiliki permasalahan yang tengah dihadapinya. Selama ini ada beberapa hal yang masih dirasa ada ketidakadilan yang dialami oleh mereka, terkait permasalahan hak kepemilikan tanah adat. Padahal tanah adat merupakan hak kepemilikan yang syah, dan tertua yang ada di Nusantara ini. Berdasar hal tersebut, Forum Silaturahmi Sunda Sabuana, bekerja sama dengan Lembaga Independen Tradisi Adat Sejarah dan Budaya Nusantara (Lintas Budaya Nusantara) serta Sukapura Ngadaun Ngora, pada hari Kamis, tanggal 07 Maret 2024 mengadakan Sarasehan “Permasalahan Status Tanah Adat di Wilayah Tatar Pasundan dan Banten”, bertempat di Padepokan Batu Ampar Galunggung, Singaparna Tasikmalaya. Sarasehan tersebut, diinisiasi dan digagas oleh mantan Kapolda Jawa Barat, sekaligus mantan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol. Dr. H. Anton Charliyan, M.PKn.
Sarasehan Permasalahan Status Tanah Adat di Wilayah Tatar Pasundan dan Banten tersebut, dalam upaya ikut serta memperjuangkan hak-hak kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dan keraton, serta kesultanan yang ada di wilayah Jawa Barat dan Banten, yang selama ini sulit mereka perjuangkan, meskipun mereka yakin bahwa masyarakat adat adalah pemilik yang syah dari tanah adat yang mereka tinggali sejak zaman nenek moyang orang Sunda secara turun temurun. Permasalahan sengketa tanah adat, selama ini terkendala oleh sistem administrasi dan birokrasi, terlebih lagi karena adanya campur tangan para mafia tanah (oknum pegawai/oknum pejabat). , yang sering mengintimidasinya agar masyarakat adat tidak melakukan protes dan tidak memperjuangkan hak-haknya, yang mungkin dianggap akan menghalangi dan merugikan para tuan tanah beserta para mafianya.
Masyarakat adat dan kerabat kerajaan menurut narasumber sarasehan Agustiana, bahwa masyarakat adat dan keraton, memiliki hak terhadap tanah adat dimaksud, karena mereka adalah pemilik tanah yang syah. Maka dari itu, masyarakat adat tidak perlu ragu untuk memperjuangkan hak miliknya. Hal ini dimungkinkan karena tanah adat merupakan hak milik tertua yang ada di Nusantara, khususnya yang ada di Jawa Barat dan Banten. Dipahami bahwa ada kendala yang sulit untuk mengurus hak tanah adat, karena tanah adat belum terdaftar dalam sistem administrasi Badan Pertanahan Negara. Selain itu, masyarakat adat pun belum berani mengakuinya secara de facto, karena ketidakpahaman mereka terhadap aturan yang selama ini berlaku di Indonesia.
Tanah milik keraton pun tercecer, seperti yang terjadi di Cirebon, yang sampai saat ini di wilayah Keraton Cirebon tersebut, tanah adat banyak dikuasai perusahaan swasta dan BUMN. Sementara itu, pihak Keraton Cirebon dan masyarakat adat hanya sebagai penonton, tanpa bisa bicara banyak, tanpa protes. Andaikan hal ini diajukan pengurusannya, hak masyarakat adat atau keraton selalu menghadapi kendala birokrasi yang rumit dan sulit ditempuh. Demikian pula dengan Keraton Sumedang dan Banten.
Tindak lanjut sarasehan permasalahan kepemilikan tanah adat dimaksud, disepakati untuk membentuk satu komunitas gabungan antara masyarakat adat dan keraton di Jawa Barat dan Banten, yang diharapkan dapat terus memperjuangakan hak-hak kepemilikan tanah adat, serta mengusulkan dibentuknya Dewan Lembaga Agraria Nasional, mengusulkan agar mengukuhkan lembaga adat di Jawa Barat dan Banten, serta merekomendasikan hak kepemilikan tanah adat kepada Presiden dan kementrian terkait, untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap tanah adat dan hak kememilikannya, karena mereka memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya di Indonesia ini. Jangan dinomorduakan, serta tidak boleh mengintervensi hak dan kedaulatan masyarakat adat di wilayah kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya di wilayah Jawa Barat dan Banten saja, karena pada dasarnya mereka sama, di mana pun tempatnya.
Pelaksanaan Sarasehan Permasalahan Status Tanah Adat di Wilayah Tatar Pasundan dan Banten tersebut, mampu meningkatkan kepercayaan, taraf hidup, dan kesejahteraan hajat hidup masyarakat adat di mana pun berada di Republik Indonesia tercinta ini, serta mampu menyejajarkan diri dengan masyarakat pada umumnya. Yang tidak kalah pentingnya juga, diharapkan masyarakat adat bisa mengajukan & memperoleh hak atas tanah miliknya, melalui kepemilikan sertifikat seperti yang lain.(***
Komentar