oleh

Hukum Internasional Tolak Separatisme, Papua NKRI Final

Jakarta,LINTAS PENA

Isu separatisme dan terosisme yang sekarang muncul di Papua disebut banyak kepentingan dan pelintirannya. Tak hanya di Papua, isu sama juga sudah banyak muatan kepentingannya di sejumlah negara. Hukum internasional menegaskan Papua bagian dari NKRI.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Dr Damos Dumoli Agusman, saat webinar dengan tema ‘Separitism and Terroism in Papua’ yang digelar Perhimpunan Eropa untuk Indonesia, akhir pekan lalu, dalam keterangannya, Senin (21/6).

“Isu separatisme dan terorisme di Papua kadang banyak pelintiranya. Separatisme selalu bertetangga dengan konflik. Harus diciptakan agar mimpi kemerdekaan itu tetap on atau terus ada,” kata Damos.

“Konflik ini berdimensi HAM, dan ujung ujungnya lari hak untuk merdeka. Biasanya isu HAM ini dicampuraduk. Ini yang kami cermati di publik,” kata dia.

Separatisme yang menimbulkan konflik ini, menurut dia, berdimensi hak asasi manusia (HAM) yang ujung-ujungnya lari ke hak untuk merdeka.

Sayangnya, kata Damos , pendekatan isu ini juga menggunakan antropologi, politik, sejarah dan lainnya, sementara perspektif internasional justru tidak digunakan. “Padahal jika ditilik dari hukum internasional persoalan tersebut sudah tuntas berbicara separatisme, berbicara internasional,” imbuhnya.

Para pendukung Papua merdeka, lanjut Damos selalu berdalih bahwa Papua bukan bagian republik Indonesia saat proklamasi. Benarkah Papua saat Indonesia memerdekakan diri, berada di NKRI?

“Pada 1885 kolonial sudah masuk. Di mana ada pengakuan Inggris dan Jerman dalam perjanjian perbatasan East New Guinea di Papua ada perjanjian Inggris Belanda 1895. Paling penting adalah dokumen pamungkas konsitusi Belanda pada saat Indonesia merdeka. Di 1938 Papua bagian dari Netherlands East Indies,” tuturnya.

Dia mengatakan, Papua di pembahasan wilayah BPUPKI pada 10-14 Juli 1945 ini menghasilkan tiga opsi. Pertama Hindia Belanda dengan 19 suara. Hindia Belanda plus Malaya, minus Papua enam suara, dan Hindia Belanda, Malaya, Brunei, Portugis.

“Pada 12 Agustus 1945 Presiden Soekarno dan Hatta berangkat ke Dalat Saigon Vietnam bertemu dengan Jendral Terauchi.

Hasilnya Jendral Terauchi hanya menerima wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah RI tidak lagi dibahas dalam UUD.

Sementara itu, mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka John Al Norotouw mengatakan bahwa konflik di tanah Papua harus diatasi karena Tanah Papua bagian dari NKRI.

Papua sudah diakui dan dinyatakan PBB masuk dalam pangkuan Indonesia.”Saya ingin menyatakan kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia di lapisan mana pun sampai Bapak Presiden. Indonesia disatukan dengan kebhinekaan dari perbedaan. Papua sangat berbeda, tetapi di antara itu banyak dari berbagai suku mendiami Papua,” kata dia.

Dia menyebut orang Papua lah yang sangat mencintai Indonesia dan setia menjadi warga Indonesia. Dia menegaskan Papua bagian dari Indonesia sudah final karena diakui PBB.

Bahkan, kata dia, pihak-pihak yang mau memerdekakan Papua tidak mampu mencabut resolusi atau keputusan PBB ini. “Tidak punya dan tidak mampu mencabut resolusi itu, karena dipilih dari suara (negara berdaulat) di PBB,” pungkasnya.(RED)***