Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S (Dosen Filologi di Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)***
SIAPA bilang wanita itu lemah, dan tidak berdaya. Andai kita telusuri secara seksana, perjuangan seoarang Ibu dari masa ke masa, tidaklah sepicik yang kita bayangkan. Terkadang, kita berpikir sempit terhadap kiprah dan perjuangan seorang Ibu dalam kehidupan sehari-hari, dan disepelekan. Hal ini mungkin berkaitan dengan bias-bias gender, yang belum begitu merata dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di pedesaan atau daerah-daerah terpencil yang secara kasat mata, menyudutkan peran dan fungsi perempuan yang dianggap rendah martabatnya dibanding pria.
Zaman telah berubah, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era mileneal saat ini, kita tidak bisa menutup mata dan mengabaikan peran penting seorang ‘Ibu’, yang dalam beberapa hal berusaha untuk menyejajarkan diri dengan pria, tanpa meninggalkan batasan-batasan yang tidak seharusnya diabaikan. Tatanan moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat harus tetap dijaga. Demikian halnya dengan nilai-nilai adat dan tradisi yang masih melekat dalam kehidupan bermasyarakat, itu wajib ditaati untuk menjalankan dan menghormati marwahnya sebagai seorang perempuan sekaligus sebagai seorang ibu.
Sejalan dengan peran seorang ibu dalam kehidupan sehari-hari, seperti di bulan suci Ramadan saat ini, perjuangan seorang ‘ibu’ sebenarnya berperan ganda, apalagi bagi ibu yang bekerja juga di luar rumah. Karena selain berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarganya, wanita harus menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, yang di bulan Ramadan tersebut berlipat ganda. Seorang Ibu harus menyiapkan segala keperluan untuk berbuka puasa dan makan sahur bagi keluarganya, yang selalu dilakukannya dengan bertanggung jawab dan iklas. Dia tidak memikirkan beban hidup yang harus ditangggungnya, apalagi bagi wanita yang berperan sebagai single parent. Yang terpenting bagi dirinya, semua keperluan keluarganya tercukupi. Beban seberat apapun dihadapi dan dijalaminya dengan sabar dan iklas. Kerja kerasnya tersebut terkadang dianggap sebagai ‘hal sepele’dan hal dianggap ‘biasa’ dalam kehidupan. Padahal sebenarnya pekerjaan rumah tangga yang diperankan dan dijalani oleh seorang ibu merupakan tugas yang berat dan mulia. Hal itu membuktikan bahwa ibu adalah sosok wanita tangguh, yang tidak pernah mengeluh. Kesehatan, keberhasilan dan kesuksesan putra-putrinya merupakan prioritas utama bagi dirinya, tanpa memikikan kesehatannya.
21 April sering diperingati sebagai hari Kartini, yang dianggap sebagai ‘Ibu’ emansipasi wanita pada zamannya. Emansipasi yang bagaimanakah yang diinginkan oleh para wanita saat ini? Apa acuan emansipati bagi para wanita di era mileneal? Apakah wanita masa kini sudah keluar dari peribahasa aweéwé dulang tinandé? Apa kriteria ‘emansipasi bagi seorang wanita? Jangan sampai kita terjerumus terhadap perilaku yang meninggalkan tata, titi, surti, jeung paranti. Wanita Sunda harus mampu menjalankan papagon hirup, yang diiringi dengan kesantunan, kesopanan, tatakrama, berbasis kearifan lokal masyarakat. Kita harus mampu memilah dan memilih adat istiadat dan tradisi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Kepandaian, kecerdasan, kehebatan, dan kecerdikan para manita sebagai srikandi Indonesia telah memperlihatkan adanya ketangguhan yang luar biasa bagi seorang ‘ibu’. Hal ini dapat kita cermati dari peran wanita dalam memperjuangkan hak dan kewajiba dirinya di kancah perjuangan, sejak dulu sampai sekarang, yang tetap berpedoman terhadap adat, tradisi, moral, norma-norma, aturan, dan etika bangsa Indonesia itu sendiri,
Persoalan perempuan terus menerus bergulir, termasuk kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual. Bias-bias ketidakadilan gender pun terus menggema, meskipun saat ini telah terjadi pergeseran norma, sehubungan dengan persepsi, sikap, dan tingkah laku wanita di masa lalu dan wanita di masa kini. Hal ini dikaitkan dengan anggapan yang melekat dalam diri ‘perempuan’, yang selain cantik, anggun, lemah lembut dan emosional, juga masih dianggap tidak berdaya, namun sebenarnya tidak jarang juga bahwa ‘jatuhnya’ seorang laki-laki, selain karena harta dan tahta, juga karena ‘wanita’ .
Status, peran, dan fungsi wanita sebagai ‘istri’, dihubungkan dengan kehidupannya yang dicurahkan bagi kepentingan suami dan anak. Hal itu tergambar dalam beragam naskah Sunda, khususnya naskah-naskah pesantren yang banyak mendapat pengaruh Islam, di antaranya Wawacan Piwulang Istri, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Barjah, Nyi Jaojah, dan Nasihat Nabi Muhammad Kepada Putrinya. Di samping itu, dalam novel Sunda seperti Puputon, Pipisahan, Baruang Ka Nu Ngarora, dan Lain Eta, meskipun berbeda zaman dan ada nuansa gambaran wanita kekinian, masih tetap menampilkan sosok wanita tradisional, yang tetap melekat dan tidak hilang di masa kini.
Kehidupan masyarakat memang sudah berubah. Di era milenial secnggih ini peran dan kedudukan sosok ‘ibu’ tangguh ini dalam beberapa hal telah sejajar dengan kaum pria. Tidak sedikit kaum Ibu yang memegang kedudukan tinggi, memegang kendali setaraf dengan kaum pria. Peran dan kedudukan Ibu tangguh pun sudah sangat berbeda. Namun di balik itu pula ada hal-hal yang masih sama, bergantung kepada bagaimana Ibu tangguh itu menyikapinya. Yang jelas, setinggi apapun kedudukan seorang ‘perempuan’, dia tetap seorang istri, ibu, dan ‘wanita’ yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah dan keluarganya. Itulah “kodrat” seorang wanita sepanjang masa. Ada yang mampu melawan takdir? Resapilah! (****