CATATAN: REDI MULYADI
DALAM buku catatan pribadi, saya mulai menulis di surat kabar sebagai penulis lepas, wartawan freelance dan entah apa lagi namanya, tertulis 10 Oktober 1987. Jadi, selama 30 tahun bergelut di dunia tulis menulis, tepat 10 Oktober 2017 ini. Lama juga tuh….! Dan tentunya banyak suka duka. Tapi lebih banyak sukanya.
Pada masa orde baru itu, media cetak (surat kabar harian, koran mingguan dan majalah) masih bisa dihitung.Pikiran Rakyat Group (Mitra Desa, Hikmah Galura, Pikiran Rakyat ), Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Peluang, Kapital, Harian Terbit, Pos Film, Harian Waspada, Minggu Pagi, HU Jayakarta, Swadesi, Buana Minggu, Mandala, Gala, Mangle, Bandung Pos, Panasea, Kartini, Amanah, Pertiwi, Senang (Kompas Gramedia Group), Seru (Kompas Gramedia Group) dan lain-lainnya. Pada masa orde baru , hanyalah sebagai wartawan “freelance” lepas. Setelah itu menjadi wartawan Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI) dan Tabloid SINAR TANI Biro Priangan.
Jumlah wartawan yang bertugas di wilayah Priangan Timur tercatat hanya 45 orang yang tergabung dalam wadah PWI (satu satunya wadah organisasi profesi wartawan—yang saat itu hanya PWI) plus saya yang freelancer: Tasikmalaya 20 orang, Ciamis (Banjar dan Pangandaran) 15 orang dan Garut 10 orang.
Sudah dijelaskan dibagian atas , ternyata “banyak suka dukanya” sebagai jurnalis, tapi banyak sukanya.
Ada satu kejadian yang selalu kuingat ketika aku hendak berjanji pada seseorang. Adalah ketika hendak mewawancarai seorang ulama besar yang kharismatik almarhum KH.Khoer Affandi sesepuh Pondok Pesantren “Miftahul Huda” Manonjaya Kab.Tasikmalaya.
Pada hari Rabu (lupa tanggalnya), bulan Februari 1990, saya bertemu dengan ulama “jumhur” kharismatik Uwa Ajengan Khoer (panggilan akrabnya) di Jln.Kaum komplek Mesjid Agung Tasikmalaya, setelah memberikan tauziyah pada pengajian mingguan.Karena waktu itu sering memuat berita profil pondok pesantren di Majalah Amanah, Salam dan Hikmah (PR Group), maka saya pun berniat mewawancarainya yang menaiki mobil dan pulang ke Pondok Pesantren “Miftahul Huda” Manonjaya, dan menyampaikan niat saya itu.
Dengan suara lembut tetapi berwibawa, beliau berkata: “Uwa tunggu besok jam 10 di pesantren,”katanya.
Keesokan harinya (Kamis),dari Sukaratu ke Manonjaya nak ojeg dan angkutan umum (angkot dan angdes) membutuhkan waktu cukup lama karena masih jarang. Namun, tiba di Pondok Pesantren “Miftahul Huda” Manonjaya pukul 09.58 WIB, tepat di depan pintu rumah Uwa Ajengan Khoer dan disambut seorang pria yang membuka pintu (santri kayaknya) Dia mengabarkan,”Sekitar 5 – 10 menit Uwa sudah berangkat ke Bandung karena ada undangan ceramah,”katanya.
Deg…jantung pun berdetak keras.Terlambat 5-10 menit. Namun, hati berkata lain “Bukankah Uwa sendiri yang menjanjikan untuk ketemuan? Maksudnya, menjanjikan waktu untuk bertemu? Koq bisa seorang….!! Ya, sudahlah….”gumanku.
“Kapan pulangnya?”
“Mungkin hari Sabtu sore,”katanya.
“Ya,gak apa-apa….! Tolong bilangin ke Uwa, kalau saya datang kemari tepat waktu,”
“Muhun mangga,”sahutnya.
Hati memang mangkel. Tapi apa hendak dikata, akhirnya aku pun balik kanan hendak pulang, dengan langkah gontai.
Langkah demi langkah meninggalkan pintu.
Nah, begitu langkah kaki entah ke berapa sampai ke halaman pesantren, tiba tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan saya.Sang sopir pun berucap,”Kang, ieu Uwa Ajengan gaduh jangji sareng Akang...”katanya.(Kang, ini Uwa Ajengan punya janji sama Akang…)
Deg…lagi jantung berdetak keras. Dan memang benar adanya, kalau Sang Kyai ada di dalam mobil. Kemudian mobil melaju dan berhenti di depan rumah. Tak berapa lama, sopir membukakan pintu,sambil berkata lagi.”Nembe dugi ka pintu rel kareta api Cibeureum, Uwa Ajengan nyarios, saurna gaduh jangji sareng Akang…..” katanya. (Baru sampai pintu rel kereta api Cibeureum ( sekitar 1 km), Uwa Ajengan bicara, katanya punya janji sama Akang….).
Lantas, almukarom KH.Khoer Affandi yang kharismatik pun keluar dari mobil dengan susah payah sambil bertutur kata santun,”Hampura pisan Uwa….! Uwa poho yen poe ieu boga jangji ka hidep,”katanya. (Mohon maaf,Uwa…! Uwa lupa, kalau hari ini punya janji sama kamu.)
Aku sempat tertegun mendengar tutur kata beliau yang minta maaf. Seorang ulama besar minta maaf kepada anak muda (ketika itu usiaku 20 tahun) hanya karena lupa? (Lupa itu bukan disengaja).
“Jangji teh hutang…” katanya sambil mengajakku masuk ke rumah.
Untuk sekedar menepati JANJI-nya, beliau minta waktu wawancara selama 30 menit, karena akan berangkat ke Bandung untuk memenuhi undangan ceramah. Selama 30 menit itu benar-benar dimanfaatkan untuk wawancara secara detail. Sebelum mengakhiri obrolan, Uwa Ajengan Khoer sempat memberikan sejumlah “petuah” nasehat yang sangat berharga dan sempat ditulis: “Jangan berhenti mencari ilmu, Jangan berhenti mencari teman, Lamun hayang maju ulah eureun mikir (Kalau mau maju jangan berhenti berpikir), Lamun hayang maju kudu daek cape (Kalau mau maju harus mau capek), Sanajan teu lumpat tapi ulah cicing (Walaupun tidak berlari tetapi janganlah berhenti), Mun hayang beunghar kudu rikrik gemi (Kalau mau kaya harus hemat) “ dan masih banyak lagi nasehat penting, terutama kaitannya dengan masalah agama/ibadah.
Itulah JANJI seorang ulama besar kharismatik almarhum KH Khoer Affandi yang menepati JANJI-nya kepada penulis. Semoga kita selalu menepati JANJI termasuk JANJI POLITIK.
***CATATAN: Pembaca setia, nantikan juga tulisan tentang JANJI dari seorang Ulama Kharismatik KH Ilyas Ruhyat sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Singaparna dalam episode tersendiri “Karena JANJI Rela Menanti”