Oleh : Nur Dayyan Umar, C..PS ( Penulis, Penceramah, Spiritualis )
DI ZAMAN MODERN seperti sekarang ini, banyak yang beranggapan terutama kaum muda-mudi bahwa filosofi hidup orang jawa itu sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan sekarang yang serba canggih. Banyak kaum muda-mudi yang bahkan berasal dari Suku Jawa asli tidak mengenal satu pun filosofi jawa. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa budaya zaman dahulu itu kuno.
Mereka lebih memilih mengikuti budaya bangsa barat karena menurut mereka itu lebih keren. Tak heran jika suatu saat nanti ajaran moral dan filosofi yang diturunkan dari nenek moyang kita akan lenyap dari tanah jawa ini kalau tidak dilestarikan.
Meskipun dahulu orang jawa belum mengenal agama, filosofi hidup orang jawa memiliki makna yang sangat mendalam dan sangat berarti bagi kehidupan manusia. Bahkan, ajaran filosofi orang jawa juga tidak ada yang menyimpang dari aturan agama dan negara.
Contohnya adalah jika ada upacara sakral di Suku Jawa, biasanya sesepuh desa akan menyiapkan beberapa sesaji. Masing-masing sesaji pasti memiliki makna tersendiri. Sesaji yang paling sering digunakan yaitu kembang telon, terdiri dari bunga mawar, kenanga, dan kantil.
Dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri tunggal jaya sampurna) yaitu Sugih banda, sugih ngelmu, sugih kuasa (Kaya harta, Kaya ilmu, dan Kaya Posisi). Bunga Telon yang terdiri dari bunga mawar, melati, Kantil yang memiliki kesempurnaan.
Bunga Kantil ( kanthi laku, tansah kumanthil)
Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani (Serat Wedhatama) untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama).
Bunga kanthil berarti, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya. Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk.
Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan nyawa melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya maha lemah)
Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk. Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan sejahtera lahir dan batinnya.
Bunga Kenanga (Kembang KENANGA, Keneng-a!)
Atau gapailah..! segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogianya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing angga. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
Bunga Melati (Kembang MLATHI, rasa melad saka njero ati).
Dalam berucap dan berbicara hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang paling dalam. Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi, bermakna filosofis bahwa setiap orang melakukan segala kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), jangan hanya dilakukan secara gerak ragawi saja.
Dalam sisi spiritual kembang telon juga memiliki makna mendalam yaitu keseimbangan atau keselarasan dari dalam dan luar diri (pikiran, ucapan, dan perbuatan). Filosofi dari kembang telon sendiri yaitu “uripmu MAWARno-warno, KENO NGOno keno ngene, ning atimu kudu KANTIL marang gusti ingkang murbeng dumadi”.