Oleh: Aros*
GUS DUR tumbuh dan berkembang di masa kecilnya memang berpindah-pindah, Jombang-Jakarta. Karena sang ayah pernah menjadi Menteri Agama, sekaligus juga pernah menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng. KH. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.”
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah Bisri. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.
Sejak Kecil Gus Dur dikenal sebagai anak yang aktif, bahkan hiperaktif, tidak bisa diam, dan bandel. Baik di Denanyar maupun di Tebuireng, Gus Dur sering berbuat ulah, jail, dan merepotkan. Tahun 1944, Gus Dur pindah ke Jakarta karena sang ayah diminta menjadi ketua pertama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tahun 1945 pasca kemerdekaan, keluarga Gus Dur kembali ke Jombang. Namun, tahun 1949 setelah perang melawan sekutu selesai, kembali lagi ke Jakarta karena ayahnya, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama RI.
Pada tahun 1952, ketika berumur 12 tahun, saking aktif dan semaunya, Gus Dur pernah megalami dua kali patah tulang lengan. Pertama kali lengannya patah karena terjatuh dari pohon akibat dahan yang dia injak patah. Kemudian, Gus Dur juga hampir kehilangan tangannya untuk kedua kali dalam satu masa usia. Kisahnya, waktu itu Gus Dur mengambil makanan dari dapur lalu memakannya di atas pohon besar. Karena keenakan di atas pohon sampai tertidur lalu menggelinding dan terjatuh ke bawah.
Greg Barton, dalam ingatannya soal Gus Dur, menceritakan dalam bukunya biografi Gus Dur, waktu itu dia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar. Dokter pertama yang merawatnya khawatir kemungkinan dia akan kehilangan tangannya. Beruntung, karena kecekatan dokter, tangannya bisa disambung kembali. Akan tetapi pengalaman ini hampir tak berpengaruh terhadap dirinya karena Gus Dur kecil tetap kurang berhati-hati dan selalu bertindak impulsif.
Perilaku Gus Dur yang bandel itu, kadang membuat Sang Ayah yang sangat sabar itu juga harus berlaku tegas. Kadang-kadang, Dur kecil diikat dengan dengan tambang di tiang bendera di halaman depan sebagai hukuman buat leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan.
Saat sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gus Dur juga pernah tidak naik kelas, karena sering bolos. Saat ditanya alasannya, mengaku tidak punya teman yang mengerti jalan pikirannya, sehingga malas sekolah, akhirnya bolos. Tapi bolosnya tidak ke mana-mana, dan mudah dicari sebenarnya, yaitu di perpustakaan Jakarta. Kadang juga bermain bola, olahraga kegemarannya.
Alhasil Gus Dur tidak naik kelas. Oleh ibunya Gus Dur dipindahkan ke Krapyak Jogja, diasuh oleh KH Aly Makshum. Tapi lagi-lagi, jiwa-jiwanya yang pemberontak tidak cocok dengan peraturan pesantren yang ketat. Gus Dur minta izin kepada ibunya untuk sekolah dan kos di luar pondok. Pada akhirnya, dia kos di daerah Kauman, di lingkungan sekitar Keraton Yogyakarta. Gus Dur remaja tinggal di rumah Haji Djunaid, seorang tokoh organisasi Islam Muhammadiyah. Haji Djunaid merupakan sahabat dekat Wahid Hasyim, ayah Gus Dur saat nyantri di Tremas Pacitan. Benar saja, sejak kos di luar pondok itu, Gus Dur semakin giat belajar.
Tapi, di balik kenakalan dan kabandelannya, Gus Dur adalah sosok anak yang tumbuh sangat cerdas. Gus Dur kecil juga dikenal sebagai pecandu buku bacaan. M Hamid, dalam bukunya berjudul: Gus Gerr: Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, mengisahkan soal hobi membaca Gus Dur. Hamid mengutip buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur.
Dalam buku itu dikisahkan, beberapa kali Gus Dur ditegur oleh ibunya soal kebiasaannya membaca buku yang terlalu. Nyai Solichah meminta putranya itu untuk mengurangi membaca agar matanya tidak sakit. Gus Dur saat itu baru berusia 10 tahun dan sudah membaca novel-novel dengan tingkat sastra tinggi. Soal mata, tidak bisa dipungkiri, sejak kecil Gus Dur sudah mulai memakai kacamata, dan saat dewasa gangguan kesehatan matanya semakin memburuk.
Gus Dur memang maniak membaca. Dia benar-benar memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Sudah dilahap semua dan merasa kurang, ia kerap berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia itu, dia sudah akrab dengan buku-buku serius, dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra.
Sejak duduk di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur sudah menguasai bahasa Inggris. Dalam waktu dua tahun, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah melahap beberapa buku bahasa Inggris, di antaranya; Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thalles, Novel karya William Bochner.
Adapun karya sastra yang dia baca diantaranya karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan William Faulkner. Dia juga tuntas membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti; Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky, dan Mikhail Sholokov.
Kecerdasan, pikiran yang liar, dan kritis itulah yang membuat Gus Dur tumbuh menjadi pribadi yang penuh semangat dalam mendobrak tatanan. Dalam Orde Baru, Gus Dur menjadi orang yang sangat ditakuti oleh rezim. Hingga berkali-kali terancam keselamatannya. Sang istri, Sinta Nuryah malah yang terkena. Sampai masa reformasi, saat menjadi presiden, Gus Dur juga suka melawan arus, seperti gonta-ganti pejabat pembantu presiden, konflik dengan Polri, memunculkan wacana dekrit membubarkan DPR, hingga dimakzulkan dari kursi RI 1.
Kita mungkin percaya bahwa apa yang dilakukan Gus Dur demi dan hanya demi bangsa ini. Bangunan pemikirannya tidak sesederhana yang kita pahami, sangat rumit dan bombastis. Namun, karena itu, tak semua orang mampu menerjemahkan alur pemikirannya. Bahkan cenderung dianggap ngawur dan desktruktif. Gus Dur memang tetaplah Gus Dur, keinginannya sangat kuat dan tidak goyah. Saat digoyang oleh keponakannya, Muhaimin dari kursi pimpinan PKB, Gus Dur tetap kekeh. Sering dikatakan Gus Dur soal para musuh-musuh politiknya, “Memaafkan sih iya, tapi lupa sih enggak”. Al-fatihah untuk Guru Bangsa ini.
Sumber: Tebuireng Online
Komentar