oleh

Istilah LEBARAN dan IDUL FITRI Memiliki Makna Yang Sama ?

Oleh: Raden Sukma Jati (Gubes Padepokan Santri Hikmah Nusantara Kab.Langkat)***

Pertanyaan:“Bagaimana dengan istilah LEBARAN yang selama ini dipersamakan maknanya dengan ‘IDUL FITHRI? Apakah secara bahasa, LEBARAN dan ‘IDUL FITHRI juga memiliki makna yang sama?”

Jawab,

LEBARAN (aslinya ditulis LĔBARAN) berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yakni berasal dari kata dasar LĔBAR (dibaca menggunakan huruf e pĕpĕt) sama seperti kita membaca kata ĔNAM, ĔMPAT atau ĔMAS.

Kata LĔBAR sendiri dalam bahasa Jawa Kuno maknanya adalah “habis, selesai, berakhir, undur diri, atau meninggalkan”. Sehingga dengan demikian maka LĔBARAN secara bahasa maknanya adalah “selesainya puasa” atau “berakhirnya puasa” atau “meninggalkan puasa”.

Sehingga jika LĔBARAN berkaitan erat dengan “waktu” berakhirnya puasa yang dalam beberapa hadits disebut dengan istilah YAUMAL FITHRI ( يَوْمَ اَلْفِطْرُ ), maka ‘IDUL FITHRI lebih berkaitan kepada “cara” yang dilakukan ketika (bulan) puasa telah selesai.

Secara maknawi, implementasi antara LĔBARAN dan ‘IDUL FITHRI dapat dijelaskan seperti ini,

Setelah 30 hari berpuasa di Bulan Ramadhan, maka LĔBARAN (bermakna “waktu berakhirnya puasa”) pun tiba, dan hal ini terjadi pada tanggal 1 Syawal, satu hari setelah berakhirnya Bulan Ramadhan. Pada saat LĔBARAN, Umat Islam secara serentak akan melakukan ‘IDUL FITHRI (bermakna “kembali makan” atau “kembali berbuka”) yang biasanya ditandai dengan makanan khas berupa KETUPAT yang tentu saja tidak berdiri sendiri alias didampingi oleh menu KUAH ber-SANTAN untuk kemudian dibagi-bagikan kepada tetangga dekat sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan menjalani ibadah puasa selama 30 hari lamanya.

Bukan tanpa alasan jika di Indonesia, perayaan ‘IDUL FITHRI pada saat LĔBARAN itu identik dengan makanan khas berupa KETUPAT dan KUAH ber-SANTAN. Selain merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, kedua makanan ini juga sarat dengan simbolik penuh makna.

H.J. de Graaf dalam bukunya yang berjudul “Malay Annual”, menuliskan bahwa KETUPAT merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Kerajaan Demak dipimpin oleh Raden Patah pada awal abad ke-15 Masehi.

KETUPAT sendiri adalah makanan pengganti nasi, yang terbuat dari beras tanak yang terbungkus (tersembunyi) di dalam anyaman JANUR (lembaran daun kelapa muda). Makanan ini baru tampak isinya apabila bungkusnya terbuka, yakni dengan cara mengiris secara horisontal pada wadah yang berbentuk empat persegi yang kerap dinamai dengan istilah “belah ketupat”.

BERAS yang tersembunyi dalam KETUPAT merupakan simbolik untuk sesuatu yang tersembunyi secara rapi di dalam JANUR (lembaran daun kelapa muda) yang ketika direbus dalam air panas yang mendidih selama kurun waktu tertentu akan berubah menjadi NASI yang memiliki sifat lembut (ketika masih berbentuk BERAS memiliki sifat keras).

BERAS adalah simbolik untuk NAFS atau JIWA yang memiliki dua sifat sekaligus, yakni sifat keras dan sifat lembut. Kedua sifat ini disebut dengan istilah FUJUUR dan TAQWAA sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syamsi ayat 7-8.

“Dan NAFS (Jiwa) dan penyempurnaannya. Lalu Allah mengilhamkan FUJUURA-HAA (sifat kerasnya) dan TAQWAA-HAA (sifat lembutnya).”

( QS. Asy-Syamsi 91:7-8 )

Ketika masih berbentuk BERAS, maka ia memiliki sifat keras, namun setelah direbus dalam air panas yang mendidih selama kurun waktu tertentu maka ia lambat laun ia pun akan berubah menjadi NASI yang memiliki sifat lembut.

NAFS atau JIWA yang secara alami dipenuhi oleh sifat ego atau sifat FUJUUR (sebagai perlambang dari BERAS dalam KETUPAT yang masih bersifat keras), kemudian digembleng selama 30 hari melalui ibadah Puasa dan ibadah-ibadah sunnah lainnya di Bulan RAMADHAN (sebagai perlambang dari proses perebusan BERAS dalam KETUPAT di dalam air panas yang mendidih selama beberapa jam — RAMADHAN sendiri berasal dari kata AL-RAMADHU atau AL-RAMDHAA’U yang berarti “sangat panas”), dan hasilnya kemudian NAFS atau JIWA pun berubah perlahan menjadi lembut atau menjadi didominasi oleh sifat TAQWA (sebagai perlambang dari berubahnya BERAS dalam KETUPAT menjadi NASI yang lembut).

Bukankah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 dinyatakan bahwa fungsi dari Puasa adalah untuk menjadi TAQWA?

“Hai orang-orang yang beriman, ditetapkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah ditetapkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi ber-TAQWA” ( QS. Al-Baqarah 2:183 )

Nah yang dimaksud dengan menjadi ber-TAQWA sebagai output dari puasa adalah agar NAFS atau JIWA menjadi didominasi oleh sifat-sifat TAQWAA (kebaikan) dan bukan didominasi oleh sifat-sifat FUJUUR (keburukan).

Berikutnya, jika BERAS adalah simbolik untuk NAFS atau JIWA yang tersembunyi secara rapi di dalam JANUR (lembaran daun kelapa muda) berbentuk persegi empat, maka JANUR itu sendiri merupakan akronim dari JATINING NUR yang bermakna “Cahaya Sejati”. 

Dengan demikian, orang yang benar puasanya adalah orang yang NAFS atau JIWA-nya senantiasa diliputi oleh JATINING NUR atau Cahaya Sejati, yakni Cahaya yang berasal dari Kebaikan dan Kelembutan Allah yang memiliki tiga sifat sekaligus, yakni LEMBUT, SUCI dan TEGUH (sebagai perlambang dari KETUPAT yang ketika dibelah akan memperlihatkan isinya yang LEMBUT karena telah berubah menjadi NASI, memperlihatkan isinya yang berwarna PUTIH sebagai simbol KESUCIAN dan memperlihatkan isinya yang PADAT mengikuti bentuk KETUPAT sebagai simbol KETEGUHAN).

Terkait ketiga sifat dari NAFS atau JIWA ini, Abu Abdillah al-Turmudzi menjelaskan bahwa NAFS atau JIWA yang LEMBUT adalah NAFS atau JIWA yang senantiasa takut kepada Allah. Sedangkan NAFS atau JIWA yang SUCI adalah NAFS atau JIWA yang mampu berbuat lembut kepada saudara-saudaranya, baik saudara dalam iman ataupun saudara dalam kemanusiaan. Sementara NAFS atau JIWA yang TEGUH adalah NAFS atau JIWA yang kuat dalam memegang Agama Allah.

Nah ketika NAFS atau JIWA telah diliputi atau diselimuti oleh JATINING NUR atau Cahaya Sejati, yakni Cahaya yang berasal dari Kebaikan dan Kelembutan Allah yang memiliki tiga sifat sekaligus, yakni LEMBUT, SUCI dan TEGUH, maka cahaya tersebut kemudian akan terpancar seluas-luasnya ke empat penjuru arah mata angin, yang disimbolkan dengan bentuk SEGI EMPAT (SIKU PAPAT). Dari sinilah kemudian muncul istilah KUPAT yang merupakan akronim dari SIKU PAPAT yang berarti “bersudut empat” sebagai perlambang dari empat penjuru angin (timur, barat, utara, selatan). Kata KUPAT inilah yang kemudian dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai KETUPAT.

Pertanyaanya:“Kenapa harus bersudut empat (SIKU PAPAT atau KUPAT)?”

Jawab,

Selain melambangkan empat penjuru arah mata angin sebagai simbolik dari Rahmatan lil ‘Alamiin (menjadi Rahmat bagi empat penjuru alam semesta), SIKU PAPAT yang diakronim menjadi KUPAT juga melambangkan empat tahapan dari proses penyempurnaan NAFS atau JIWA, yaitu: ENENG (Diam), ENING (Hening), AWAS (waspada) dan ELING (ingat).

“Dan NAFS (JIWA) dan Penyempurnaannya”( QS. Asy-Syams 91:7 )

Lebih lanjut, dalam Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu versi Tembang Macapat, Pupuh Pangkur, Bait 12-13, disebutkan bahwa ENENG (Diam) adalah tahapan dimana JIWA menjadi diam dan stabil, tidak mudah terpengaruh oleh segala fenomena yang terjadi di dalam diri dan di luar diri, sedangkan ENING (Hening) adalah tahapan dimana JIWA telah menemukan keheningannya meskipun masih tetap aktif dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, sementara AWAS (Waspada) adalah tahapan dimana JIWA sangat-sangat peka terhadap segala fenomena yang terjadi di dalam diri maupun di luar diri, dan terakhir adalah ELING (Ingat) yakni tahapan dimana JIWA senantiasa sadar sepenuhnya bahwa setiap aktivitasnya selalu berada dalam pengawasan Tuhan.

Lebih lanjut, selain merupakan akronim dari SIKU PAPAT (bersudut empat), KUPAT juga dapat dimaknai sebagai LAKU PAPAT (menjalankan empat hal setelah Bulan Ramadhan), yaitu: LEBAR, LEBUR, LUBER, dan LABUR.

LEBAR bermakna selesai atau berakhirnya puasa Ramadhan. LEBUR bermakna sirnanya semua dosa setelah menjalani puasa Ramadhan. LUBER bermakna melimpah ruahnya cahaya sejati (jatining nur) yang berasal dari cahaya kelembutan dan kebaikan Allah bagi orang yang benar puasanya, sedangkan LABUR bermakna menghiasi diri dengan segala kebajikan selama 11 bulan berikutnya hingga bertemu dengan puasa Ramadhan yang akan datang.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah,“Lalu apa makna dari KUAH ber-SANTAN yang selalu berdampingan dengan KETUPAT sebagai menu khas ‘IDUL FITHRI di waktu LEBARAN?”

Jawab,

SANTAN dalam bahasa Jawa disebut SANTEN, yang merupakan simbol dari PANGAPUNTEN yang berarti “maaf”.

Secara implementatif, simbolik SANTAN atau SANTEN dalam Bahasa Jawa yang merupakan simbol dari PANGAPUNTEN yang berarti “maaf” ini kerap dilakukan sebagai tradisi HALAL BI HALAL setelah ‘IDUL FITHRI, dan tradisi ini merupakan tradisi khas yang hanya ada di Indonesia yang sudah diwariskan secara turun temurun dari era Wali Songo, yang dilaksanakan untuk pertama kalinya di Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati.

Buktinya ada dalam Naskah Jawa asal Demak, yang berasal dari abad 17-18 Masehi (koleksi India Office Library di London, kode IOL Jav 10, masuk ke London tahun 1820-an), yang berjudul “Sějarah Sagung ning Para Ratu” (diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi “History of Java from Adam to Mataram”), hal. 119r, baris 1-6.

Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa yang pertama kali memperkenalkan tradisi HALAL BI HALAL adalah Sunan Ampel dan Syekh Maulana Ishaq (Syekh Alul Iman) yakni ayahanda dari Sunan Giri, yang kemudian disosialisasikan oleh Sunan Makdum atau Sunan Kali Sapuh atau Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Nah sebelum dibakukan menjadi kosakata dalam bahasa Indonesia, HALALBIHALAL (ditulis sebagai satu kata tanpa spasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia – KBBI) sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda yang ditulis oleh Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1938. HALALBIHALAL dalam kamus tersebut dimasukkan dalam entri huruf ‘A’ sebagai kata ALAL BEHALAL dengan arti yang sama dengan arti kata HALALBIHALAL yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai “acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia”.

Adapun maksud dan tujuan dari di-tradisi-kannya HALAL BI HALAL oleh Wali Songo secara turun temurun ini adalah sebagai implementatif hadits Rasulullah saw berikut.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang pernah berbuat zhalim terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun maka hendaklah ia meminta kehalalannya (meminta maaf) pada hari ini sebelum datang hari yang ketika itu dinar dan dirham tidak lagi bermanfaat. Jika ia tidak melakukannya, (kelak pada hari kiamat) bila ia memiliki amal shalih maka akan diambil darinya sebanyak kezhalimannya. Dan apabila ia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizhaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”. ( HR. Bukhari No. 2269 )

Sungguh sebuah kearifan lokal yang sarat dengan makna simbolik yang mengejawantah dalam bentuk tradisi khas yang diwarisi secara turun temurun dari era Wali Songo, yang senantiasa dilakukan setiap tahun oleh Bangsa Indonesia setelah Bulan Ramadhan.

Dan tradisi itu bernama:

“LĔBARAN, ‘IDUL FITHRI, KETUPAT dan HALAL BIHALAL”

Wallahu ta’ala a’lamu bishshawab,

Akhirul kalam, sebagai kata penutup, saya ingin mengucapkan:

“Kupat lepet janur klapa, mbok menawa ana lepat lan lupute kula nyuwun sepura”

Jika ada salah dan kekeliruan saya terhadap Anda semua, maka pada kesempatan Hari Raya yang Fithri ini, saya memohon maaf lahir dan batin, luar dan dalam, besar dan kecil.

LEBAR puasanya,

LEBUR dosanya,

LUBER amalnya,

LABUR kebajikannya,

Tapi jangan sampai LIBUR kerjanya…

Padepokan “SANTRI HIKMAT” beralamat di Jln. Jendral Sudirman Km. 36,9 Lingkungan Gg.4 Seroja  Kelurahan Dendang  Kec.Stabat Kabupaten Langkat-Sumetara Utara WA /HP   0823-6707-5263

Komentar