JAKARTA—“Dalam operasional sebuah korporasi khan bisa dibuat indikator atau tolok ukur kesuksesan kinerjanya. Sering disebut dengan Key Performance Indicators (KPI), itu saja yang ditugaskan pada seorang komisaris untuk mengawasi jalannya operasi perusahan. Tak perlu pejabat struktural kementerian turun tangan langsung, itu malah bertentangan dengan aturan,” kata Andre Vincent Wenas, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia merangkap juru bicara bidang ekonomi dalam keterangannya, Minggu, 12 Maret 2023.
Lebih lanjut PSI menekankan, “Kementerian Keuangan sebagai ultimate share holders bisa saja menunjuk komisaris yang mewakili kepentingan negara dalam hal ini, tak perlu pejabat struktural, tapi orang-orang independen yang punya kompetensi dan bisa dipercaya.”
Diketahui dari pemberitaan yang ramai menyusul kritik bertubi-tubi yang diarahkan ke Kementerian Keuangan pada khususnya atau pejabat pemerintah pada umumnya. Saat ini paling tidak ada 11 pejabat Kemenkeu yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahan milik negara (BUMN). Praktek ini ditengarai sebagai maladministrasi, manabrak aturan serta melanggar asas kepatutan.
“Kalau kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pada pasal 17a disebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Khan cukup jelas aturannya,” kata Andre menjelaskan.
Lebih lanjut dikatakan, “Demikian juga dalam Undang-Undang BUMN, di pasal 6 yang menyebutkan bahwa pengawasan BUMN salah satunya dilakukan oleh komisaris. Namun tidak secara spesifik menyebutkan bahwa pejabat struktural sebagai shareholder yang harus jadi komisaris dalam rangka pengawasannya.”
Jabatan komisaris bagi pejabat struktural lebih terkesan bagi-bagi jabatan, sama sekali tidak ada urgensinya. Fungsi pengawasan cuma jargon kosong. “Maka Menteri BUMN, Menteri PAN-RB, Menteri Keuangan dan Menko terkait perlu mengkaji ulang secara jujur dan bebas kepentingan, agar jalinan persoalan bisa ditelaah secara jernih. Bagaimana menempatkan para komisaris perusahan BUMN, tanpa menabrak regulasi yang ada,” kata Andre.
Pejabat struktural hendaknya fokus pada tupoksi jabatannya. Tidak bias lantaran remunerasi dari rangkap jabatan yang diembannya.
Dari kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) saat ini ada 11 pejabat Kemenkeu yang menjabat posisi komisaris BUMN. Dan akumulasi jumlah penghasilan atau remunerasi yang diperoleh 11 pejabat Kemenkeu tersebut mencapai setidaknya Rp 180 miliar per tahun.
Misalnya jabatan Dewan Komisaris PLN mendapatkan remunerasi rata-rata sebesar Rp 2,1 miliar per bulan. Dewan Komisaris Pertamina bisa mendapatkan renumerasi Rp 2,8 miliar, di Telkom sebesar Rp 1,8 miliar, di PT SMI sebesar Rp 2,8 miliar, di BNI sebesar Rp 1 miliar, dan Dewan Komisaris Bank Mandiri sebesar Rp 1,7 miliar per bulan.
Jadi intinya, “Untuk menjalankan fungsi pengawasan ini jabatan komisaris di perusahan BUMN tidak perlu pejabat struktural kementerian yang turun tangan. Supaya tidak melanggar aturan dan pengawasan tetap bisa berjalan efektif. Yang penting orang itu kompeten dan bisa dipercaya mewakili kepentingan negara,” kata Andre menutup penjelasannya. (REDI MULYADI)***
Komentar