Catatan: Redi Mulyadi (Pemimpin Redaksi TABLOID LINTAS PENA)
ALHAMDULILLAH, artikel yang sempat hilang itu akhirnya ketemu juga, berupa coretan coretan kisah penulis mewawancarai seorang ulama “jumhur” kharismatik KH Moh.Ilyas Ruhiat sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Kec.Singaparna Kab.Tasikmalaya. Pencarian artikel yang hilang setelah sekian lama mengunggah artikel berjudul Inilah “JANJI” Seorang Ulama Jumhur (Almarhum) KH.Khoer Affandi di media ini https://tabloidlintaspena.com/2017/09/24/inilah-janji-seorang-ulama-jumhur-almarhum-kh-khoer-affandi/?fbclid=IwAR2Exe5E_mhbHtZRdpsWQB1xy3SCBQfo-P4pzPhNwaPI-ykBnV3afp6OYjk (24 September 2017).
Artikel atau tulisan apa sih yang membuat penulis mencarinya? Saya ingin menulis ihwal janji seorang ulama kharismatik KH Moh.Ilyas Ruhiat yang patut diacungi jempol. Saya belajar menepati janji dari para ulama tempo dulu yang sempat dan hendak kuwawancarai. Sungguh luar biasa dan sangat mengagumkan. Bahkan jadi sebuah cerita menarik dalam hidup penulis.
Betapa tidak…!!!
Cerita menarik soal “janji” yang diucapkan seorang ulama dan jadi pegangan hidup bagi penulis, adalah selalu menepatinya. Begitupun dengan sosok sang ulama KH Moh.Ilyas Ruhiat seorang tokoh Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang berwibawa dan disegani. Bahkan beliau sosok ulama yang tutur katanya santun dan lembut menyejukkan.Para santri tempo dulu tentunya akan mengenal “Apih” panggilan akrabnya (kalau tidak salah, keluarga beliau menyebut Apih—mohon maaf kalua salah karena sudah lama dan lupa lupa ingat). Tapi saya sendiri menyebut Pak Kyai saat berlangsungnya wawancara.
Tujuan saya mewawancarai KH Moh Ilyas Ruhiat, selain untuk membuat tulisan atau berita profil Pondok Pesantren Cipasung asuhannya, juga saat itu dua bulan menjelang digelarnya Muktamar Ke-29 Nahdlatul Ulama pada 1-5 Desember 1994 di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung. Muktamar Ke-29 NU di Cipasung ini selain dihadiri para “peserta” ulama ulama NU dari seluruh Indonesia, para menteri dan jenderal, serta teristimewa Presiden H.Soeharto. Saya ingin mengetahui, sejauh mana persiapan “Tuan Rumah” Muktamar Ke-29 NU yang bakal dihadiri orang nomor satu Indonesia.
Dua bulan sebelum acara Muktamar Ke-29 NU digelar, saya sempat bertemu KH.Moh Ilyas Ruhiat di Mesjid Agung Tasikmalaya pada hari Rabu usai mengikuti Pengajian Reboan (lupa tanggalnya) bulan Oktober 1994 itu. Saya mau mewawancarai saat itu, tapi karena beliau sudah di mobil dan harus segera ke pondok pesantren, beliau mempersilakan saya untuk berkunjung ke Pesantren Cipasung. “Mangga diantos dinten Saptu tabuh 8-an,” katanya dengan bahasa Sunda halus.
Singkat cerita. Tibalah hari Sabtu. Karena pada saat itu sarana tranportasi sangat sulit dan masih langka (terlebih penulis sendiri tidak memiliki kendaraan meskipun hanya sepeda). Padahal, kalau saja norobos (ambil jalan pintas) dari rumah Kampung Sindanggalih Desa Sukaratu Kamantren (sekarang kecamatan) Sukaratu menggunakan kendaraan (terlebih sepeda motor),pastinya akan lebih cepat sampai meskipun kondisi jalannya saat itu rusak parah karena belum beraspal.
Karena kendala itulah, penulis dari rumah harus ke Indihiang dulu pakai ojeg dan di jalan kampung menunggu ojeg itu lama karena masih jarang. Turun dari rumah itu pukul 06.00 WIB dan nunggu ojeg saja 1 jam, kemudian perjalanan menuju Indihiang butuh waktu 30 menit.Pukul 07.30 WIB harus nunggu angdes (angkutan pedesaan) jurusan Ciawi- Cilembang 15 menit dan perjalanan ke Terminal Cilembang sekitar 15 menitan. Pukul 08.00 WIB masih di Terminal Cilembang, sementara Pak Kyai menjanjikan ketemuan pukul 08.00 WIB. Perjalanan dari Cilembang ke Cipasung itu meskipun butuh waktu 30-45 menit, tapi angdes atau gelebeg (colt mini) nge-tem lama dan sering berhenti setiap kali ketemu belokan, mencari penumpang. Perjalanan jadi molor sekitar 90 menit. Tiba di gerbang ke Pondok Pesantren Cipasung harus jalan kaki lagi sekitar 10-15 menit…!!! Artinya, penulis terlambat 1 jam 45 menit, dan beliau harus menunggu hampir 2 jam.
Tiba di teras rumah KH Moh Ilyas Ruhiat yang menghadap pondok pesantren, hati penulis deg-degan juga, karena terlambat datang yang cukup lama. Sebelum mengetuk pintu dan mengucap salam (assalamu’alaikum), seorang pria (entah santri atau keluarga Pak Kyai) menghampiri dan bertanya.
“Ieu sareng Kang Redi? (Ini dengan Kang Redi?),” tanya.
“Leres, abdi bade nepangan pangersa Pak Kyai (Betul, saya mau menemui Pak Kyai)” jawabku.
“Oh,muhun mangga diantos sakedap. Kaleresan anjeuna ngantosan kang Redi ti tatadi. Saurna gaduh jangji sareng Kang Redi sateuacan angkat ka Garut…!!” jelasnya.
Alamak…..ternyata Pak Kyai sejak lama (pukul 08.00 WIB) menunggu saya untuk memenuhi/menepati janji bertemu, meski sekedar wawancara yang hanya 15 menit…?!!
Beberapa menit kemudian,KH Moh Ilyas Ruhiat muncul dari dalam rumah menemui saya di ruang tamu, dan saya langsung sasadu (mohon maaf) karena keterlambatan datang sehingga tepat waktu. Beliau tersenyum dan bicara lembut. “Teu sawios-wios….Keleresan nuju nyalse, ngantos lohor, sateuacan ka Garut (Tidak apa-apa…Kebetulan lagi santai, menunggu waktunya shalat Dhuhur, sebelum ke Garut),”katanya.
Wawancara pun hanya sekitar 15 menit saja.
Saya jadi malu banget. Sebab, kata pria/santri tadi, Pak Kyai menunggu saya sejak tadi (pukul 08.00 WIB). Kalau wawancara sekitar 15 menit, maka KH Moh Ilyas Ruhiat bisa berangkat ke Garut sekitar pukul 09.00 WIB. Namun, beliau rela harus menunggu lama, karena untuk menepati janji kepada saya meski hanya sekedar wawancara. Sungguh luar biasa…..!!!
Pada intinya, almarhum KH Moh Ilyas Ruhiat telah menepati janji, meski harus menunggu lama karena situasi dan kondisi zaman dulu yang transportasi masih sangat jarang. Bagaimana dengan kita ? Entahlah….!!! Beberapa kali saya janji-an dengan (maaf) pejabat hingga tokoh agama, tokoh masyarakat dll hanya mengelus dada….ketika ditemui sudah tidak ada di tempat dan bahkan tidak “mengabari” kalau beliau tidak bisa bertemu karena ada acara mendadak atau apa (tanpa alasan sama sekali). Padahal, saya menemui beliau beliau sebelum waktunya, misal janjian pukul 09.00 WIB dan saya sudah datang pukul 08.00 WIB karena sarana tranportasi sudah semakin baik. Jengkel banget, bukan…? Begitu pula sebaliknya, ada yang kepengen ketemu dengan saya, ternyata teu embol embol (tidak datang), memberi kabar pun tidak meski sarana komunikasi sekarang ini (jangan tanya). Celakanya, ponsel dia pun malah tidak aktif…….Beu………….!!!!!
Semoga, tulisan ini memberikan inspirasi kepada siapa pun yang membaca, sekaligus menteladani KH Moh Ilyas Ruhiat sesepuh Pondok Pesantren Cipasung – Singaparna dalam menepati setiap “JANJI”nya. Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kirim Alfatihah untuk beliau….!!!
*CATATAN:
*Tunggu tulisan lain seputar “JANJI” yang merupakan pengalaman penulis dengan sejumlah tokoh baik tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat dan lainnya. Setelah tulisan ini, saya akan menulis “JANJI SEORANG JENDERAL” mantan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol (Purn) Dr. H. Anton Charliyan,MPKN pada episode berikut.
*Foto foto KH.Moh.Ilyas Ruhiat saat wawancara itu ada dalam bentuk klise. Pada tahun 2000-an, kondisi klise foto-foto rusak akibat suhu lembab, sehingga tidak bisa dicetak dan kebetulan sekarang ini tak ada lagi studio foto untuk mencetaknya
Komentar