oleh

Justin Adrian Untayana: Anies Tidak Jujur! BPK Temukan Indikasi Pemborosan Rp.3,3 Milyar

Oleh:  Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)

Nah, soal apa lagi ini?

Kali ini soal temuan “indikasi pemborosan” Rp 3,3 milyar dalam pembelian lahan makam oleh Pemprov DKI Jakarta.

Lalu apa bedanya ya antara Lebih Bayar dengan Pemborosan? Atau mark-up dan kebocoran anggaran? Mungkin dewan hantu di sekitar lahan makam itu bisa bantu jawab.

Alkisah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DKI Jakarta menemukan “indikasi pemborosan” anggaran senilai Rp 3,3 miliar untuk pengadaan lahan makam di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK) DKI Jakarta.

Bagaimana bisa begitu? Bisa saja. Apa sih yang gak bisa buat Anies?

Kali ini, menurut BPK, indikasi pemborosan itu terjadi akibat pejabat pembuat kebijakan tidak cermat dalam menyusun kegiatan pengadaan lahan dan tidak melakukan review atas laporan akhir pembuatan harga perkiraan ganti rugi dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) WAdR.

Mungkin lho ya, “seperti biasanya” laporan appraisal itu ya cuma prosedur formalitas saja, maka tak digubris terlalu serius. Jadinya ya tidak di review oleh “sang pejabat pembuat kebijakan” itu.

Lalu terhadap temuan kasus “indikasi pemborosan” itu, apa yang dilakukan oleh BPK?

BPK telah mengeluarkan rekomendasi, ya REKOMENDASI kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Rekomendasi untuk ngapain?

Untuk meminta Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK) agar segera membuat teknis penyusunan pengadaan yang lebih komprehensif dan menyusun prosedur operasi standar terkait kewajiban untuk melakukan review atas laporan KJPP. Itu saja!

Jadi ternyata sekarang SOP teknis yang komprehensif untuk pengadaan lahan makam itu belum ada ya? Pantesan.

Kasus atau temuan soal “indikasi pemborosan” tersebut ada dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2020.

Temuan tersebut berawal dari dokumen perbandingan kondisi di lapangan antara laporan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) terkait pengadaan lahan makam tersebut. Lalu BPK meminta agar disimulasikan perhitungan ulang terkait pengadaan lahan makam yang ada di Jalan Sarjana, Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Untuk lahan di Jalan Sarjana itu Pemprov DKI Jakarta SUDAH membayar sebesar Rp 71,2 milyar. Namun dari hasil pemeriksaan fisik lapangan dan setelah dilakukan perhitungan ulang oleh KJPP WAdR  ternyata ditemukan nilai kesepakatan pengadaan lahan seluas 14.349 meter persegi itu dengan nilai “cuma” Rp 67,9 milyar. 

Maka BPK pun menyimpulkan dengan simpul mati yang berbunyi, “Permasalahan di atas mengakibatkan nilai appraisal yang ditetapkan oleh KJPP untuk pengadaan tanah DPHK menjadi tidak akurat, dan diragukan keandalannya, serta tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.” Jelas?

Belum jelas? Begini lho…

BPK menulis, “Penaksiran harga tanah yang menjadi dasar UPT DPHK, dalam melakukan musyawarah kesepakatan harga dan pembayaran pada pengadaan tanah Jl Sarjana Srengseng Sawah diindikasi lebih tinggi senilai Rp 3.329.333.000,-.”

Jadi ada kebocoran, eh bukan, tapi mark-up… eh bukan juga, tapi lebih bayar… eh sudah bukaaan…. tapi cuma ada “indikasi pemborosan” sebesar Rp 3,3 milyar. Begitu ceritanya, sehingga solusinya adalah: REKOMENDASI untuk bikin SOP yang lebih canggih.

UPT DPHK itu Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertamanan dan Hutan Kota. Di laman resminya dijelaskan bahwa dinas ini punya 5 area pelayanan: 1) Pelayanan Pemakaman, 2) Pemulasaraan Jenazah, 3) Kehutanan, 4) Pertamanan, dan 5) Tanaman Kota.

Kritik perkara pengadaan lahan makam ini sebetulnya bukan hal yang baru, sejak tahun lalu (2020), Justin Adrian Untayana legislator dari Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta sudah mengritisinya dengan keras.

Pasalnya, proses pembelian lahan makam ini amatlah gelap (segelap lahan makam di malam hari), dan sangat tidak transparan (padahal biasanya hantu makam itu khan transparan penampilannya). Heran juga.

Justin Adrian Untayana (PSI) sudah beberapa kali angkat bicara di parlemen, sampai akhirnya isu ini pun dicuatkannya ke publik pada akhir tahun lalu (November 2020).

Lantaran seperti biasalah, mesti dicuatkan ke publik dulu supaya dapat perhatian. Karena kalau hanya jadi wacana internal parlemen, bakalan seperti berteriak di ruang hampa udara yang dipenuhi makhluk-makhluk budeg.

Waktu itu (di bulan November 2020), Justin Adrian Untayana telah protes keras kepada Gubernur Anies Baswedan yang dinilainya tidak jujur perihal anggaran pembelian Lahan Pemakaman senilai Rp 219 miliar, dan katanya sudah dibayar sebesar Rp 185 milyar.

Pasalnya, dalam pidato jawaban Anies Baswedan soal Raperda Perubahan APBD-2020, pada 6 November 2020 Anies bilang bahwa lahan milik Pemprov di TPU Rorotan masih dalam pematangan sehingga belum dapat digunakan.

Begitu pula lahan di TPU Pegadungan juga belum siap. Lahan TPU Pegadungan merupakan hasil ruilslag (tukar guling) antara pengembang dan Pemprov DKI Jakarta di tahun 1992.

Padahal, menurut Justin Adrian Untayana, pernyataan Anies tersebut berbeda dengan omongannya sendiri di bulan September 2020. Waktu itu Anies  bilang bahwa Pemprov DKI sudah menyiapkan alternatif lahan pemakaman sejak Maret 2020. Katanya demi mengantisipasi korban Covid-19.

Persisnya pada Senin, 7 September 2020 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Anies pernah sesumbar, “Semua lokasi dan lain-lain sudah disiapkan sejak bulan Maret. Bahkan, Maret sudah disiapkan alternatif tempat. Jadi bukan sekarang, sejak Maret, lokasi semua sudah disiapkan, jadi kita lihat perkembangan sesuai dengan kebutuhan. Insya Allah tidak akan ada kekurangan.”

Justin pun bertanya, “Dua bulan lalu bilang bahwa sudah menyiapkan lahan sejak Maret. Tapi sekarang bilang lahan-lahan yang dimiliki belum siap. Mana yang benar?”

Ternyata legislator PSI ini pun juga sudah check lapangan dengan mengunjungi lokasi TPU Rorotan dan TPU Pegadungan itu. Lahan TPU Rorotan memiliki luas sekitar 25 hektar, sudah dibeli sejak 4-6 tahun yang lalu, namun masih berupa sawah garapan yang ditanami padi. Sementara itu, luas TPU Pegadungan sekitar 60 hektar, namun masih berupa empang untuk memelihara ikan.

Sehingga Justin Adrian Untayana pun berkesimpulan bahwa kedua lahan tersebut belum siap karena anak buah Gubernur Anies Baswedan lalai menjalankan tugasnya untuk mengelola dan merawat aset.

Bahkan Justin menohok lebih tajam, “Sepertinya Dinas Pertamanan lebih suka membelanjakan uang rakyat membeli tanah-tanah baru dibanding mengelola dan menggunakan aset-aset tanah yang sudah dimiliki. Jadi ini murni kesalahan Pemprov DKI dan tidak bisa dibiarkan.”

Ya, tentu saja tidak bisa dibiarkan! Itu peringatan keras dari Justin Adrian Untayana tahun yang lalu (2020). Namun apa lacur?

Saat itu belum jelas juga sih lahan untuk makam yang dibeli dengan duit Rp 185 miliar (dari alokasi anggaran Rp 219 milyar) itu dimana lokasi persisnya?

Tanya Adrian saat itu, “Saat Pemprov DKI minta anggaran Rp 219 miliar di rapat-rapat DPRD, mereka tidak pernah terbuka mengenai lokasi lahan makam yang akan dibeli. Hingga saat ini pun kita tidak tahu di mana lahan tersebut. Ini kan dibeli pakai uang rakyat, tapi mengapa lokasi lahan seolah-olah dirahasiakan?”

Nah, sekarang di bulan Agustus 2021 ini BPK malah mengungkapkan temuan baru. Temuan apa sih BPK? Itu lho yang tadi di atas kita omongin di awal.

Soal adanya kebocoran, eh bukan, tapi mark-up… eh bukan juga, tapi lebih bayar… eh bukaaan…. tapi sekarang namanya “indikasi pemborosan” sebesar Rp 3,3 milyar. Pembelian lahan baru untuk makam di Jalan Sarjana (daerah Srengseng, Jakarta Selatan).

Apakah Anda semakin bingung?

Jangan khawatir, kita juga bingung kok. Bingung dengan ulah Pemprov DKI Jakarta, dan juga dengan “rekomendasi” ala BPK itu.

Oh ya, by the way busway, itu uang “indikasi pemborosan” yang Rp 3,3 milyar tadi apakah bakal dikembalikan ke kas Pemprov? Apakah rencana pengembaliannya pakai cara dicicil pula? Atau bagaimana ya?

Hantu-hantu lahan makam pun tersenyum simpul. Simpul mati lagi.

25/08/2021

Komentar