oleh

Kajian Historis dan Filosofis Kujang dalam Kosmologi Sunda

KUJANG,adalah pusaka khas masyarakat Sunda, memiliki akar sejarah dan nilai filosofis yang mendalam. Bentuknya yang khas sering diasosiasikan dengan burung, atau “manuk” dalam bahasa Sunda, merepresentasikan simbol kosmologi Sunda yang kaya. Lebih dari sekadar alat atau senjata, kujang adalah manifestasi budaya yang sarat akan makna spiritual, filosofis, dan simbolis.

Sejarah dan Evolusi Kujang

Kujang dipercaya telah ada sejak zaman Tarumanegara, meski belum tercatat dalam prasasti resmi. Sejumlah bukti arkeologis, seperti situs Batu Kujang di Sukabumi dan relief di Candi Sukuh, memperkuat eksistensinya pada masa lalu. Dalam periode Pajajaran (739 M), kujang telah menjadi simbol pemersatu dua kerajaan besar, Sundapura dan Galuh, melalui Perjanjian Galuh. Kujang tidak hanya menjadi senjata tetapi juga pusaka yang melambangkan persatuan dan kedaulatan.

Pada masa Pajajaran Makukuhan sekitar abad ke-12, kujang berkembang menjadi simbol status sosial dan spiritual. Para bangsawan dan pemimpin menggunakannya sebagai lambang kepangkatan dan penghormatan. Evolusi bentuk kujang pada periode ini mencerminkan perkembangan nilai-nilai budaya Sunda yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan sistem kenegaraan.

Kosmologi Sunda dan Makna Kujang

Sebagai manifestasi kosmologi Sunda, kujang memiliki hubungan erat dengan konsep spiritual dan ajaran ketuhanan. Dalam tradisi Sunda, kujang diinterpretasikan sebagai simbol manusia yang menyatu dengan alam semesta, melambangkan hubungan harmoni antara manusia dan Sang Pencipta.

Filosofi kujang dapat dipahami melalui metode tradisional Sunda, seperti:

1. Panca Curiga: Pendekatan ini mencakup sindir (kiasan), silib (perumpamaan), siloka (gambaran simbolis), sasmita (intuisi mendalam), dan sandi (kode simbolik).

2. Jampe Pamake: Lima tahapan pemahaman, yakni mengerti (niti harti), menghayati (niti surti), membaktikan (niti bakti), membuktikan secara ilmiah (niti bukti), dan mencapai kebenaran sejati (niti sajati).

Melalui pendekatan tersebut, kujang dipandang sebagai manifestasi ajaran tentang asal-usul semesta dan keseimbangan kosmis yang diwakili dalam bentuk visual.

Variasi Bentuk dan Fungsi Kujang

Keragaman bentuk kujang ditemukan di berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bandung, Sumedang, Cirebon, Garut, dan Banten. Setiap variasi bentuk mencerminkan filosofi dan fungsi tertentu, dari perkakas agraris hingga senjata spiritual. Masyarakat Kanekes (Badui), misalnya, menggunakan kujang sebagai perkakas multifungsi, sedangkan masyarakat Sunda lainnya menjadikannya pusaka yang memiliki nilai mistis dan simbolis.

Kujang juga mengalami perbedaan penamaan di berbagai daerah. Di Jawa Barat, istilah “kujang” lebih dominan, sedangkan di Jawa Tengah dan Timur dikenal dengan istilah “kudi” atau “cangak.” Meski demikian, struktur fisik dan material kujang tetap menunjukkan kesamaan di berbagai wilayah, mengindikasikan asal-usulnya yang sama.

Kujang sebagai Simbol Kebudayaan dan Kedaulatan

Kujang bukan hanya simbol individu, tetapi juga representasi kedaulatan dan identitas budaya Sunda. Bentuknya yang menyerupai burung menjadi metafora untuk negara dan kekuasaan, seperti yang tercermin dalam simbol “manuk” (burung) sebagai lambang negara. Kujang juga dikaitkan dengan konsep “Galuh Hyang Agung,” yang menghubungkan ajaran spiritual dengan sistem kenegaraan.

Sebagai karya seni tradisional, kujang mengandung nilai estetika yang tinggi. Keunikan bentuk dan kelangkaannya membuatnya diminati sebagai pusaka, baik untuk penghormatan leluhur maupun untuk tujuan spiritual. Namun, koleksi kujang di Indonesia saat ini sangat terbatas dibandingkan dengan koleksi senjata tradisional lainnya, seperti keris dan tombak. Ironisnya, banyak kujang yang telah menjadi koleksi museum di luar negeri, seperti Museum Delft di Belanda.

Penutup

Kujang adalah saksi bisu perjalanan sejarah dan budaya Sunda yang kaya. Sebagai simbol spiritual dan kosmologis, kujang merefleksikan nilai-nilai luhur masyarakat Sunda yang menghormati hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Penelitian dan pelestarian kujang bukan hanya tentang mengungkap masa lalu, tetapi juga tentang merawat warisan budaya yang menjadi identitas bangsa.(****