Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
ADALAH Abdul Azis, anggota Fraksi PKS di DPRD DKI Jakarta yang bilang bahwa pengajuan hak interpelasi hanya akan membuat gap atau jarak antara eksekutif dengan legislatif. Katanya, “Kalau kami melihatnya ini akan membuat gap.”
Ini argumen yang aneh sekali.
Sudah pada galibnya dalam demokrasi kita mengenal konsep trias-politica. Pemilahan kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Jelaslah pada derajat tertentu antara ketiga Lembaga itu mesti mengambil jarak. Tidak boleh juga terlalu “akrab”. Ya, dalam artinya yang positif memang mesti ada “gap”, ada jarak (distansi). Supaya tetap ada daya kritis, mampu mengritik. Dan juga tidak kolutif!
Kita semua mahfum bahwa penerapan trias-politica dalam pemerintahan memang dimaksudkan agar kekuasaan penyelenggara negara tidak absolut lantaran terpilah menjadi tiga lembaga yang saling mengawasi. Ada ‘check and balances’.
Masih ingat khan adagium dari Lord Acton, “Power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely!”
Seperti kita ketahui, hak interpelasi yang telah resmi diajukan oleh 2 fraksi di DPRD DKI Jakarta (PDIP dan PSI) kepada pimpinan Dewan pada hari Kamis, 26 Agustus 2021 ini berkaitan dengan program balap mobil Formula-E.
Penyerahan hak interpelasi telah ditandatangani oleh 33 anggota Dewan (25 dari Fraksi PDIP dan 8 dari Fraksi PSI).
Selain mempertanyakan urgensi dari program balap mobil listrik Formula-E pada Juni 2022, juga meminta agar program ini bisa dihentikan saja, serta uang yang sudah disetor (plus bunganya) bisa dikembalikan demi kepentingan masyarakat Jakarta semasa pandemi Covid-19.
Kembali ke pernyataan aneh dari Abdul Azis. Menyimak apa yang disampaikannya ke media pun, pada hemat kita, sangatlah sumir argumentasinya.
Abdul Aziz mengatakan interpelasi akan memberikan konsekuensi hukum yang sangat jelas dan terkesan memaksa.
Kita pun jadi bertanya, apa salahnya dengan konsekuensi hukum yang sangat jelas? Bukankah ini negara hukum, artinya ya semua warga mesti menghormati hukum.
Dan kita semua sesungguhnyalah mendambakan konsekuensi hukum yang jelas. Masak sih kita pinginnya konsekuensi hukum yang tidak jelas alias bisa ditekak-tekuk? Bukankah begitu Pak Azis?
Sealnjutnya, Abdul Azis yang juga Ketua Komisi-B ini, menyingggung bahwa Pemprov katanya bersedia menjelaskan program Formula E tanpa harus interpelasi.
Duh Pak, ini cerita yang tidak berkorespondensi dengan realitas. Bukankah kenyataannya sampai sekarang Studi Kelayakan yang diminta BPK itu pun belum juga diberikan?
Padahal Studi Kelayakan itu khan yang bakal menentukan juga apakah perhelatan Formula-E itu layak digelar atau tidak. Namanya juga Studi Kelayakan. Bukankah begitu Pak Azis?
Lalu Abdul Azis menyambung, “Kita menggunakan cara-cara yang force (memaksa), ini kan (interpelasi) cara force yah, memaksa bahwa ini harus memberikan keterangan.”
Ini lagi, interpelasi itu hak bertanya parlemen (legislatif), dan sebaliknya adalah kewajiban eksekutif untuk memberi keterangan yang seterang-terangnya. Biasa saja.
Apa salahnya? Dimana paksaannya? Itu adalah proses berdemokrasi yang wajar-wajar saja.
Bukankah eksekutif mendapat mandat dari rakyat untuk mengelola administrasi pemerintahan yang bersih, transparan, bebas korupsi, bebas kolusi dan bebas nepotisme?
Kalau tidak ada KKN kenapa mesti khawatir? Kenapa mesti takut? Kenapa mesti mengelak? Kenapa mesti menolak interpelasi? Kenapa takut ditanya (secara resmi) oleh parlemen? Kenapa alergi dengan yang terang benderang? Kenapa mesti merasa dipaksa?
Ketika nanti eksekutif ditanya oleh parlemen (wakil rakyat) di sesi interpelasi itu, ya tinggal jawablah dengan seterang-terangnya, dan dengan sejujur-jujurnya. Gitu aja kok repot?
Abdul Azis pun mengkhawatirkan dampaknya hubungan antara DPRD dengan Pemprov tidak lagi harmonis seperti saat ini.
Oh jadi selama ini harmonis ya? Seperti apa sih definisi harmonisnya versi Pak Azis? Bisa dijelaskan?
Lalu, politikus PKS ini pun menilai bahwa masih ada banyak cara selain interpelasi yang bisa digunakan anggota Dewan untuk menanyakan kejelasan Formula E. Termasuk dengan cara-cara non-formal seperti berdiskusi secara langsung.
Lha, bukankah sudah berkali-kali ditanya soal Studi Kelayakan Formula-E itu? Secara langsung maupun tidak langsung. Tapi tak digubris sama sekali. Lalu mesti dengan cara apa lagi?
Dan yang aneh lagi, Abdul Azis bilang bahwa berbincang di forum formal akan membuat kekakuan dan resistensi informasi yang ingin disampaikan.
Kata Abdul Azis, “Kalau kita ngomong begini (non-formal) kan sesuatu yang tidak tertulis kita bicarakan. Kalau tertulis interpelasi kan terbatas juga informasi yang bisa disampaikan.”
Wallahh… Pak Azis, kalau semuanya bersih, dan tidak ada yang perlu disembunyikan, ya bicarakan saja tanpa perlu ada rasa keterbatasan. Apanya sih yang dirasa mesti dibatasi Pak?
Bukankah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi? Ya, sampaikan saja secara rinci, tertulis, dan juga didiskusikan dalam forum interpelasi (tanya-jawab) nanti. Tidak ada masalah bukan?
Semoga inisiatif PDIP dan PSI ini bisa diikuti oleh fraksi lainnya.
Selamat berdemokrasi dengan matang, cerdas dan bersih.
28/08/2021
Komentar